Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perda Madrasah Diniyah Mandul, Wali Kota Cilegon Sekolah Sore Nggak Sih?

10 Juni 2021   16:09 Diperbarui: 10 Juni 2021   16:15 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung MDTA Dringo VI roboh termakan usia (Foto RZ Cilegon) 

Cilegon Baru, Modern, dan Bermartabat yang mengusung arus perubahan di Kota Cilegon banyak yang mengharapkan adanya tindakan nyata dalam setiap kebijakan Kepala Daerah. Salah satunya adalah mendukung perbaikan dunia pendidikan Madrasah.

Nyatanya, di 100 hari kerja Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon yang menang Pilkada Kota Cilegon lalu dirasa tidak memahami Perda yang secara khusus mengatur Madrasah Diniyah.

Wali Kota Cilegon Helldy Agustian malah menandatangani kebijakan yang tidak mengacu pada Perda Madrasah Diniyah. Ia mengeluarkan Peraturan Wali Kota Cilegon Nomor 10 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Tata Cara Penerimaan Peserta Didik Baru jenjang SMP yang menimbulkan reaksi bagi guru-guru madrasah.

Amat disayangkan dalam Perwal itu menyetarakan Ijazah Madrasah Diniyah  Takmiliyah Awaliyah (MDTA) dengan Taman Pendidikan Al-qur'an (TPA) sebagai syarat masuk SMP Negeri.

Tertulis dalam pasal 6, disebutkan bahwa, bagi calon peserta didik baru SMP yang beragama Islam agar menerapkan Ijazah Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) atau Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ), bagi yang belum tamat dan atau tidak memiliki ijazah dimaksud harus mengisi surat pernyataan kesediaan mengikuti program khusus pada sekolah yang dirujuk.

Jika mencermati persyaratan administratif calon peserta didik baru SMP tersebut, akan bertolak belakang dengan Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah.

Di mana dalam Pasal 19  menyebutkan semua calon siswa/i Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang beragama Islam dipersyaratkan memiliki syahadah atau Surat Tanda Tamat Belajar Madrasah Diniyah atau sederajat.

Persoalan ini bukan hanya sebatas menyetarakan jenjang pendidikan MDTA dan TPA yang jelas berbeda. Tapi sebagai pemegang kebijakan tertinggi, Wali Kota Cilegon tidak teliti dan merujuk pada Perda yang telah ada.

Entah, membaca atau tidak Perda Diniyah yang disahkan sejak 13 tahun lalu itu. Persoalan penggunaan Ijazah MDTA selalu diributkan setiap tahun dan Dinas Pendidikan Kota Cilegon pun tutup mata.

Harapannya, ketika kekuasaan Wali Kota Cilegon bergulir menjadi arus perubahan, maka Perda Diniyah bisa diterapkan pada PPDB SMP tahun ini.

Nyatanya tidak! Tak hanya itu, urusan pelaksanaan Perda Diniyah pun terkesan setengah hati. Akibatnya lembaga pendidikan MDTA tidak terurus.

Tidak ada langkah konkrit Pemkot Cilegon melalui Dinas Pendidikan yang enggan menerapkan Perda Diniya pun seolah melupakan peran lembaga pendidikan madrasah di Kota Cilegon. 

Jika dirunut dari sejarah, sebelum kemerdekaan NKRI, lembaga pendidikan madrasah yang mucul pertama kali di tahun 1925, yaitu Madrasah Al-Khairiyah Citangkil.

Sekolah yang dulu hanya bisa dinikmati anak-anak Belanda dan priyayi, kemudian madrasah ini menjadi oase anak-anak pribumi mendapatkan pendidikan agama dan umum yang layak. Perkembangan madrasah turut mencerdaskan anak bangsa dan muncul madrasah-madrasah yang tersebar di Kota Cilegon.

Inilah yang menjadi keunikan anak-anak di Kota Cilegon, pagi masuk SD, sore lanjut masuk MDTA. Orangtua menyadari di SD memiliki porsi ilmu umum lebih banyak, maka untuk membekali ilmu agama dan bisa mengaji Al-quran anak-anak harus sekolah sore.

Perkembangan zaman kemudian mengalami perubahan. Sehingga muncul Perda Diniyah sebagai upaya menjaga keberlangsungan MDTA. 

Sayangnya, ini hanyalah Perda yang tidak mampu dilaksanakan sebaik mungkin oleh Wali Kota Cilegon sebagai pemegang kebijakan tertinggi dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon yang tidak serius menerapkan Syahadah atau Ijaza MDTA sebagai syarat masuk SMP.

Pesan diterapkannya Perda Diniyah simpel, anak-anak yang masuk jenjang SMP dipastikan bisa mengaji Al-quran. Hal ini dikarenakan kemampuan mengaji anak-anak sudah mulai menurun. 

Padahal MDTA sejak dulu memiliki peran besar dalam membina anak-anak belajar agama, salat, doa-doa, bahasa arab, membaca kitab kuning, akhlak, adab, dan pastinya bisa mengaji Al-quran.

13 tahun Perda Madrasah Diniyah tidak mampu dilaksanakan. Padahal secara regulasi anak-anak wajib menempuh pendidikan di MDTA. Persoalan ini menjadi cermin bahwa Dinas Pendidikan Kota Cilegon gagal menjalankan aturan bahwa untuk masuk jenjang SMP harus menyertakan ijazah MDTA. 

MDTA memang ada di bawah kebijakan Kementerian Agama, tapi pihak Pemkot Cilegon harusnya bisa menggulirkan anggaran khusus untuk MDTA. 

Kini, Perda Madrasah Diniyah hanyalah produk hukum yang tidak mampu melindungi fisik bangunan madrasah yang termakan usia, hingga tak mampu melindungi hak anak-anak mendapatkan pendidikan agama yang layak. Padahal jelas dalam Perda disebutkan wajib belajar Madrasah Diniyah.

Di tahun ajaran baru, pelaksanaan PPDB jenjang SMP kembali tidak serius menerapkan Perda Diniyah. Menyetarakan dengan TPA/TPQ pun bukan dibenarkan. 

Entah mata hati pemegang kebijakan sudah mati, atau memang Wali Kota Cilegon tidak pernah merasakan bangku sekolah sore?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun