Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dituduh Buzzer Pilkada, Jadi Pengalaman Terlucu Setahun Menulis di Kompasiana

26 Desember 2020   22:10 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:14 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Joker yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix. FOTO/ 2018 Warner Bros. Entertainment Inc. All Rights Reserve

Indonesia butuh ketawa, tidak perlu serius usai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Menjadi masyarakat biasa cukup menjadi penonton bagaimana para kandidat bertarung merebut suara rakyat. Nyatanya menjadi penonton sepak terjang para kandidat dan Timses seperti dagelan yang selalu memunculkan gelak tawa dari pemberitaan media lokal dan debat kusir di media sosial.

9 Desember 2020 sudah lewat. Pilkada Kota Cilegon pun sudah mendapatkan pemenangnya. Di sini saya tidak mau membahas soal para kandidat. Menang kalah itu biasa. Tidak terima dengan kekalahan atau ueforia kemenangan biarkan saja. Toh nanti juga, siapa pun yang menang, para elit politik yang itu-itu saja akan menghasilkan kebijakan yang tidak jauh berbeda.

Kamis malam lalu, tanpa sengaja saya bertemu dengan kawan-kawan wartawan dan para timses dari masing-masing kandidat di angkringan Jahe Merah yang berada di belakang gedung DPRD Kota Cilegon. Tempat yang paling asik buat santai dan ngobrol sampai tengah malam.

"Kamu dicariin Nasir, tuh..." kata kawan di sela obrolan.

Spontan saya langsung ketawa dengan kerasnya. Kemudian kawan-kawan yang lain pun ikut tertawa kencang. Bersama grimis yang turun malam itu pun membuat suasana makin riuh dengan persoalan tulisan saya di Kompasiana yang membuat meradang salah satu timses.

Sejak memutuskan berhenti menjadi wartawan di akhir tahun 2019, saya lebih fokus menulis opini persoalan Kota Cilegon untuk dimuat di Kompasian. Namun rupanya ada satu judul yang membuat viral di media sosial. Saya pun tidak menyangka, karena saat menulis hanya berdasarkan pada keresahan saya melihat Wakil Walikota Cilegon Ratu Ati Marliati yang dinyatakan positif covid-19 tapi tidak mau melakukan isolasi mandiri.

Silahkan baca: Jangan Tiru Wakil Wali Kota Cilegon yang Tak Mau Karantina Mandiri

Dampaknya di media sosial ternyata lebih besar, Ratu Ati yang saat itu menjalani tahapan tes kesehatan Calon Walikota Cilegon dinyatakan positif covid-19 dan diumumkan langsung dalam konfrensi pers KPU Cilegon dan tim tenaga medis. Namun hebatnya, Ratu Ati sudah punya surat hasil tes dari dua rumah sakit suasta yang menyatakan negatif. Kemudian, dengan gagah menolak hasil tes dari RSUD Cilegon yang ditunjuk oleh KPU Cilegon.

Lalu lucunya apa?

Kembali ke pertanyaan "Dicari Nasir" di atas. Kompasianer senior Kang Nasir rupanya menulis tentang saya sebanyak tiga judul artikel. Artikel entah sebagai klarifikasi pembelaan Ratu Ati, mengingat beliau adalah orang dekatnya, atau melakukan intimidasi terhadap saya. Intinya, dari tiga judul yang ditulis, saya hanya membaca sambil tertawa sendiri. 

Silahkan baca artikelnya: Pilkada Cilegon dan Sosok Mang Pram

Saya tidak bermaksud melakukan klarifikasi, toh, apa yang ditulis Pak Nasir seperti menulis fiksi dengan karakter utama bernama Mang Pram. Secara personal saya hanya mengenal beliau di medsos sebagai senior di kepengurusan Partai Golkar Cilegon dan pendukung setia dua mantan Wali Kota yang menjadi tahanan KPK, selebihnya tidak tau apa pun .

Lucunya, beliau menulis dengan asiknya tentang "Karakter Mang Pram" dengan kata-kata tendensius dan mengagungkan Ratu Ati. Saya hanya tertawa geli ketika disebut sebagai Buzzer di Kompasina karena menulis tidak berdasarkan objektivitas dan karya tulis saya diragukan sebagai karya jurnalistik. Penilaian yang aneh, bahkan banyak dugaan, salah satunya tulisan saya lebih miring mendukung kompetitor Ratu Ati.

Di artikel babak kedua, Kang Nasir bahkan mencap saya sebagai Buzzer jadi-jadian yang mengancam akan membuka identitas saya. Lho, buat apa? Sejak tulisan saya viral, sudah banyak yang tahu identitas saya, terutama di Facebook. Buktinya kekisruhan diskusi  dalam media sosial ada saja yang menandai nama akun facebook saya.

Benar saja, ketika artikel ketiga muncul, isinya makin ngawur. Ya sudahlah, ngapain ditanggapi? Ya, meskipun secara langsung menyebut saya wartawan gagal, entah dari mana sumber dan alasannya. 8 tahun menjadi wartawan tidak pernah bermasalah dengan siapa pun, ya, kecuali beritanya tentang kritik terhadap kinerja pemerintah. Saya berhenti menjadi wartawan karena sudah disibukan dengan penelitian jurnal dan Tugas Akhir Kuliah.

Ambil positifnya saja, saya sebagai warga Cilegon yang melihat kondisi selama 20 tahun lebih banyak melihat prestasi KPK mencaplok para pejabat, dari pada prestasi pejabat yang tidak mampu mengatasi banjir, pengangguran, kesejahteraan dan biaya sekolah mahal di Kota Industri.

Berpengalaman bertahun-tahun menjadi wartawan sering dihadapkan pada intimidasi penguasa, belum lagi berita hasil investigasi berunsur hukum mandeg di meja redaksi karena ada transaksional tersembunyi, menulis di Kompasiana adalah kebebasan saya untuk beropini.

Tensi Pilkada memang tinggi bagi para timses. Namun saya mencoba menganggap itu cuma lucu-lucuan, bahkan males menanggapi tulisan Kang Nasir karena isinya fiksi yang didasarkan pada dugaan. Saya lebih memilih mentertawakan diri sendiri ketika selesai membaca artikel itu.

Seperti  teori Abraham H. Maslow, menertawakan diri sendiri lebih baik daripada menertawakan orang lain. Tidak perlu khawatir akan munculnya emosi negatif karena yang ditertawakan adalah diri sendiri, yaitu sebagai introspeksi diri dan menemukan kesalahan yang perlu diperbaiki tanpa harus tersinggung oleh komentar orang lain.

Tahun ini menjadi Pilkada yang paling lucu, pokoknya. Pertama pertarungan sengit antara timses arus perubahan dari jalur independen nomor 1 yang selalu menyerang petahanan nomor 2 dengan isu korupsi dan kegagalan pembangunan. Dua kandidat ini memang paling berisik.

Ditambak lagi, timses nomor 2 rajin banget mengunggah kegiatan memberikan bantuan sembako dan pembangunan jalan dengan mengenakan atribut pakaian kampanye. Tentu saja seperti umpan empuk bagi timses nomor 1 untuk melaporkan adanya politik uang ke Bawaslu.

H-1 pencoblosan, geger OTT politik uang dengan cara bagi-bagi bandeng. Kisruh lagi di media sosial. Diaggapnya lagi politik bandengisasi dari paslon nomor 3.

Lalu pemenangnya bukan nomor 1 atau pun 2 yang selalu memanas, muncul nomor 4 yang menang dengan jurus menebar Kartu Cilegon Sejahtera. Kartu yang memberikan kredit Rp25 juta. Wooow. Entah bagaimana realisasinya, ketika dihitung PAD kota Cilegon yang masih di kisaran angka Rp1 Triliun. Ya sudah, ini bakal jadi catatan bagi saya buat mengawal dan bahan untuk menulis lagi di Kompasiana di kemudian hari.

Menulis di Kompasiana itu menyenangkan, tanpa ada tekanan dan mendapatkan kebebasan menuangkan semua opini yang dilandasi pada fakta dan bukti. Eksplorasi kata-kata akan membuat penulisan lebih kreatif dan kaya literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun