Kembali ke pertanyaan "Dicari Nasir" di atas. Kompasianer senior Kang Nasir rupanya menulis tentang saya sebanyak tiga judul artikel. Artikel entah sebagai klarifikasi pembelaan Ratu Ati, mengingat beliau adalah orang dekatnya, atau melakukan intimidasi terhadap saya. Intinya, dari tiga judul yang ditulis, saya hanya membaca sambil tertawa sendiri.Â
Silahkan baca artikelnya: Pilkada Cilegon dan Sosok Mang Pram
Saya tidak bermaksud melakukan klarifikasi, toh, apa yang ditulis Pak Nasir seperti menulis fiksi dengan karakter utama bernama Mang Pram. Secara personal saya hanya mengenal beliau di medsos sebagai senior di kepengurusan Partai Golkar Cilegon dan pendukung setia dua mantan Wali Kota yang menjadi tahanan KPK, selebihnya tidak tau apa pun .
Lucunya, beliau menulis dengan asiknya tentang "Karakter Mang Pram" dengan kata-kata tendensius dan mengagungkan Ratu Ati. Saya hanya tertawa geli ketika disebut sebagai Buzzer di Kompasina karena menulis tidak berdasarkan objektivitas dan karya tulis saya diragukan sebagai karya jurnalistik. Penilaian yang aneh, bahkan banyak dugaan, salah satunya tulisan saya lebih miring mendukung kompetitor Ratu Ati.
Di artikel babak kedua, Kang Nasir bahkan mencap saya sebagai Buzzer jadi-jadian yang mengancam akan membuka identitas saya. Lho, buat apa? Sejak tulisan saya viral, sudah banyak yang tahu identitas saya, terutama di Facebook. Buktinya kekisruhan diskusi  dalam media sosial ada saja yang menandai nama akun facebook saya.
Benar saja, ketika artikel ketiga muncul, isinya makin ngawur. Ya sudahlah, ngapain ditanggapi? Ya, meskipun secara langsung menyebut saya wartawan gagal, entah dari mana sumber dan alasannya. 8 tahun menjadi wartawan tidak pernah bermasalah dengan siapa pun, ya, kecuali beritanya tentang kritik terhadap kinerja pemerintah. Saya berhenti menjadi wartawan karena sudah disibukan dengan penelitian jurnal dan Tugas Akhir Kuliah.
Ambil positifnya saja, saya sebagai warga Cilegon yang melihat kondisi selama 20 tahun lebih banyak melihat prestasi KPK mencaplok para pejabat, dari pada prestasi pejabat yang tidak mampu mengatasi banjir, pengangguran, kesejahteraan dan biaya sekolah mahal di Kota Industri.
Berpengalaman bertahun-tahun menjadi wartawan sering dihadapkan pada intimidasi penguasa, belum lagi berita hasil investigasi berunsur hukum mandeg di meja redaksi karena ada transaksional tersembunyi, menulis di Kompasiana adalah kebebasan saya untuk beropini.
Tensi Pilkada memang tinggi bagi para timses. Namun saya mencoba menganggap itu cuma lucu-lucuan, bahkan males menanggapi tulisan Kang Nasir karena isinya fiksi yang didasarkan pada dugaan. Saya lebih memilih mentertawakan diri sendiri ketika selesai membaca artikel itu.
Seperti  teori Abraham H. Maslow, menertawakan diri sendiri lebih baik daripada menertawakan orang lain. Tidak perlu khawatir akan munculnya emosi negatif karena yang ditertawakan adalah diri sendiri, yaitu sebagai introspeksi diri dan menemukan kesalahan yang perlu diperbaiki tanpa harus tersinggung oleh komentar orang lain.
Tahun ini menjadi Pilkada yang paling lucu, pokoknya. Pertama pertarungan sengit antara timses arus perubahan dari jalur independen nomor 1 yang selalu menyerang petahanan nomor 2 dengan isu korupsi dan kegagalan pembangunan. Dua kandidat ini memang paling berisik.