Sepanjang perjalanan kami memintal obrolan. Diketahuilah bahwa satu jam sebelum keberangkatan pihak panitia mengingatkan kembali terkait kehadiran sesuai undangan. Pak Pinkan selaku panitia mengkonfirmasi bang Woks via Whatsapp. Dalam konteks ini komunikasi satu pintu memang sangatlah jitu.Â
Sekitar 45 menit kami menempuh perjalanan. Di lain sisi perjalanan Tulungagung-Trenggalek itu mengingatkan saya kembali kala dulu sowan ke kediaman Prof. Naim di Parakan, curamnya jalan Ngulungkulon Munjungan dan Sawahan Watulimo saat aktif menjadi surveyor di lembaga milik Denny JA.Â
Yang tak kalah membekas adalah pelesir ke pantai: Prigi, Karanggongso dan Nglampir serta pengalaman jatuh dari motor di turunan Munjungan saat perjalanan mudik Tulungagung-Ciamis jalur Trenggalek-Pacitan tahun 2020. Kilas balik yang menegaskan saya bahwa bukan pertama kali menginjakan kaki di tanah Menak Sopal itu.Â
Sambutan Tuan RumahÂ
Sesuai prediksi kami sampai di lokasi acara pukul satu kurang seperempat. Bak tak mau kalah, kedatangan kami pun disambut hujan deras selisih dua tiga menit. Bang Woks mengkonfirmasi kedatangan kami via WhatsApp. Lelaki berkepala empat yang disebut Pak Pinkan menyambut kami. Kami bersalaman. Beliau mengarahkan kami untuk duduk di ruang tamu.Â
Setiba di ruang tamu, di sana terdapat seorang wali siswa dan dua orang guru. Tampaknya mereka sedang menyelesaikan sesuatu yang genting. Kami kembali bersalaman. Namun tak berselang lama hanya tinggal kami bertiga yang duduk di kursi ruang tamu. Percakapan dan perkenalan diri pun tidak terelakan satu sama lain.Â
Pak Pinkan agak sedikit terkejut tatkala tahu kami bukan asli orang Tulungagung ataupun Trenggalek. Beliau sempat penasaran mengapa orang barat seperti kami bisa sampai di kota marmer. Pengalaman hidup, kisah kuliah hingga bergabung menjadi bagian dari beberapa komunitas literasi pun tumpah ruah di ruangan itu. Intinya, kami bertiga memiliki titik temu yang sama: kuliah di kampus yang sama dan berguru literasi kepada Prof. Naim.Â
Tak berselang lama Ibu Kepala Sekolah menghampiri kami. Bu Nikmah (begitu panggilan akrab para guru dan karyawan di SMAN 2 Trenggalek) yang masih muda itu tak kalah terkejut tatkala mendengar asal dan perjalanan kami sampai di Tulungagung. Beliau sempat menandaskan bahwa pelatihan esai ini ditujukan untuk menggelorakan tradisi literasi para guru dan karyawan. Hasilnya jelas, esai yang terkumpul akan dijadikan buku antologi.Â
Ini bukan kali pertama para guru membuat buku antologi. Sebab, belakangan setiap dies natalis SMAN 2 Trenggalek selalu launching buku antologi. Hanya soal genre tulisan dan tokoh yang mengisi pelatihan saja yang berganti. Khusus menyongsong dies natalis SMAN 2 Trenggalek ke-40 ini fokus hendak menerbitkan buku antologi dengan genre esai populer. Tema tulisan yang diusung pun lekat dengan rutinitas selama mengabdi di sekolah.Â
Saya kira itu adalah pilihan yang tepat, mengingat menulis esai jenis cerita ataupun reflektif gampang-gampang susah. Gampang bagi mereka yang sudah memiliki jam terbang membaca dan latihan menulis. Susah bagi mereka yang alergi-tuna (maaf) membaca dan tak pernah praktik menulis. Namun semua itu akan dengan mudah terlampaui saat memanfaatkan jurus pamungkas, the power of kepepet.Â
Sesaat kemudian kami digiring untuk menikmati jamuan. Sungkan bukan main, sebab prinsip kami pantang makan sebelum mengisi acara. Di meja makan sudah tersedia nasi, lodho, urap, sambal kentang dan oseng buncis. "Jenengan contohi Pak, supaya kami tidak sungkan", seloroh saya kepada Pak Pinkan. "Wah, seharusnya tamu lebih dahulu ngambil, Mas", Pak Pinkan memberikan respon.Â