Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Romantika Papandayan, Menyesap Rindu pada Yasinta

29 Oktober 2019   15:32 Diperbarui: 29 Oktober 2019   15:47 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Camp David 2015. dok. pribadi

Saya kemudian bergabung bersama Vee, Bastian, dan Waseh yang sedang duduk santai sembari membicarakan konsep foto. Yasinta kemudian muncul dari pintu belakang warung membawa piring makanan. Rupanya Yasinta membantu ibu warung membuatkan nasi goreng -- permintaan Vee. Masakannya cukup nikmat meskipun sedikit asin.

Selesai sarapan, Yasinta membawa 3 gelas kopi panas. Vee dan Bastian adalah penikmat teh, mereka kemudian memilih pergi untuk swafoto dengan gawainya. Saat merasakan tegukan kopi panas, pahitnya kopi memenuhi rongga mulut, mengalir pelan pada tenggorokan, disinilah saraf-saraf merespon. Mata yang masi terasa ngantuk seketika terasa segar.

"Ini kopi arabika yang ditanam di sekitar pegunungan Papandayan dan Guntur. Gimana rasanya?" tanya Yasinta. Tidak langsung saya jawab sampai Yasinta menyelesaikan tegukan kopinya.

"Arabika ya rasanya memang seperti ini, pahit dan sedikit asam. Asalkan tanpa gula, terasa nikmat," saya menjawab. Senyum Yasinta bersambut.
Arabika yang pahit dan senyum manis Yasinta menjadi pendakian ini menjadi menyenangkan. Kami semua membawa cariel masing-masing. 

Perjalanan melewati kawah, berwarna putih dengan semburat kuning di bebatuan. Asap putih mengepul dari berbagi sumber. Cariel di punggung saya memang terasa berat, karena ada treeport kamera, tenda, dan peralatan memasak. 

Di menit-menit awal perjalanan sungguh terasa melelahkan, ingin berhenti karena nafas masi belum stabil. Namun banyak berhenti justru semakin melelahkan, karena setiap ada spot foto bagus perjalanan kami sejenak terhenti. Hingga tidak terasa, saya dan Yasinta terlebih dahulu sampai ke Pondok Selada, meninggalkan jauh Waseh yang sedang bekerja ngefoto pasangan pengantin baru.

Pondok Selada adalah semacam dataran yang sangat luas di lembah gunung, cukup jauh jaraknya dengan kawasan kawah. Hanya kepulan asap putih saja yang terlihat dari balik hutan. Sebelumnya Waseh sudah mengarahkan lokasi tempat kita mendirikan tenda. Melihat area Pondok Selada cukup ramai dengan anak-anak pramuka, maka Yasinta mengajak mencari tempat mendirikan tenda di dekat hutan. Tanahnya rata dan terdapat rumpun bunga edelweiss. Yasinta dan Bastian sudah sering naik gunung bersama, wajar jika dia lebih tahu tempat yang cocok untuk mendirikan tenda.

Setelah menentukan tempat, Yasinta langsung membuka cariel. Dikeluarkannya sebuah tenda berwarna merah tua. Yasinta sepertinya sudah terbiasa mendirikan tenda, saya hanya sedikit membantu saja, maka tenda itu sudah berdiri kokoh. Saya kemudian mengeluarkan bungkusan tenda dari dalam cariel. Yasinta langsung menyambut ketika tahu saya tidak mengerti cara mendirikannya. Gadis itu memang cekatan. Tidak hanya cantik tapi juga peduli.

Waktu sudah menunjukan tengah hari. Namun rupanya suasana di Pondok Selada udaranya masi terasa dingin. Teriknya matahari terkalahkan. Awan, entah kabut, ataupun asap berwarna putih itu terasa sangat dingin ketika menyentuh kulit. Hingga semilir angin membuatku terlelap tidur.
Aroma mie instan dan kopi merasukin rongga nafas. Saya terbangun dibarengi dengan celotehan Vee yang merasa kagum dengan pemandangan di Gunung Papandayan. Sementara Bastian hanya menjadi pendengar yang baik. Dari dalam tenda terdengar suara orang mendengkur. Dari kaki kiri yang keluar, bisa dipastikan itu adalah Waseh.

"Sepertinya kamu mulai menikmati Gunung Papandayan ini," kata Vee menghampiri saya. Saya mengambil posisi duduk bersila. Vee duduk disebelah, tanganya menyodorkan segelas kopi. Sementara Bastian sudah merebahkan tubuhnya di dekat rumpun tanaman bunga edelweis. Yasinta datang membawa biskuit.

Saya tidak menyangka bisa mendaki gunung dengan dua perempuan yang sama sekali tidak manja. Tidak mengeluh teriknya cahaya matahari. Tidak peduli tanah mengotori tubuh. Benar saja mendaki gunung harus menurunkan ego dan menghindari persoalan yang memancing konflik. Waktu berjalan begitu lembut, damai, dan dingin. Hutan yang menghijau sedikit kecoklatan di atasnya. Edelweis bermekaran, ada pula yang masi kuncup, juga ada yang sudah menua dengan warna kecoklatan kering. Aneka satwa bersuara dengan khasnya. Di atas ketinggian 2.288 MDPL saya memulai mencintai banyak hal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun