Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Romantika Papandayan, Menyesap Rindu pada Yasinta

29 Oktober 2019   15:32 Diperbarui: 29 Oktober 2019   15:47 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Camp David 2015. dok. pribadi

Kopi menjadi minuman yang terkadang akan menjadi puitis di tangan jemari penyair. Ditemani senja maka akan lebih romantis dengan alur cerita drama. Tapi bagi saya, kopi adalah kenikmatan, sastra, atau pun kiasan pahitnya patah hati, kopi menyimpan banyak kenangan yang menghantarkan pada petualang hidup ini.

Segelas kopi tersaji di atas meja di ruang kerja sahabat lama. Dari sela-sela jendela, semburat cahaya memang sudah mulai terpancar. Sebentar lagi senja. Tidak bermaksud membuat cerita romantis tentang kopi dan senja. Hingga magrib menjelang, tidak banyak perbincangan. Kopi dan aromanya begitu akrab untuk terus aku sesapi. Cahaya keemasan senja berlalu sebentar saja. Semua itu seperti kunci untuk membuka sebuah kenangan yang sudah tertumpuk beberapa tahun lalu dalam memori ingatan.

Saya memang pecinta kopi, paling hafal adalah Kopi Kupu-kupu asal Rangkasbitung. Selebihnya, jika bukan kopi dalam kemasan plastik sachetan, bubuk kopi yang terseduh air panas adalah sebenarnya kopi, jawabannya antara robusta atau arabika. Mencoba mengingat khas kopi yang menyentuh seluruh bagian lidah dan rongga mulut.

Selesai menunaikan sholat magrib, obrolan tersulut pada sebuah kenangan perjalanan bersama sahabat lama saya ini.
"Masi ingat dengan Yasinta?" kata Waseh.

Mendengar kata secantik itu, ingatanku langsung tertuju pada seorang gadis asal Padang. Awal perkenalan di tempat yang tidak seromantis di dalam film, yaitu sebuah pelataran minimarket di Jalur Nagrek.

"Yasinta dan arabika Papandayan," saya menjawab pasti. 

Telapak tangan Waseh melayang di depan mata, reflek saya sambut, seketika terbentur. Tos! Soal perempuan cantik seolah merangsang ingatan dimana darah mudah bujang bergejolak.

"Ingat saat petualang yang masi takut mendaki gunung tinggi, tapi menginginkan berjumpa bunga edelweis," kata Waseh.

Kata petualang sepertinya tidak cocok jika disematkan kepada saya. Waseh adalah seorang pendaki sejati yang sudah menaklukan gunung-gunung di tanah Jawa, Sumatra, dan pedalaman di Pegunungan Papua. Saya hanya penikmat pemandangan laut, pantai, dan pulau-pulau. Sedikit religius mendatangi tempat peninggalan sejarah, seperti tempat ziarah para wali dan bangunan kuno peninggalan peradaban di masa lalu.

Gunung Papandayan menjadi tujuan pendakian pertama di luar wilayah Banten di tahun 2015 silam. Sebelumnya Gunung Pulosari, Gunung Karang, dan Gunung Gede Bojonegara sudah berhasil ditaklukan di tanah para jawara. Hingga kemudian obrolan di sepanjang perjalanan Kapal Ferry Penyebrangan Bakauheni -- Merak, setelah menjelajahi wisata Gunung Anak Krakatau dan pulau-pulau di sekitar perairan Selat Sunda, Waseh memberikan tantangan kepada saya untuk mendaki gunung.

"Hayolah, jangan main pantai melulu," kata Waseh.

"Pengen lihat bunga edelweis. Tapi tidak mau jika gunung yang tinggi," kata saya saat itu. Tentu saja Waseh bersama beberapa teman lainnya menanggapinya dengan gelak tawa.

Dari obrolan di atas kapal itu memang tidak mendapatkan keputusan akan mendaki gunung mana pun. Hingga selang sebulan kemudian Waseh menghubungi saya melalui inbox Facebook, intinya adalah mengajak ikut giat projek fotografi di kawasan Gunung Papandayan. Setelah mengetahui bahwa di akhir Agustus adalah momen saat edelweis bermekaran, saat itu juga saya katakana, "siap!". Langsung meminta ijin cuti libur di hari sabtu. Hari keberuntungan, pimpinan di tempat kerja saya mengijinkan.

Perjalanan dimulai dari Kota Cilegon pada Jumat sore, menuju Kota Jakarta menggunakan bus Merak- Kampung Rambutan. Sekitar pukul 20.00 WIB saya berjumpa dengan Waseh di depan minimarket dekat terminal Kampung Rambutan.

Perjalanan menggunakan sebuah mobil minibus. Hanya saya dan Waseh. Nanti di Jalur Nagrek kita akan menjemput 3 orang lagi yang berasal dari Kota Bandung. Mereka adalah Vee dan Bastian, pasangan pengantin baru, serta seorang temannya. Mereka yang memberikan job kepada Waseh untuk mengabadikan dalam foto. Waseh sebenarnya seorang karyawan kontruksi, hanya saja hobi fotografinya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dari Waseh inilah saya banyak belajar tentang fotografi.

Saat tengah malam, mobil berhenti di parkiran minimarket yang sudah tutup. Ada 3 orang yang sudah menunggu, tentu saja Vee dan Bastian, serta satu lagi adalah Yasinta. Di sini awal perkenalan dengan Yasinta, sahabat Bastian yang bekerja sebagai seorang guru privat.

Awal pertemuan memang hanya sekedar bersalaman dan perkenalan saja. Belum cukup bercakap-cakap. Udara dingin memaksa kami harus masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Papandayan di Garut. Yasinta duduk di kursi paling belakang bersama  tumpukan cariel. Baru saja mobil melaju, penumpang di belakang sudah hening. Vee, Bastian, dan Yasinta tertidur. 

Saya yang sebenarnya mengantuk, karena pulang kerja langsung berangkat memangul cariel, berharap bisa tidur di perjalanan, tapi kenyataan harus tetap terjaga menemani Waseh ngobrol. Kopi hangat dalam termos mini sesekali diteguk menjaga agar rongga mulut tetap merasakan kesegaran dari pahitnya kopi dan aroma gula aren yang tercampur.

"Sebelum naik ke kawasan Gunung Papandayan, sebaiknya berhenti di Masjid dulu. Kalian harus solat subuh," kata Bastian mengingatkan.
Di sebuah Masjid, ketika akan melaksanakan solat subuh, obrolan dimulai ketika Yasinta ingin ke toilet. 

Tentu saja saya tidak bisa masuk di area wudhu khusus perempuan. Yasinta sebenarnya takut jika masuk ke dalam toilet. Jadi selama Yasinta di dalam toilet saya harus berbicara terus, entah apa saja yang dikatakan. Namun Yasinta di dalam toilet tidak membalas menjawab ketika bertanya. Gadis itu tau adab, di dalam toilet memang sebaiknya diam.

Camp David 2015. dok. pribadi
Camp David 2015. dok. pribadi
Hingga pagi menjelang, perjelanan kami sudah sampai pada parkiran Camp David. Setelah perjalanan dari masjid, saya tertidur. Saat bangun, mobil sudah kosong. Sayup-sayup udara dingin masuk dari cela kaca jendela yang terbuka hanya 5cm. Saat mata terbuka pemandangan di depan hanya semak belukar dengan warna kecoklatan. 

Namun ketika turun mata dimanjakan dengan panorama pegunungan yang hijau, kawah putih yang sangat luas, kepulan asap dan kabut tampak kontras beradu warna dengan semburat mentari pagi. Dalam-dalam menyesap udara segar yang masi terasa dingin hingga ronggah paru-paru. Sesekali aroma belerang mengganggu hidung. Wajar saja, parkiran ini sudah langsung berbatasan dengan kawah Gunung Papandayan.

Saya kemudian bergabung bersama Vee, Bastian, dan Waseh yang sedang duduk santai sembari membicarakan konsep foto. Yasinta kemudian muncul dari pintu belakang warung membawa piring makanan. Rupanya Yasinta membantu ibu warung membuatkan nasi goreng -- permintaan Vee. Masakannya cukup nikmat meskipun sedikit asin.

Selesai sarapan, Yasinta membawa 3 gelas kopi panas. Vee dan Bastian adalah penikmat teh, mereka kemudian memilih pergi untuk swafoto dengan gawainya. Saat merasakan tegukan kopi panas, pahitnya kopi memenuhi rongga mulut, mengalir pelan pada tenggorokan, disinilah saraf-saraf merespon. Mata yang masi terasa ngantuk seketika terasa segar.

"Ini kopi arabika yang ditanam di sekitar pegunungan Papandayan dan Guntur. Gimana rasanya?" tanya Yasinta. Tidak langsung saya jawab sampai Yasinta menyelesaikan tegukan kopinya.

"Arabika ya rasanya memang seperti ini, pahit dan sedikit asam. Asalkan tanpa gula, terasa nikmat," saya menjawab. Senyum Yasinta bersambut.
Arabika yang pahit dan senyum manis Yasinta menjadi pendakian ini menjadi menyenangkan. Kami semua membawa cariel masing-masing. 

Perjalanan melewati kawah, berwarna putih dengan semburat kuning di bebatuan. Asap putih mengepul dari berbagi sumber. Cariel di punggung saya memang terasa berat, karena ada treeport kamera, tenda, dan peralatan memasak. 

Di menit-menit awal perjalanan sungguh terasa melelahkan, ingin berhenti karena nafas masi belum stabil. Namun banyak berhenti justru semakin melelahkan, karena setiap ada spot foto bagus perjalanan kami sejenak terhenti. Hingga tidak terasa, saya dan Yasinta terlebih dahulu sampai ke Pondok Selada, meninggalkan jauh Waseh yang sedang bekerja ngefoto pasangan pengantin baru.

Pondok Selada adalah semacam dataran yang sangat luas di lembah gunung, cukup jauh jaraknya dengan kawasan kawah. Hanya kepulan asap putih saja yang terlihat dari balik hutan. Sebelumnya Waseh sudah mengarahkan lokasi tempat kita mendirikan tenda. Melihat area Pondok Selada cukup ramai dengan anak-anak pramuka, maka Yasinta mengajak mencari tempat mendirikan tenda di dekat hutan. Tanahnya rata dan terdapat rumpun bunga edelweiss. Yasinta dan Bastian sudah sering naik gunung bersama, wajar jika dia lebih tahu tempat yang cocok untuk mendirikan tenda.

Setelah menentukan tempat, Yasinta langsung membuka cariel. Dikeluarkannya sebuah tenda berwarna merah tua. Yasinta sepertinya sudah terbiasa mendirikan tenda, saya hanya sedikit membantu saja, maka tenda itu sudah berdiri kokoh. Saya kemudian mengeluarkan bungkusan tenda dari dalam cariel. Yasinta langsung menyambut ketika tahu saya tidak mengerti cara mendirikannya. Gadis itu memang cekatan. Tidak hanya cantik tapi juga peduli.

Waktu sudah menunjukan tengah hari. Namun rupanya suasana di Pondok Selada udaranya masi terasa dingin. Teriknya matahari terkalahkan. Awan, entah kabut, ataupun asap berwarna putih itu terasa sangat dingin ketika menyentuh kulit. Hingga semilir angin membuatku terlelap tidur.
Aroma mie instan dan kopi merasukin rongga nafas. Saya terbangun dibarengi dengan celotehan Vee yang merasa kagum dengan pemandangan di Gunung Papandayan. Sementara Bastian hanya menjadi pendengar yang baik. Dari dalam tenda terdengar suara orang mendengkur. Dari kaki kiri yang keluar, bisa dipastikan itu adalah Waseh.

"Sepertinya kamu mulai menikmati Gunung Papandayan ini," kata Vee menghampiri saya. Saya mengambil posisi duduk bersila. Vee duduk disebelah, tanganya menyodorkan segelas kopi. Sementara Bastian sudah merebahkan tubuhnya di dekat rumpun tanaman bunga edelweis. Yasinta datang membawa biskuit.

Saya tidak menyangka bisa mendaki gunung dengan dua perempuan yang sama sekali tidak manja. Tidak mengeluh teriknya cahaya matahari. Tidak peduli tanah mengotori tubuh. Benar saja mendaki gunung harus menurunkan ego dan menghindari persoalan yang memancing konflik. Waktu berjalan begitu lembut, damai, dan dingin. Hutan yang menghijau sedikit kecoklatan di atasnya. Edelweis bermekaran, ada pula yang masi kuncup, juga ada yang sudah menua dengan warna kecoklatan kering. Aneka satwa bersuara dengan khasnya. Di atas ketinggian 2.288 MDPL saya memulai mencintai banyak hal.

Selamat pagi. Mentari perlahan keluar dari balik dinding tebing pegunungan di sebelah barat. Samar-samar lembut cahaya perlahan mulai terang seiring gerakannya yang beranjak tinggi. Wajah menghadap matahari, terbalas dengan helusan lembut kehangatan dari cahayanya. Ah, inilah kenikmatan alam.

Aroma kopi kemudian menyeruak masuk ke dalam rongga pernafasan. Secangkir kopi panas disodorkan dari tangan Yasinta. Saya menerimanya. Yasinta menghadapkan wajahnya ke matahari. Ia memejamkan mata. Saya hanya mampu melihat betapa cantiknya wajah Yasinta dengan paparan cahaya matahari pagi. Yasinta kemudian membuka mata, saya segera meluruskan pandangan pada matahari, tangan Yasinta mengambil cangkir kopi, lalu meneguk perlahan. Sisa tetesan air kopi mengalir dari sudut bibirnya. Lalu terhapus punggung tangan.

"Kamu tahu, kopi Garut punya cerita yang menarik. Dahulu, di awal abad ke-19, kopi mulai ditanam dengan memperkerjakan pribumi. Aroma kopi yang nikmat menjadi primadona bangsa eropa kala itu," kata Yasinta.

Saya mengambil cangkir itu kembali, menyeruput hangatnya cairan hitam pekat. Pahit tanpa gula. Sama halnya dengan nasib petani di sekitar pegunungan Papandayan, Guntur, dan Cikurai yang mengalami masa kelam saat itu. Namun kini, nikmatnya kopi bukan lagi milik Bangsa Eropa--saya dan Yasinta, serta penikmat kopi tentu akan setuju bahwa tanah parahiyangan ini memiliki kualitas kopi terbaik.

Obrolan tentang kopi, rupanya Yasinta sangat hafal. Beberapa bulan terakhir sedang melakukan survey kualitas kopi nusantara. Yasinta berencana akan mendirikan usaha kedai kopi di Kota Bandung. Obrolan kopi menghantarkan perjalanan selanjutnya pada hutan mati. Batang-batang pohon yang merenggas mati yang terpapar erupsi tahun 2002 silam. Paparan letusan kawah Papandayan membuatnnya mongering dan menghitam. Batang-batang yang menjulang dan tetap kokoh. Sangat kontras dengan kondisi tanah yang berwarna putih bercampur belerang. Kawasan ini menjadi spot yang paling disukai Vee dalam sesi pemotretannya.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Benar kata Vee, saya mulai mencintai Gunung Papandayan. Memang pendakian tidak menantang, namun ada sisi lain yang bisa saya rasakan. Naik gunung inginnya bersenang-senang. Ada kesenangan yang lain, bersama Yasinta memberi warna yang lain pada perjalanan ini.

Perjalanan berlanjut. Setelah melewati kawasan hutan mati, jalan semakin menanjak dengan jalur yang mulai menyempit. Sesekali memang terdapat tanjakan yang cukup menantang. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai pada kawasan Tegal Alun.

Setelah melewati jalan yang butuh perjuangan, sampailah pada hamparan dataran yang penuh dengan tumbuhan bunga edelweis. Sangat luas, sehingga sejauh mata memandang kuntum putih bunga edelweiss terhampar layaknya permadani. Ini bagian spot foto yang cukup instagramable. Vee dan Bastian menjadikan latar hamparan bunga edelweis sebagai keabadian cinta mereka. Sesekali saya berganti menjadi fotografer, tentu saja supaya Waseh juga menikmati suasana Gunung Papandayan ini, ya meskipun sudah sering sekali datang ke tempat ini.

"Memory full," saya member tahu bahwa kamera tidak bisa lagi mengambil foto. Waseh menarik nafas lega, begitu pun Bastian dan Vee yang merasa cukup selama perjalanan mendaki Gunung Papandayan terekam menjadi ribuan foto. Waktu berlanjut tanpa lagi memegang kamera. Keakraban terjalin lebih dekat. Canda tawa yang kemudian menjadi penawar rasa lelah.

Tersimpan dalam hati kemudian, seraut wajah Yasinta di antara edelweis. Aroma kopi dan setiap perjalanan yang menjadikan kita tersadar, dunia ini indah, terkadang egois yang membuat hati menjadi sempit.

Hati saya memang terasa sempit dan sesak, tidak terima ketika perjalanan harus berakhir. Meninggalkan hijaunya panorama pegunungan, hamparan putih kawah, kepulan asap yang tak pernah padam, aroma belerang, batang-batang pohon menghitam di hutan mati menyatu bersama keabadian bunga edelweis.

Yah, edelweis, bunga abadi yang tidak bisa dipetik dan dibawa pulang. Kecantikannya cukup bisa dikunjungi saja. Yasinta, menjelma menjadi edelweis, cantik membuat saya jatuh cinta. Namun kenyataan pahit sesampainya di Bandung, Yasinta mengenalkan tunangannya. Satu bungkus bubuk kopi menjadi buah tangan yang diberikan kepada saya sebelum kembali pulang ke Cilegon.

Begitulah kenangan, bisa dinikmati atau merasa tersakiti. Seperti kopi yang pernah diteguk dalam satu cangkir, namun urusan hati tidak bisa dimiliki oleh dua jiwa. Namun pahitnya kopi arabika Garut menjadi penawar rasa rindu, anatara arabika, Yasinta, dan Papandayan.

"Minggu lalu, saya ke Bandung, bertemu Yasinta bersama suaminya. Kemudian menitipkan kopi Garut, untukmu," kata Waseh, saat saya kembali tersadar dengan kisah yang pernah ada.

Saya hanya tersenyum, kopi adalah pahit, tapi tidak dengan patah cinta---manis dikenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun