Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bulan Luka

25 November 2019   15:51 Diperbarui: 28 November 2019   08:50 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia menyesalkan ayahnya yang menjelma serupa iblis, diselususupi arwah sang Rahwana dengan gelora birahi tanpa pernah puas dengan satu wanita yang sangat mencintainya. 

Memupuskan hati nurani kerasnya tangan yang menghantam ulu hati, melindas padang cinta yang pernah ditanami kasih sayang dengan kaki ketidak perdulian akan janji, mengguncangkan mahligai dengan tiupan badai yang bau pesing, anyir alkohol, menjijikan.

Rembulan itu selalu bersinar dengan kelembutan. Tak terlalu panas namun cukup menghangatkan suasana alam untuk memadu kasih. Rembulan adalah tujuan sebuah kedamaian. Sebagai serpihan surga yang ditujuh penuh harapan. Kelak ia berniat akan terbang kesana. Mengepakan sayap-sayapnya. Mengembalikan keagungan sang Dewi. 

Memberikan tahta suci sebagai Dewi yang terhormat. Melepaskan nafas usang dan membakar sejarah pahit yang melukai. Itulah cita-cita Ibu yang ia pun menunggunya, mengharapkan ayahnya kembali lagi menjadi seorang lelaki lembut penuh kasih sayang.

Padahal, dulu, kenangan manis yang tersisa dalam ingatan, pernah suatu waktu di hari yang cerah ia bermain dengan ayahnya di halaman rumah mereka yang harum dengan aroma bunga-bunga yang ditanam ibu. 

Masih teringat dengan ajaran kesatria yang harus menghargai arti cinta dan bagaimana menebarkan cinta dalam mewujudkan mimpi menjadi nyata. 

Melukiskan sejarah dalam dinding mahligai yang dapat diwarisi penuh kebanggaan. Itu semua adalah bukti pernah ada kasih sayang yang melimpah sebelum tragedi kehancuran dimulai. Sang lelaki terhormat berubah menjadi iblis nista.

Itu cuma cerita, yang hanya sebagai pemanis yang pernah ada. Sang iblis sudah terjerat racun para sang Dewi-dewi lain di  luaran sana, menyukai arak yang membakar nuraninya, dalam mabuk ia tidak menyadari bahwa ia sendiri yang membakar semua mimpi yang pernah diajarkannya. 

Itu yang ia tak mengerti. Kenapa Ibu yang terpuruk dengan kepercayaan cinta tanpa tersadar semakin terkikis oleh waktu kebiadaban?

Ia tak henti berpikir. Apa yang harus ia perbuat? Perlawanannya selama ini justru membuatnya terluka. Menahan nyeri yang menyiksa sekujur tubuh. Lelah berperang dengan nurani yang bimbang, antara cinta dan kebencian untuk melawan. 

Sangat mencintai sang iblis, munafik pula jika mengaharapkan kembali berubah menjadi ayah yang lembut dan bertanggung jawab, karena keiblisan mengkaratkan hati nuraninya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun