Mohon tunggu...
Mangimpal Lumban Toruan
Mangimpal Lumban Toruan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di sebuah huta (dusun), Banualuhu Kec. Pagaran, Kab. Tapanuli Utara-Sumatera Utara.\r\n\r\n" A Bird Doesn't Sing Because It Has An Answer, It Sings Because Has A Song" ~ Maya Angelou, poet, educator, historian, best-selling author, actress, playwright, civil-rights activist.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Panggil Aku "Anak PKI!"

4 Februari 2014   11:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan untuk mengorek kepahitan masalalu di jaman Orba. Hanya berbagi kue sejarah yang katanya berpotensi berulang...

***
Suatu sore di tahun 1992-an. Sepulang dari sawah, setelah menyimpan peralatan tani: cangkul, sabit, dan keranjang, aku bergegas masuk ke rumah lewat pintu samping. Meski sedang lelah, batinku hangat sebab dalam suasana menunggu berita bagus: Akan Mendapat Beasiswa. Menurut informasi dari Kepala sekolah, yang memanggil kami (juara/big three
) beberapa hari sebelumnya. Pak kepala sekolah, Ido Lumbangaol, bilang kami akan mendapat beasiswa masing-masing 700.000 (tujuh ratus ribu). Uang 700 ribu waktu itu, besar nilainya. Sumber bantuan tidak disebutkan. Bagi kami anak-anak SMP, hal itu tidaklah penting. Yang kami tahu, berprestasi dan pantas mendapatkan hadiah, he...he...

Setengah berlari melewati pintu dapur. Jantungku berdetak lebih kencang, tak sabar 'ingin tahu' apakah petugas tatausaha/admin sekolah sudah datang atau belum. Seperti yang disampaikan kepala sekolah, bagi penerima beasiswa yang rumahnya dekat dengan sekolah ini (SMPN Banualuhu, Kec. Pagaran, Kab. Tapanuli Utara, Sumut), uang itu akan diantarkan oleh pegawai sekolah. Hal itu dimaklumkan, uang sebanyak itu 'riskan' bila diserahkan langsung kepada kami yang masih gugup kala memegang uang sebanyak itu, maklum orang kampung.

Ada yang tidak beres! Ketika inong, yang waktu itu sedang menanak nasi, menoleh ke arahku dengan raut muka 'sedih'. Sontak ia berlari menghampiriku dan memelukku, sangat erat. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi! Kubiarkan saja inong memelukku, isak tangis mulai terdengar. Tangisnya, yang tadinya masih tergolong 'isak yang tertahan' kemudian berubah menjadi raungan. Melihat itu, aku heran dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Semntara itu,aku melihat among duduk termangu di depan perapian. "Mahua ho Inong??? Kenapa kau, ibu???" tanyaku berkali-kali, namun tak dijawabnya.

"Ah, ho pe! Nga sae be i. Maila hita, dibege jolma!" "Ah, Kau ini! Sudahlah. Malu kita didengar tetangga!" Kata among dengan nada membentak, ia bergegas keluar. . Inong tak menggubrisnya, tetap saja ia meraung-raung. Suasana di rumah menjadi ramai. Abangku, John Haposan, yang tadinya sedang di dalam kamar, keluar. "Inonggg! Sudahlahhhh, malu kitaaaa!" katanya sambil bergegas keluar.

Ternyata, beasiswa yang dibatalkan oleh pihak sekolah adalah penyebab. Rupanya, ketika aku sedang di ladang, utusan sekolah (masih kerabat) datang menemui among dan inong. Alasan pembatalan 'beasiswa' erat hubungannya dengan status among yang 'tercap PKI', padahal menurut kesaksian dan keterangan among, ia samasekali tak ada hubungan dengan partai PKI, partai pemenang ketiga tahun 1955. Sialanya, namanya dicatut sebagai pengurus tingkat Kecamatan. Singkat cerita, ketika rezim berganti, PKI dianggap terlarang, para pengurus atau siapapun yang terkait dengan partai berlambang arit dan martil itu harus dibasmi hingga ke akar-akarnya. Jadilah ia menyandang status 'tercap'. Seperti kita tahu bersama, stigma 'tercap' adalah momok yang sangat menakutkan waktu itu. Sebenarnya, sejak saat itu, aku sudah mati secara warganegara, hanya raga kami saja yang hidup, ungkap among di suatu malam.

