Mohon tunggu...
Mangimpal Lumban Toruan
Mangimpal Lumban Toruan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Lahir di sebuah huta (dusun), Banualuhu Kec. Pagaran, Kab. Tapanuli Utara-Sumatera Utara.\r\n\r\n" A Bird Doesn't Sing Because It Has An Answer, It Sings Because Has A Song" ~ Maya Angelou, poet, educator, historian, best-selling author, actress, playwright, civil-rights activist.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Panggil Aku "Anak PKI!"

4 Februari 2014   11:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku baru pulang menjelang tengah malam. Among sudah menunggu di pintu depan. Ia berlari ke arahku, ia memelukku erat. Ia rangkul badanku yang masih mungil, badanku tenggelam dalam rangkulannya. Kurasakan air mata berjatuhan menetes di atas kepala. Ia tak mengatakan apa-apa namun kutahu apa makna dari rangkulan yang hangat itu. Ia merasa menyesal karena telah mewariskan semacam 'stigma' beban yang sampai entah kapan kami akan tanggungkan.

Jauh sebelum kejadian ini, meski tak dijelaskan secara lengkap oleh among dan inong, telah kupahami apa dampak menyandang status 'tercap'. Sebelumnya, di suatu malam menjelang 17-an, among didatangi oleh petugas berbaju loreng, katanya dari Koramil, didampingi kepala desa. Aku dilarang mendengar. Aku disuruh keluar oleh inong. Namun karena penasaran, aku mengintip dari lubang dinding rumah yang waktu itu masih berdindingkan papan. Tak paham betul aku apa yang mereka perbincangkan,tetapi  kulihat jelas bahasa tubuh among; tertunduk mirip orang pesakitan di pengadilan. Ketika hal itu kutanyakan kepada inong, di kemudian hari, ia malah bilang supaya aku tak perlu tanya.

Di kemudian hari, di suatu sore, aku menemukan KTP among. Ada tanda sebentuk logo/mirip bintang di bagian atas KTP tersebut. Sebagai anak yang termasuk tak bisa diam dan banyak tanya, hal itu kutanyakan kepada abang-abangku, John. Dengan berat hati, ia membisikkan makna simbol itu.Ternyata tanda itu adalah isyarat untuk kaum 'kiri'.

Di waktu yang lain lagi, abangku John, yang duduk di bangku SMAN 1 Siborong-Borong, akhirnya berhenti sekolah karena 'tak tahan' dikatai 'anak PKI' oleh guru sejarahnya. Ketika itu, menurut penuturan John, gurunya membahas topik 'tentang kebenaran sejarah G 30 S/PKI'. John yang tahu sejarah sebenarnya, berusaha meluruskan, namun sang guru merasa kesal.

Gurunya ngotot bahwa kejadian itu benar-benar dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, yang hendak menggulingkan pemerintahan Soekarno, dengan terlebih dulu membunuh 7 jenderal dan satu puteri, Ade Irma Surayani, dibawah komando Untung (AD). Katanya PKI akan mengganti ideologi Pancasila. Padahal jauh sebelum itu, kalau kita cermati, PKI adalah partai sah secara konstitusi, ya seperti partai-partai sekarang ini. Cuma ideologinya saja yang berbeda. Sejarah mencatat pada pemilihan pertama, 1955, Partai PKI adalah pemenang kedua dalam perolehan suara. Dan massanya diperkiraan 40 jutaan. Karena kesal, sepulang sekolah, ia tantang gurunya 'duel' di luar sekolah. Sikapnya yang 'menantang' itu membuatnya diganjar surat pemberhentian.

Setelahnya, sebelum reformasi terjadi kami seperti orang yang tidak berhak hidup, jiwa kami telah dikunci. Stigma 'anak PKI' yang kami terima dalam banyak hal, (yang kuceritakan baru sekilas) telah membatin sangat mengganggu perkembangan psikologis kami dan jutaan anak bangsa Indonesia, yang sebagian besar 'menyembunyikan' identitasnya demi alasan keamanan dan sebagian besar karena masih takut.

Setiapkali 30 September tiba, aku serasa dihantui semacam 'kerisauan'. Akankah sejarah berulang? Jangan sampai... Penderitaan yang kami alami belum seberapa dibanding korban yang lain!

Akhirnya, aku katakan bahwa tulisan ini tidak bermaksud meminta simpati apalagi menyalahkan, toh semua sudah terjadi. Untuk saudaraku, korban, salam kenal.Tugas kita untuk memberitakan apa yang kita alami supaya sejarah kelam itu tak terjadi lagi. Sekali lagi, aku tak berniat mengungkit masa lalu. Hanya berbagi kisah bagaimana sebuah rejim yang dimotori seorang diktator bernama Soeharto, melakukan apa pun demi tujuan 'berkuasa'. Kutuliskan sebagai perenungan untuk kita semua bahwa negara ini pernah mengalami masa kelam yaitu 'pembunuhan massal', yang sistematis, rapi, dan senyap. 30 September 1965 adalah awal dimulainya pembantaian jutaan manusia Indonesia.

Amnesti Internasional untuk HAM, pernah melansir: 5 Jutaan nyawa melayang semasa Soeharto berkuasa. Jutaan diasingkan ke pulau Buru (baca: Bumi Manusia, Jejak Langkah, karya Pram. Baca juga catatan Suhunan S. "Manakala 30 September Tiba"). Ratusan dipenjarakan tanpa melewati peradilan, untuk membuktikan kesalahan. Banyak yang menderita cacat seumur hidup karena disiksa oleh tentara. Hingga kini, kami (jutaan) jumlahnya, masih banyak menderita secara psikologis. Kami meminta pemerintah 'mengakui dan meminta maaf', supaya sejarah kelam tak terulang lagi!


*Inong=Ibu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun