Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jalan Sunyi Pengrajin Genteng di Cilegon yang Hampir Punah

4 Oktober 2020   10:49 Diperbarui: 4 Oktober 2020   20:41 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan ratusan Gubug Lio sempat menjadi detak jantung perekonomian warga yang sangat menjanjikan. Ratusan gubug Lio yang dikenal sebagai tempat kerajinan pembuatan genteng sempat berjaya dan tersebar dari Kelurahan Ketileng hingga Keluarahan Karang Asem, Kota Cilegon.

Namun kini, kepulan asap pembakaran genteng dari tungku Kobongan Lio sudah tidak lagi menghiasi langit-langit Cilegon. Gubug Lio tergusur oleh perkembangan jaman, antara pengembangan perumahan dan pertumbuhan pabrik industri.

Perlahan namun pasti, detak kehidupan di Gubug Lio pun menjadi sunyi, kobongan terasa dingin tanpa api pembakaran. Dari ratusan Gubug Lio yang pernah beroprasi, kini hanya menyisahkan sedikitnya empat, satu di antaranya ada di Kelurahan Karang Asem.

Runtuhan Gubug Lio menyisahkan tungku Kobongan (Dokpri/Pram)
Runtuhan Gubug Lio menyisahkan tungku Kobongan (Dokpri/Pram)
Sabtu sore seteleh hujan redah. Saya berkesempatan untuk menyusuri lokasi tempat-tempat keberadaan Gubug Lio. Kini hanya menjadi sebuah kenangan, gubug-gubug ambrug rata dengan ilalang. Cerukan galian tanah pun kering dan penuh dengan sampah. Perjananan terasa sunyi di bawa langit yang masih mendung.

Hingga dipenghujung jalan, saya bertemu dengan sebuah Gubug Lio yang masih aktif memproduksi genteng.  Hingga kemudian bertemu Wawan, pemuda asli Karang Asem yang sudah berpengalaman membuat genteng sejak kecil.

Obrolan ringan bersama Wawan terjadi sembari memperhatikan tangannya yang terampil mencetak tanah liat dengan alat pres. Menata genteng yang baru jadi di atas ancak, kemudian disusun ke rak-rak peranggong untuk menunggu kering.

"Seperti ini saja proses pembuatan genteng. Dimulai dari mengaduk tanah, dicetak, dikeringkan, lalu dibakar di dalam kobong," kata Wawan.

Proses pencetakan genteng yang dilakukan pekerja (Dokpri/Pram)
Proses pencetakan genteng yang dilakukan pekerja (Dokpri/Pram)
Melihat proses pencetakan genteng memang terlihat gampang. Namun proses pengolahan tanah hingga sampai pada bentuk lembut dan bisa dicetak adalah perjuangan yang cukup berat.

"Lahan tanah di sini sudah tidak lagi mencukupi. Hektaran tanah yang tersisa juga sudah dibeli orang. Tinggal menunggu waktu saja kapan tanah di sini dijadikan perluasan perumahan atau mungkin pabrik," ungkap Wawan.

Bahan baku tanah tidak cukup mengandalkan tanah yang berada di sekitar Gubug Lio, perlu tambahan tanah merah yang dikirim dari Kabupaten Serang. Setelah itu tanah dicampur ke dalam mesin hingga membentuk balokan tanah liat.

"Dulu pencampuran tanah dengan dicangkul, diinjek-injek, terus dikasih air. Prosesnya lama. Sekarang ada mesin jadi lebih cepat, tapi sulit mendapatkan tanahnya. Harga tanah dan ongkosnya pun lumayan tidak murah," kata Wawan.

Kondisi tempat pengambilan tanah liat di sekitar Gubuga Lio saat ini (Dokpri/Pram)
Kondisi tempat pengambilan tanah liat di sekitar Gubuga Lio saat ini (Dokpri/Pram)
Wawan tetap bertahan menjalankan tradisi mencetak genteng sebagai upaya bertahan hidup. Mengaku memiliki langganan, Wawan tidak kesulitan untuk menjual.

Wawan sadar, penghasilan dari produksi genteng tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Butuh proses yang lama dari pencetakan genteng hingga masuk ke dalam tungku kobongan.

"Kapasitas Kobongan hanya bisa memuat sembilan ribu saja. Itu juga butuh proses satu bulan untuk bisa terkumpul, atau jika masuk musim hujan akan lebih lama lagi," katanya.

Membayangkan biaya produksi dan hasil penjualan rasanya sulit untuk dipahami. Wawan sendiri mengaku berat dalam pembelian tanah dan ongkos kirim dari serang. Sementara pembongkaran hasil pembakaran genteng cukup lama.

Harga satuan genteng saat ini Rp700. Sementara kapasitas pembakaran genteng hanya cukup 9.000 saja. Itu pun jika dibongkar, ada yang gagal karena gosong dan pecah bisa mencapai 1.000. Genteng yang layak jual sekitar 8.000. Artinya, dalam satu bulan hanya mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp5.600.000. 

"Ya, gimana lagi. Jika dihitung-hitung cukup buat makan saja masih kurang," kata Wawan.

Genteng baru selesai dicetak (Dokpri/Pram)
Genteng baru selesai dicetak (Dokpri/Pram)
Wawan menyadari, runtuhnya Gubug Lio disebabkan oleh harga jual yang sangat murah. Sementara persaingan penjualan genteng kalah dengan genteng yang berasal dari Lampung.

"Saya akui, genteng dari Lampung itu lebih bagus dan halus, kelihatan dari warnanya yang merahnya rata," kata Wawan.

Perkembangan kerangka baja untuk kontruksi atap rumah pun membuat genteng tidak lagi dilirik. Inilah alasan kenapa banyak pengrajin meninggalkan Gubug Lio dan membuka usaha lainnya.

"Sejak dulu, sama sekali kita tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dalam bentuk apa pun itu. Apalagi perlindungan kesejahteraan para pengrajinnya," kata Wawan.

Sisa pembakaran genteng dari tungku Kobong (Dokpri/Pram)
Sisa pembakaran genteng dari tungku Kobong (Dokpri/Pram)
Ratusan Gubug Lio yang pernah ada harusnya mendapatkan perhatian yang serius dari Pemerintah Kota Cilegon. Tahun 1980 hingga awal 2000an, Gubug Lio pernah menjadi sumber kehidupan ribuan orang di Cilegon. 

"Dari Lio saja banyak yang bisa berangkat haji, bukan dari hasil penjualan genteng saja, tapi penjualan tanah beserta gubug juga. Ya, hasil pembuatan genteng semakin sulit, mending dijual aja," kata Wawan dengan rasa kecewa.

Sekelumit kisah kehidupan Wawan yang tetap bertahan menjadi pengrajin genteng adalah potret ironi kehidupan di Kota Cilegon. Ketika penguasa lebih condong ke pengusaha industri besar, maka detak kehidupan Gubug Lio pun semakin sesak dan mati.

Istilah:

  • Gubug Lio = sebuah gubug pembuatan genteng.
  • Kobongan = tungku pembakaran genteng
  • Ancak = tempat meletakan genteng baru dicetak
  • Pranggong = rak untuk menyusun genteng hingga kering.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun