Mohon tunggu...
Manggala Nayahi
Manggala Nayahi Mohon Tunggu... -

Lunatic is on the grass.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat, Realitas, dan Another Brick in The Wall

15 Oktober 2014   00:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:01 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar filsafat agak menyeramkan buat saya. Kenapa? Karena saya serasa menjadi Hawa, telanjang, setelah memakan buah terlarang dari taman Eden. Saya merasa seperti bangun dari tidur panjang. Saya jadi bertanya-tanya sendiri, selama hidup saya yang masih amatir ini apa saja yang sudah saya pelajari dan apa saja yang sudah saya pikir sehingga saya tidak tahu-menahu tentang kehidupan.



Kemarin dulu, saya baru saja belajar tentang realitas. Sekali lagi, saya merasa bodoh, pintar, takut, dan bahagia sekaligus ketika saya mempelajari mengenai realitas. Bukankah seram, bahwa selama manusia hidup dan bernafas, sekalipun kita tidak akan mendapat pengetahuan yang utuh, yang benar, dan yang paling benar mengenai realitas? Dunia menunjukkan segala sesuatu yang ia miliki pada kita, namun manusia sangat terbatas dalam memaknainya. Indra manusia yang seharusnya jadi sarana empiris bagi usahanya untuk mencari tahu tentang dunia ternyata mengalami ketidakberhasilan. Terbatas.

Keterbatasan manusia ada banyak macamnya. Menjadi manusia sendiri, rupanya sudah merupakan batasan untuk manusia. Faktisitas, manusia terlempar ke dunia tanpa bisa menolak apa yang sudah diberikan Sang Pencipta kepadanya. Terlahir jadi laki-laki, jadi perempuan. Lahir di keluarga kaya, atau miskin. Kulit hitam, kulit putih. Kasta Brahmana, atau Sudra. Hal-hal yang bisa ditangkap oleh mata ini menjadi batasan bagi manusia, karena dalam usahanya, dalam geraknya untuk memahami realitas, ia dibatasi oleh hal-hal tadi.

Namun, ada sesuatu yang membuat belajar mengenai realitas jadi terasa seram untuk saya. Yaitu ketika saya menyadari, bahwa pencarian saya akan diri saya--tentang siapa saya ini, apa saya sebenarnya--hanya bisa didapatkan ketika saya, well, sudah meninggal. Bahkan ini pun terasa menakutkan, karena saya juga tidak tahu-menahu apa yang akan terjadi pada saya setelah saya meninggal. Melayang-layang, atau terbang? Mungkinkah ketika saya membuka mata di dimensi lain pertama kali nanti setelah nafas saya berhenti, saya akan tertawa keras-keras karena ternyata selama ini anggapan saya tentang diri saya benar, ataukah saya akan menangis, keras-keras juga, karena merasa selama hidup saya di dunia saya telah dibohongi oleh dunia?

Mungkin, ketidaktahuan dan ketidakjelasan inilah yang membuat manusia membutuhkan batasan lain yang mampu menenangkan, juga mampu mencegahnya mendapatkan realitas yang utuh. Salah satunya adalah agama. Ajaran dan doktrin dalam agama-agama yang dianut oleh manusia sudah banyak ditafsirkan seenaknya, diinterpretasikan semaunya, dan dilakukan sebebasnya. Agama sendiri merupakan ajaran yang berasal dari konstruksi sosial. Apa yang menurut masyarakat mayoritas benar dalam sebuah agama, maka orang yang beragama sama lainnya harus ikut melakukannya. Jika tidak, maka kamu menyimpang. Kami yang paling benar, kalian semua salah, gila, jika tidak mengikuti jalan kami.

Kalau begitu, apa gunanya agama? Haruskah menyembah Tuhan Yang Maha Penyayang, Yang Maha Mengasihi dan Maha Adil dengan agama? Kenapa kita tidak menyembah Beliau karena kita sayang, karena kita cinta, karena tidak bisa tidak merasa cinta yang meluap untuk Dia? Kenapa kita harus marah terhadap hal-hal jahat di dunia, dan kita salahkan Dia? Bukankah cinta yang murni seharusnya tidak bertanya, tanpa syarat, tanpa pra-syarat, dan tanpa yang lain-lain? Jika aku cinta, maka aku cinta saja. Tidak ada alasan-alasan yang harus dibangun supaya terhindar dari rasa bersalah karena tidak mampu mencintai Dia.

Begitu banyak kenapa, kenapa, kenapa, dan seterusnya. Saya mempertanyakan kenapa, bertanya pada tiap orang yang saya anggap bisa menjawab, sampai saya menemukan jawaban yang menurut saya memuaskan. Susah sekali ternyata. Mungkin salah seorang saudara saya yang menjawab dengan kalimat yang paling sederhana, paling menenangkan, dan paling tidak bisa saya debat. Bunyinya kurang lebih seperti ini:

"Agama kan, cuma kendaraan. Sama-sama aja tujuannya, cuma mereknya beda. Jadi, kenapa orang mempersoalkan tentang bedanya agama, padahal sebenarnya sama aja semuanya. Cuma caranya beda, cara mencapai Tuhannya beda."

Kemudian saya sadar, bahwa saya tidak pikir panjang jika bertanya kenapa saya harus berada di dalam satu kotak agama tertentu. Mungkin, saya harus menjadi penganut sebuah agama agar saya tahu bagaimana cara menemukan Ketenangan dalam hidup. Mungkin, saya bisa mendapat reassurance mengenai apa yang akan terjadi pada saya setelah kematian. Jika saya menganut Hindu, maka saya diukur dari karma saya dan saya mengalami reinkarnasi. Jika Buddhist, saya akan mencapai Nirwana. Jika Kristen, saya menjadi penjala manusia. Dan seterusnya. Atau mungkin juga, saya membutuhkan pembenaran bahwa saya sekarang memang sudah berada di jalan yang benar, dengan bersama orang-orang lain yang juga sudah meyakini bahwa mereka sedang berada di jalan yang benar pula.

Agama memang dapat menjadi batasan untuk manusia. Namun, siapa bilang manusia tidak ingin dibatasi? Toh, kebebasan juga ada batasnya. Manusia juga makhluk paradoksal. Ia sadar bahwa dirinya tidak teratur, namun ia juga tetap menginginkan keteraturan. Manusia sadar bahwa ia ingin teratur namun tidak bisa diatur, maka ia mengatur dirinya sendiri dan orang-orang lain, sekaligus berharap agar orang lain ikut andil dalam mengaturnya. Mau jadi batasan atau tidak, sebenarnya kembali pada manusia sendiri. Jika ia ingin menjadi umat beragama yang eksklusif, silahkan. Jika ingin punya solidaritas dan tenggang rasa antar umat beragama, silahkan. Harusnya manusia yang (katanya, katanya, katanya) pintar bisa memutuskan mana yang apik untuk dia.

Kita menjadi penganut sebuah agama bukan karena kita diharuskan, namun karena kita mengalami proses menemukan Tuhan dalam agama tersebut. Meskipun banyak orang lain yang juga menemukan Tuhan tidak lewat agama tertentu, tentunya. Saya memiliki respek terhadap orang-orang yang berani mengambil jalan yang mereka pilih sendiri, entah beragama maupun tidak. Bahkan saya juga menghargai orang-orang yang rela berlelah-lelah mencari tahu tentang Tuhan dan agama, sebelum memutuskan untuk melabeli diri mereka ateis. Tapi jika ada yang menganggap diri ateis bahkan sebelum berusaha mencari Tuhan, well, saya tidak bisa menganggap itu sebuah tindakan yang dihasilkan dari pemikiran yang panjang dan logis, karena memang berarti tidak berusaha untuk berpikir.

Kembali ke topik mengenai realitas. Manusia berusaha menciptakan keteraturan di antara chaos dan luasnya aspek yang harus ia pahami tentang dunia. Manusia tidak memahami bagaimana bumi terbentuk, maka muncullah Big Bang Theory. Manusia tidak memahami mengapa manusia memiliki kemiripan dengan monyet, maka Darwin muncul dengan teorinya mengenai evolusi. Manusia tidak memahami mengapa bintang tersusun acak di langit, maka dari itu ia memunculkan rasi dan zodiak bintang, Sirius, Orion, Aries, Capricorn, dan seterusnya. Manusia tidak mengerti bagaimana manusia yang sama-sama berupa seperti manusia bisa berbeda dada dan selangkangannya, maka terbentuklah konsep gender yang seolah-seolah sudah pakem, bahkan seolah-olah datangnya dari Tuhan. Manusia tidak paham kenapa ada entitas lain yang kadang-kadang muncul di depan mata manusia, dan manusia menamakan mereka sesuai legenda misteri dan mitos mistik di daerah masing-masing. Semuanya tujuannya satu, supaya manusia hidup dan berpikir teratur. Teratur. Teratur. Teratur.

Opini saya yang bisa jadi bodoh ini saya tutup dengan sebuah penggalan lirik yang mampir di otak saya saat saya menulis hal-hal ini, entah mengapa:

"All in all, you're just another brick in the wall." - Pink Floyd, Another Brick in The Wall

Pada akhirnya, belajar filsafat bukanlah untuk membuat kita menyimpang dari nilai-nilai apa yang kita bawa sejak kecil. Namun, filsafat membantu menguji nilai tersebut. Sudah benar atau belum. Ada yang perlu diperbaiki atau tidak. Jika ada yang harus diperbaiki, lalu apa? Jika belum benar, lalu bagaimana? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan, manusia akan berusaha mengkaji ulang apa yang ia percayai. Jika ia berhasil menemukan bahwa nilainya selama ini sudah yang paling benar, maka bersyukurlah. Jika ia berhasil menemukan bahwa nilainya selama ini salah, bersyukurlah, cari yang benar, dan temukan. Jika sudah temukan, bersyukurlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun