Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Ziarah": Perjuangan, Kesetian, dan Berdamai dengan Masa Lalu

12 Juni 2020   20:48 Diperbarui: 17 Juni 2020   01:56 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Sri dalam Film Ziarah (Foto Halaman Facebook Film Ziarah)

Keriput di wajahnya menjadi saksi hampir satu abad sudah menjalani hidup di dunia. Tubuh rentah sudah membungkuk, berjalan terseok-seok menyusuri jalan. Tatapan mata yang menyimpan harapan besar. Mbah Sri namanya.

Langkah kakinya sudah gontai, namun mampu melakukan perjalanan panjang. Seorang diri dengan mengenakan kebaya dan jarit, mbah Sri berpetualang mencari makam suaminya.

Karakter Mbah Sri sangat lekat dengan judul film Ziarah. Film yang rilis di tahun 2017, namun baru bisa menonton saat tayang di TVRI, Rabu 10 Juni 2020 kemarin. Hal ini karena film Ziarah tidak mampir ke Bioskop di Cilegon.

Kehadiran film Ziarah di layar kaca merasa ada tontonan film Indonesia pengobat dahaga disaat kita sudah terlalu lama merindukan bioskop.

Kembali dalam cerita film Ziarah, BW Purba Negara sebagai sutradara dan penulis skenario menyajikan film drama dengan durasi 1 jam 27 menit dengan kisah cinta yang tidak biasa.

Ziarah menceritakan seorang perempuan sepuh bernama Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang ingin menemukan makam suaminya. Mbah Sri berharap, ketika meninggal nanti bisa dikubur bersebelahan dengan suaminya itu.

Kisah yang diawali oleh tekad Mbah Sri yang harus terpisah karena suami pergi berjuang dalam Agresi Militer II tahun 1948. Sejak itulah suaminya tidak kembali.

Sepanjang jalan cerita, kita akan diperlihatkan sejumlah adegan Mbah Sri menjelahahi setiap makam dan mengungkap sejarah masa lalu. 

Bermodalkan cerita-cerita para veteran yang masih hidup, Mbah Sri memiliki keyakinan bahwa suaminya tidak dikuburkan di makam pahlawan dengan nisan tanpa nama.. 

Kemudian, perjalanan seorang diri dilakoni, menaiki kendaraan umum, hingga berjalan kaki menapaki jalan berbukit. Kegigihan Mbah Sri mengalahkan kondisi tubuh yang rentah dan tetap kuat menjajaki langkah demi mendapatkan makam suaminya.

Sebagai penonton, saya sudah terbawa suasan bagaimana Mbah Sri memiliki keteguhan hati untuk mencari. Di usia 95 tahun, seorang nenek masih kuat berjalan, memiliki ingatan dan pengelihatan yang tajam. Sebuah kondisi tubuh yang tetap sehat meskipun sudah sepuh. 

Ketika dihadapkan pada kenyataan, kuburan suaminya sudah tenggelam oleh proyek pembuatan waduk pemerintah. Ziarah pun terpaksa dilakukan dari atas perahu kecil.

Dari serangkaian cerita, saya sudah mulai terkesan ketika Mbah Sri melakukan pencarian makam suaminya dengan cara melihat petunjuk dari keris yang dimilikinya. Mbah Sri percaya, keris yang dimilikinya akan terhubung dengan keberadaan keris yang menjadi pasangannya.

Pada suatu malam, melalui prantara seorang dukun, ujung keris menunjuk ke arah barat daya.

Perjalanan Mbah Sri kemudian berlanjut untuk mendatangi makam-makam khas jawa. Menyingkap sejarah baru yang didapat dari perjalanan Mbah Sri.

Salah satu harapan besar itu muncul, suami Mbah Sri ternyata diselamatkan oleh seorang ahli pengobatan. Suami Mbah Sri mengalami luka tembak yang sangat parah. Suami Mbah Sri diselamatkan oleh Ki Husodo.

Pencarian berikutnya adalah mendatangi desa tempat tinggal Ki Husodo. Pemandangan perbukitan dengan lereng-lereng yang gersang membuat perjuangan Mbah Sri terasa sangat melelahkan. Apalagi kini banyak warga desa yang tidak mengenali sosok Ki Husodo.

Ketika Mbah Sri mulai kebingungan, muncul sosok Mbah Tresno yang mengaku sebagai cucu dari Ki Husodo. Mbah Sri memberikan foto suaminya. Dari sinilah ada petunjuk kuburan suami Mbah Sri berada di Makam Muktiloyo.

Sayangnya dalam perjalanan menuju makam Muktiloyo, Mbah Tresno malah memberi petunjuk yang salah. Sehingga ketika sampai di makam, Mbah Sri yang sudah kelelahan tidak menemukan makam suaminya. Hingga Mbah Trisno menjumpai Mbah Sri tertidur di gapura pemakaman.

Petunjuk lainnya yang muncul ketika keris milik Mbah Sri bergetar saat bermalam di rumah Mbah Tresno. Ujung keris menghadap ke sebuah lemari. Keris itu menemukan kembali pasangannya.

Entah mengapa kemudian Mbah Sri milih melarung kedua keris itu ke sungai. 

Sampai pada akhir cerita, keberhasilan penulis cerita mengecoh semua penonton. Mbah Sri yang diantar menuju terminal, malah dibawah oleh sopir ke makam Muktiloyo.

Mbah Sri berhasil menemukan pusara suaminya bernama Ki Pawiro Sahid yang meninggal 1985. Lebih mengejutkan di sebelahnya terdapat makam bertulis nama Nyi Pawiro Sahid meninggal 1987. Mbah Sri seketika jatuh pingsan.

Ini plot twest yang sangat tidak terduga jika kita menyaksikan dengan seksama dari awal cerita. Banyak pertanyaan dalam benak saya tentang sosok Pawiro Sahid.

Kesetiaam Mbah Sri yang ditinggal berjuang dalam kondisi baru memiliki seorang anak. Agrasi militer Belanda membuat kisah cinta dengan suaminya ditelan oleh kabar suaminya meninggal.

Kesetian Mbah Sri sudah tidak lagi terukur. Namun fakta baru memaksa Mbah Sri harus bisa berdamai dengan masa lalu.

Akhir cerita yang sulit untuk diterima. Seperti Pawiro Sahid selamat dan tetap hidup hingga tahun 1985, kenapa tidak pernah kembali kepada istrinya?

Keberadaan kuburan bertuliskan nama Nyi Pawiro Sahid memang tanpa ada narasi penjelas, namun kita bisa menebak jika itu adalah istri dari Ki Pawiro Sahid. Diperjelas lagi dengan keris Mbah Sri bertemu dengan keris Ki Pawiro Sahid.

Cerita film memang tidak butuh narasi panjang. Cerita yang mengejutkan membuat penulis skenario membawa penonton meneruskan perjalanan Mbah Sri mencari makam suaminya. Kini kita dihadapkan pada rasa penasaran tentang dua makam itu.

Wajar jika kemudian film Ziarah dibanjiri banyak penghargaan seperti Film Terbaik Pilihan Juri -- ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, Skenario Terbaik di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, Film Terbaik di Salamindanaw Film Festival 2016 Filipina, dan Skenario Terbaik versi Majalah Tempo 2016.

Sederet nominasi pengahargaan pun membuktikan bahwa film ini memiliki kualitas yang baik. Salah satunya adalah Mbah Ponco Sutiyem masuk jajaran nominasi pemeran wanita di ajang ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun