Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Betapa Emosionalnya Mendengar Dentuman GAK Erupsi

11 April 2020   11:38 Diperbarui: 11 April 2020   11:34 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi orang yang tinggal di pesisir Selat Sunda mendengar Gunung Anak Kraktau (GAK) kembali erupsi menimbulkan kecemasan. Gelombang stunami seperti akhir tahun 2018 masih menjadi trauma dan gampang kembali kaget jika mendengar kata erupsi.

Sejak jumat malam, sekitar pukul 23.00 WIB, grup whatsaap keluarga kembali ramai. Mang Sakib yang tinggal di pesisir Labuan, Kabupaten Pandeglang memberi kabar  GAK erupsi.

Tak lama kemudian, saudara sepupu di Jakarta mengabarkan mendengar dentuman keras menjelang dini hari. Sebuah pertanyaan, apakah suara itu juga berasal dari GAK?

"Suara GAK Sudah hafal, berdentum tapi mendem, tidak menggelegar," kata Mang Sakib yang mengirim pesan pada pukul dua dini hari.

"Di Cilegon tidak mendengar apa-apa," saya menanggapi.

"Di Medsos rame. katanya dari Krakatau."

Warga Jakarta yang mendengar suara dentuman keras yang dikaitkan aktifitas GAK membuat geger warga sekitar pantai saja. Trauma yang dirasakan korban tsunami selat sunda menjadi cerita yang sukar untuk dihapus dari rasa ketakutan. Waktu yang terus berjalan, ketika GAK sudah tidak setinggi dulu, namun geliat semburan asap hitam pekat yang terus membumbung berasa menjadi teror.

Duka 22 Desember 2018 tidak bisa dilupakan begitu saja. Hantaman gelombang tinggi yang tiba-tiba menerjang pesisir Banten dan Lampung itu telah menewaskan 426 orang dan 7.202 orang mengalami luka-luka. Belum lagi harta benda seperti rumah dan kendaraan yang hancur.

Berhari-hari menjadi relawan kemanusian dan merangkap sebagai jurnalis di daerah terdampak tsunami, turut menyimpan rasa kesedihan yang mendalam. 

Mencari keluarga yang hilang hingga kini belum ditemukan. Cerita kisah seorang anak yang kehilangan ibunya. Seorang ayah yang mengalami patah kaki akibat terbentur dinding rumahnya yang dirawat di tenda pengungsian. Belum lagi lensa kamera menangkap banyak sekali gambar-gambar yang memilukan.

Setiap detik yang terlewati, tidak hanya berpacu pada membangun keberanian diri untuk kuat menghadapi musibah yang terjadi. Berita bohong menjadi momok menakutkan manakalah tersiar kabar air kembali naik ke daratan. Saya yang dekat dari pantai akan berlarian ke daratan lebih tinggi dengan rasa ketakutan.

Ya, perjuangan yang tidak gampang untuk menjadi ikhlas di tengah bencana. Bukan faktor alam saja yang mengintai nyawa, namun ada oknum tidak bertanggungjawab yang menjadikan bencana sebagai permainan untuk menyebarkan berita bohong yang menyebabkan ketakutan.

Wajar jika kini, warga yang pernah kehilangan keluarga dan harta benda akibat tsunami yang disebabkan matrial GAK longsor menjadi lebih emosional. 

Berita yang menghubungkan suara dentuman di Jakarta yang dikaitkan aktifitas GAK. Keramaian di media inilah mempengaruhi warga disekitar pantai menjadi lebih was-was.

Sepengalaman saya memantau perkembangan erupsi GAK dari jarak terjauh posko pemantauan di Pesauran, hingga jarak terdekat sekitar 2 KM, suara dentuman tidak seperti ledakan yang menggelegar seperti ledakan bom. Dentuman itu terasa mendem di bawah laut. Jika pun terdengar lebih keras itu karena asap pekat yang keluar dari kawah menyebabkan petir dan kilat.

Jadi, suara dentuman erupsi GAK itu hanya bisa didengar di daratan yang dekat dengan GAK. Jika pun terdengar hingga sampai Jakarta, mungkin ada faktor lain yang mempengaruhi.

Cukup lah membahas suara dentuman itu. Geliat GAK memang tidak pernah berhenti. Sama halnya orang-orang pesisir pantai pun tidak pernah berhenti untuk bangkit menata hidup. Kini kehidupan warga sudah berjalan normal setelah apa yang sudah terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun