"Di sini kebetulan lagi tidak membuka lowongan pekerjaan."
Wajah pemuda di hadapan saya terlihat masam. Amplop besar berwarna coklat diremas dengan jari-jarinya. Ada raut kecewa di air mukanya.
"Saya mau kerja apa saja, Pak," katanya memelas.
"Untuk saat ini memang tidak ada."
Sebagai Kepala Bagian Humas di sebuah intansi, sering sekali berhadapkan pada para pencari kerja yang datang langsung ke kantor. Bahkan setiap musim kelulusan sekolah, banyak amplop lamaran kerja berdatangan setiap hari. Surat elektronik pun dipenuhi dengan subjek lamaran pekerjaan.
Sempat iseng membuka isi amplop surat lamaran yang menumpuk. Rata-rata mereka berusia muda dengan rentan usia 18 hingga 23 tahun. Jenjang pendididikan SMA hingga sarjana dengan beragam jurusan.
Keisengan saya kemudian sampai menelusuri sosial media mereka. Ada dua hal yang membuat saya kaget melihat isi postingan sosial media mereka.
Pertama, di antara mereka rupanya berprestasi di bidang akademik. Bahkan di sosial media sampai posting foto saat menerima penghargaan sebagi lulusan terbaik.
Kedua, mereka yang rajin update status dengan isi mengeluh sulitnya mencari kerja. Bahkan mereka tidak segan-segan menyalahkan Presiden Joko Widodo dengan kata-kata bullyan.
Memang sangat memprihatinkan ketika mengetahui jati diri para pelamar pekerjaan dari akun sosial media mereka. Sulitnya mencari pekerjaan diluapkan dalam postingan sosial media.