Menjelang waktu jam kerja habis hari itu, datang seorang kurir membawakan surat. Ia langsung menghampiri saya yang sedang santai di ruang loby.
"Maaf, Pak, ada surat atas nama Ibu Hanah," katanya.
"Sebentar. Tadi saya liat ada di tempat wudhu, mungkin sedang salat Ashar," kata saya.
Bapak kurir itu kemudian menyodorkan surat, sepontan saya terima. "Saya titip ke Bapak saja. Sudah sore mesti ke kantor lagi saya. Dari kemaren saya sudah beberapa kali ke rumah Bu Hanah, tapi kosong terus," katanya. Bapak itu kemudian pergi setelah mengucapkan terimakasih.
Perasaan saya tiba-tiba menjadi tidak enak. Surat di tangan dan menghadap ke rekan kerja yang posisi jabatan lebih tinggi. Sementara surat yang saya pegang sepertinya bagian dari persoalan besar yang sedang dihadapi. Surat dari Pengadilan Agama.
Saya kemudian naik ke lantai dua, tepatnya ruang kerja Hanah. Ya, meski jabatan di tempat kerja lebih tinggi, namun kita pernah satu kelas saat SMP dulu. Jadi tidak perlu formal memanggilnya, Ibu.
"Ada surat, Na." Saya meletakan surat itu di atas meja kerja. Sementara Hanah masih membelakangiku, sedang merias wajah.
"Kok, repot-repot sih, Pram. Memang security kemana?" kata Hanah. Â Ia kemudian berbalik.
Hanah salah satu dosen yang selalu berpenampilan menarak akhir-akhir ini. Gayanya modis dengan tetap menjaga batasan kelayakan sebagai pengajar. Wajahnya selalu cantik dengan polesan make-up. Meski kampus masih menerapkan pembelajaran daring, Hanah yang juga menjabat sebagai Kepala Prodi tetap datang ke kantor. Orangnya yang humbel selalu siap melayani para mahasiswa yang datang untuk bimbingan skripsi.
"Saya ijin kembali ke ruang Biro Humas, masih ada video promosi kampus yang belum selesai diedit," saya beralasan untuk pergi meninggalkannya.