Keberadaan ratusan Gubug Lio sempat menjadi detak jantung perekonomian warga yang sangat menjanjikan. Ratusan gubug Lio yang dikenal sebagai tempat kerajinan pembuatan genteng sempat berjaya dan tersebar dari Kelurahan Ketileng hingga Keluarahan Karang Asem, Kota Cilegon.
Namun kini, kepulan asap pembakaran genteng dari tungku Kobongan Lio sudah tidak lagi menghiasi langit-langit Cilegon. Gubug Lio tergusur oleh perkembangan jaman, antara pengembangan perumahan dan pertumbuhan pabrik industri.
Perlahan namun pasti, detak kehidupan di Gubug Lio pun menjadi sunyi, kobongan terasa dingin tanpa api pembakaran. Dari ratusan Gubug Lio yang pernah beroprasi, kini hanya menyisahkan sedikitnya empat, satu di antaranya ada di Kelurahan Karang Asem.
Hingga dipenghujung jalan, saya bertemu dengan sebuah Gubug Lio yang masih aktif memproduksi genteng. Â Hingga kemudian bertemu Wawan, pemuda asli Karang Asem yang sudah berpengalaman membuat genteng sejak kecil.
Obrolan ringan bersama Wawan terjadi sembari memperhatikan tangannya yang terampil mencetak tanah liat dengan alat pres. Menata genteng yang baru jadi di atas ancak, kemudian disusun ke rak-rak peranggong untuk menunggu kering.
"Seperti ini saja proses pembuatan genteng. Dimulai dari mengaduk tanah, dicetak, dikeringkan, lalu dibakar di dalam kobong," kata Wawan.
"Lahan tanah di sini sudah tidak lagi mencukupi. Hektaran tanah yang tersisa juga sudah dibeli orang. Tinggal menunggu waktu saja kapan tanah di sini dijadikan perluasan perumahan atau mungkin pabrik," ungkap Wawan.
Bahan baku tanah tidak cukup mengandalkan tanah yang berada di sekitar Gubug Lio, perlu tambahan tanah merah yang dikirim dari Kabupaten Serang. Setelah itu tanah dicampur ke dalam mesin hingga membentuk balokan tanah liat.
"Dulu pencampuran tanah dengan dicangkul, diinjek-injek, terus dikasih air. Prosesnya lama. Sekarang ada mesin jadi lebih cepat, tapi sulit mendapatkan tanahnya. Harga tanah dan ongkosnya pun lumayan tidak murah," kata Wawan.
Wawan sadar, penghasilan dari produksi genteng tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Butuh proses yang lama dari pencetakan genteng hingga masuk ke dalam tungku kobongan.
"Kapasitas Kobongan hanya bisa memuat sembilan ribu saja. Itu juga butuh proses satu bulan untuk bisa terkumpul, atau jika masuk musim hujan akan lebih lama lagi," katanya.
Membayangkan biaya produksi dan hasil penjualan rasanya sulit untuk dipahami. Wawan sendiri mengaku berat dalam pembelian tanah dan ongkos kirim dari serang. Sementara pembongkaran hasil pembakaran genteng cukup lama.
Harga satuan genteng saat ini Rp700. Sementara kapasitas pembakaran genteng hanya cukup 9.000 saja. Itu pun jika dibongkar, ada yang gagal karena gosong dan pecah bisa mencapai 1.000. Genteng yang layak jual sekitar 8.000. Artinya, dalam satu bulan hanya mampu menghasilkan pendapatan sekitar Rp5.600.000.Â
"Ya, gimana lagi. Jika dihitung-hitung cukup buat makan saja masih kurang," kata Wawan.
"Saya akui, genteng dari Lampung itu lebih bagus dan halus, kelihatan dari warnanya yang merahnya rata," kata Wawan.
Perkembangan kerangka baja untuk kontruksi atap rumah pun membuat genteng tidak lagi dilirik. Inilah alasan kenapa banyak pengrajin meninggalkan Gubug Lio dan membuka usaha lainnya.
"Sejak dulu, sama sekali kita tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, dalam bentuk apa pun itu. Apalagi perlindungan kesejahteraan para pengrajinnya," kata Wawan.
"Dari Lio saja banyak yang bisa berangkat haji, bukan dari hasil penjualan genteng saja, tapi penjualan tanah beserta gubug juga. Ya, hasil pembuatan genteng semakin sulit, mending dijual aja," kata Wawan dengan rasa kecewa.
Sekelumit kisah kehidupan Wawan yang tetap bertahan menjadi pengrajin genteng adalah potret ironi kehidupan di Kota Cilegon. Ketika penguasa lebih condong ke pengusaha industri besar, maka detak kehidupan Gubug Lio pun semakin sesak dan mati.
Istilah:
- Gubug Lio = sebuah gubug pembuatan genteng.
- Kobongan = tungku pembakaran genteng
- Ancak = tempat meletakan genteng baru dicetak
- Pranggong = rak untuk menyusun genteng hingga kering.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H