Belusukan yang dilakukan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini sempat heboh. Apa pasal? Hanya karena blusukan yang dilakukan di Ibu Kota Jakarta.
Jakarta memang selalu menjadi sorotan netijen. Apalagi suhu politik menjelang Pilkada DKI Jakarta dianggap ada kepentingan itu. Entahlah, pola pikir setiap netijen yang bikin gaduh di media sosial memang berbeda.
Blusukan sudah terkesan bagian dari pencitraan politik. Padahal ketika Bu Risma saat menjabat sebagai Wali Kota Surabaya sudah sering melihat aksinya turun langsung ke tengah masyarakat.
Bu Risma memang diakui sebagai Wali Kota berprestasi, bisa jadi karena beliau sosok pemimpin yang punya kepedulian terhadap semua masalah di daerahnya. Pemimpin harusnya begitu, bukan?
Pemimpin turun langsung ke lapangan dan berani kotor-kotoran menyapu jalan seperti yang pernah dilakukan Bu Risma itu baik. Pemimpin harusnya bekerja sebagi pelayan masyarakat.
Jika pemimpin hanya maunya bekerja di balik meja dalam ruangan pendingin yang sejuk, rasanya ini bukan tipe karakter Bu Risma. Jadi jangan heran jika saat menjadi menteri pun, Bu Risma tetap melakukan blusukan.
Tugas menteri juga sama untuk melayani rakyat. Jika hanya duduk dan menerima laporan data saja, rasanya tidak afdol bagi Bu Risma. Atau hanya ada kunjungan-kunjungan ketika ada bencana atau acara peresmian hasil pembangunan, rasanya Bu Risma tidak bisa bergaya layaknya mentri pada umumnya.
Berpengalaman baik menjadi  Wali Kota, Bu Risma sudah menunjukan gaya kerjanya ya blusukan. Tidak mau hanya sekedar menerima laporan dari bawahan yang sekedar "Asal Ibu Senang."
Kesalahan dalam blusukan Bu Risma di Jakarta, menurut saya hanya karena sudut pandang politik yang berbeda saja dengan pendukung Gubernur sekarang. Ini kan jamannya adu kekuatan buzzer untuk mempengaruhi opini publik di media saja.
Semoga saja sebagai Menteri Sosial Bu Risma tidak kapok melakukan blusukan. Jika banyak orang tidak suka aksi blusukan di Jakarta, mari Bu Risma bergeser ke sebelah barat Jakarta, tepatnya di Kota Cilegon, Banten.
Jakarta yang sibuk dengan kegiatan bisnisnya, semoga tidak disamakan dengan Kota Cilegon yang disibukan dengan Kawasan Industrinya.
Jakarta dan Cilegon memang selalu balapan siapa yang tertinggi soal UMR, tapi ya meskipun standar gajih di Kota Industri mencapai Rp4 juta lebih, bukan berarti bebas dari persoalan kesenjangan sosial, dalam hal ini kesejahteraan hidup.
Warga Jakarta bisa saja tidak terima ada gelandangan atau pemulung ditemukan di jalan MH Thamrin, tapi bagibwarga Cilegon menemukan pengemis di depan Kantor Wali Kota Cilegon pun jadi pemandangan yang biasa saja.
Inilah kenapa Bu Risma harus melakukan kunjungan ke Kota Cilegon. Biar Bu Risma tahu jika di pusat perkantoran Pemkot Cilegon pun bisa ditemukan pengemis dan pengamen.
Begini ceritanya, beberapa hari ini saat saya melewati Jalan Sudirman sebagai kawasan kantor Wali Kota dan intansi lainnya. Namun ada yang mencolok mata di sekitaran jalan ini, yaitu keberadaan pengemis dan pengamen.
Ada seorang Ibu beserta kedua anaknya duduk di trotoar sore itu. Entah berapa lama mereka duduk di situ? Pemandangan pengemis dan pengamen anak kecil memang sudah sering dijumpai di kawasan itu
Jika Wali Kota Cilegon Edi Ariyadi dan Wakilnya Ratu Ati Marliati rajin melakukan blusukan, rasanya persoalan keberadaan pengemis tidak tampak di depan kantornya. Karena ketika ada niat blusukan, ketika keluar kantor akan melihat ada pengemis di trotoar dan pengamen di lampu merah. Secara sigap pasti sudah diatasi.
Keberadaan pengemis menjadi cerminan bahwa persoalan kesejahteraan sosial masih ada dan belum teratasi.
Jika diibaratkan Kantor Pemerintah Kota Cilegon yang di bagian depannya adalah kantor Wali Kota, mereka yang dibayar negara punya tanggungjawab untuk mengurus persoalan kesejahteraan sosial, pasti sudah ada tindakan untuk menyelesaikannya.
Anehnya mereka tidak menyadari bahwa di lingkungan kantornya saja masih ada orang-orang dengan masalah kesejahteraan sosial tetap berkeliaran.
Jika ada pengemis di depan kantor Wali Kota saja tidak diurus, bagimana dengan warga miskin yang membutuhkan bantuan tapi berada jauh dari pusat kantor Pemerintah Kota Cilegon. Diurus atau tidak?
Perlu diketahui, angka kemiskinan di Kota Cilegon cukup tinggi, yaitu mencapai 14.000 keluarga. Diperparah lagi dengan jumlah pengangguran terbuka sekitar 25.000 jiwa.
Sebuah angka yang sebenarnya tidak masuk akal jika diukur sebagai Kota Industri dan jasa pelabuhan skala internasional. Julukan Kota Dolar hanya sekedar nama karena kurang diurus dan tidak dikelola dengan segala potensi yang ada.
Inilah kenapa saya berharap Bu Risma hadir blusukan di Kota Cilegon. Supaya pengemis di depan kantor Wali Kota bisa diperhatikan dan mendapatkan jaminan kesejahteraan hidup. Bosan juga dengan para menteri yang datang hanya sekedar meresmikan pabrik baru, lalu pulang begitu saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H