Beberapa detik kemudian. Suasana dalam rumah perlahan menuju normal.  Sebentuk keheningan menguasai seluruh ruangan. Inong, meski tak lagi terisak-isak, raut wajahnya tampak ditegar-tegarkan. Ia menyibukkan diri, mondar-mandir kesana-kemari, mempersiapkan makan malam. Aku memilih duduk di bangku kecil, menghadap perapian.

Tiba-tiba saja kurasa 'panas hati'. Sebentuk perasaan di atas marah. Aku berpura-pura pamit, mau mandi ke Aek Rangat (pemandian umum), yang lokasinya tak jauh dari rumah. Inong menatapku seraya berkata, "Ah, tak usahlah Kau mandi di sana! Nanti banyak omongan. Di sumur saja kau mandi!" Dengan berat hati, aku putar balik, mengiayakan saran  inong. Aku bergegas mengambil timba dan ember. Seiris sabun cuci batangan kutaruh di dalam ember, aku keluar.

Dalam perjalanan ke sumur, gelap, kubelokkan langkah menuju ladang. Detak jantung semakin memacu, semakin cepat, dan akhirnya aku sudah dalam keadaan berlari, timba kulempar entah ke mana. Aku berlari semakin kencang di atas bedeng sawah, tak kuperdulikan apa pun. Mulutku sudah mulai tak terkontrol, meracau!

Di areal ladang. Suasana gelap, kuhempaskan badanku ke sana ke mari seperti orang kesurupan. Jiwaku serasa terbakar, aku merasa malu. Tak bisa kubayangkan kalau seluruh sekolah memandangku dengan bisik-bisik anak PKI. Mungkin karena frustrasi, Tuhan pun kukutuki, kenapa Ia tak melakukan apa-apa ketika kami teraniaya. Kenapa orang semacam kami, yang hanya anak petani, tak tahu apa-apa dengan pusat, harus ikut juga menanggung aib?!

Setelah kelelahan, aku tertunduk tak berdaya. Murka. Sebagai anak kecil, yang belum tahu duduk perkara terkait keikutsertaannya hingga ia 'tercap', aku marah kepada among, kenapa ia ikut-ikutan tanpa bertanya dulu apa itu PKI. Aku kesal kepada pihak sekolah yang sudah tahu bahwa aku tak bakalan dapat menikmati beasiswa, namun masih mengikutkan aku ke dalam daftar 'penerima bantuan beasiswa' yang belakangan kutahu berasal dari salahsatu Yayasan Supersemar, salahsatu organisasi penampung dana siluman sang diktator.

Aku baru pulang menjelang tengah malam. Among sudah menunggu di pintu depan. Ia berlari ke arahku, ia memelukku erat. Ia rangkul badanku yang masih mungil, badanku tenggelam dalam rangkulannya. Kurasakan air mata berjatuhan menetes di atas kepala. Ia tak mengatakan apa-apa namun kutahu apa makna dari rangkulan yang hangat itu. Ia merasa menyesal karena telah mewariskan semacam 'stigma' beban yang sampai entah kapan kami akan tanggungkan.

Jauh sebelum kejadian ini, meski tak dijelaskan secara lengkap oleh among dan inong, telah kupahami apa dampak menyandang status 'tercap'. Sebelumnya, di suatu malam menjelang 17-an, among didatangi oleh petugas berbaju loreng, katanya dari Koramil, didampingi kepala desa. Aku dilarang mendengar. Aku disuruh keluar oleh inong. Namun karena penasaran, aku mengintip dari lubang dinding rumah yang waktu itu masih berdindingkan papan. Tak paham betul aku apa yang mereka perbincangkan,tetapi  kulihat jelas bahasa tubuh among; tertunduk mirip orang pesakitan di pengadilan. Ketika hal itu kutanyakan kepada inong, di kemudian hari, ia malah bilang supaya aku tak perlu tanya.

Di kemudian hari, di suatu sore, aku menemukan KTP among. Ada tanda sebentuk logo/mirip bintang di bagian atas KTP tersebut. Sebagai anak yang termasuk tak bisa diam dan banyak tanya, hal itu kutanyakan kepada abang-abangku, John. Dengan berat hati, ia membisikkan makna simbol itu.Ternyata tanda itu adalah isyarat untuk kaum 'kiri'.

Di waktu yang lain lagi, abangku John, yang duduk di bangku SMAN 1 Siborong-Borong, akhirnya berhenti sekolah karena 'tak tahan' dikatai 'anak PKI' oleh guru sejarahnya. Ketika itu, menurut penuturan John, gurunya membahas topik 'tentang kebenaran sejarah G 30 S/PKI'. John yang tahu sejarah sebenarnya, berusaha meluruskan, namun sang guru merasa kesal.

Gurunya ngotot bahwa kejadian itu benar-benar dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, yang hendak menggulingkan pemerintahan Soekarno, dengan terlebih dulu membunuh 7 jenderal dan satu puteri, Ade Irma Surayani, dibawah komando Untung (AD). Katanya PKI akan mengganti ideologi Pancasila. Padahal jauh sebelum itu, kalau kita cermati, PKI adalah partai sah secara konstitusi, ya seperti partai-partai sekarang ini. Cuma ideologinya saja yang berbeda. Sejarah mencatat pada pemilihan pertama, 1955, Partai PKI adalah pemenang kedua dalam perolehan suara. Dan massanya diperkiraan 40 jutaan. Karena kesal, sepulang sekolah, ia tantang gurunya 'duel' di luar sekolah. Sikapnya yang 'menantang' itu membuatnya diganjar surat pemberhentian.

Setelahnya, sebelum reformasi terjadi kami seperti orang yang tidak berhak hidup, jiwa kami telah dikunci. Stigma 'anak PKI' yang kami terima dalam banyak hal, (yang kuceritakan baru sekilas) telah membatin sangat mengganggu perkembangan psikologis kami dan jutaan anak bangsa Indonesia, yang sebagian besar 'menyembunyikan' identitasnya demi alasan keamanan dan sebagian besar karena masih takut.

Setiapkali 30 September tiba, aku serasa dihantui semacam 'kerisauan'. Akankah sejarah berulang? Jangan sampai... Penderitaan yang kami alami belum seberapa dibanding korban yang lain!

Akhirnya, aku katakan bahwa tulisan ini tidak bermaksud meminta simpati apalagi menyalahkan, toh semua sudah terjadi. Untuk saudaraku, korban, salam kenal.Tugas kita untuk memberitakan apa yang kita alami supaya sejarah kelam itu tak terjadi lagi. Sekali lagi, aku tak berniat mengungkit masa lalu. Hanya berbagi kisah bagaimana sebuah rejim yang dimotori seorang diktator bernama Soeharto, melakukan apa pun demi tujuan 'berkuasa'. Kutuliskan sebagai perenungan untuk kita semua bahwa negara ini pernah mengalami masa kelam yaitu 'pembunuhan massal', yang sistematis, rapi, dan senyap. 30 September 1965 adalah awal dimulainya pembantaian jutaan manusia Indonesia.

Amnesti Internasional untuk HAM, pernah melansir: 5 Jutaan nyawa melayang semasa Soeharto berkuasa. Jutaan diasingkan ke pulau Buru (baca: Bumi Manusia, Jejak Langkah, karya Pram. Baca juga catatan Suhunan S. "Manakala 30 September Tiba"). Ratusan dipenjarakan tanpa melewati peradilan, untuk membuktikan kesalahan. Banyak yang menderita cacat seumur hidup karena disiksa oleh tentara. Hingga kini, kami (jutaan) jumlahnya, masih banyak menderita secara psikologis. Kami meminta pemerintah 'mengakui dan meminta maaf', supaya sejarah kelam tak terulang lagi!


*Inong=Ibu

*Among=Ayah

Oleh Mangimpal Lumban Toruan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun