Transformasi dan aktualisasi diri saya kira menjadi postulat yang ingin digapai dari bergabungnya seseorang ke dalam grup literasi. Alhasil niscaya jika postulat itu kemudian tidak menjadi target pencapaian yang selalu ingin dituju. Konteks transformasi dan aktualisasi diri tentu memiliki makna yang kompleks. Misalnya saja dari penulis amatir menjadi seorang profesional; dari penikmat karya menjadi produsen karya; dari sosok yang tertinggal menjadi si paling update: peka dalam menyikapi problematika sosial yang ada.Â
Kedua, tipikal orang yang bergabung ke grup WhatsApp karena memang membutuhkan rumah bernaung. Orang yang seperti ini memiliki motif yang melalui tipikal sebelumnya. Ia tidak hanya memiliki antusiasme yang tinggi namun juga kesadaran yang mumpuni untuk berkontribusi. Ada alasan mendasar tentang kenapa ia memutuskan untuk menempuh jalan kesunyian sebagai penulis jauh sebelum bergabung dengan grup WhatsApp literasi.Â
Bergabungnya ia dengan grup WhatsApp literasi bukan sekadar untuk belajar namun juga sebagai upaya menstabilkan motivasi, melejitkan kreativitas dan inovasi-inovasi baru dalam bentuk karya. Bergabungnya ia ke dalam grup merupakan angin segar untuk perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Bukan semata-mata karena mau namun terpanggil untuk mengambil bagian tertentu darinya.Â
Di samping itu, ia memahami bahwa bentuk belajar dapat ditempuh dari berbagai pendekatan dan metode. Tak terkecuali belajar langsung dari menghayati dan membedah setiap hidangan karya tulis yang dipersembahkan oleh penghuni grup. Mungkin secara fisik di antara keduanya: penulis dan pembaca belum bahkan tidak pernah bertemu namun secara ideologis dan rangakaian idealisme mereka telah lama dipertemukan.
Pertemuan ideologi dan idealisme itu semakin rupa-rupa (variatif; kaya raya) manakala setiap penghuni grup saling mencicipi buah pena di blog masing-masing. Rutinitas itu tidak mustahil akan membentuk hubungan emosional kekeluargaan di antara sesama penghuni grup. Rasa empati, simpati dan identifikasi menghiasi setiap jalan penempaan yang dilakukan di dalam grup.Â
Maka interaksi yang terjadi di dalam grup bukan lagi pada level "just to know" tapi how to building mindset and branding person; sharing to caring; berbagi informasi untuk membangun ikatan kekeluargaan. Membangun jejaring peradaban pengetahuan di circle yang tepat menjadi misi yang sedang dilakukan. Bukankah kita sering mendengar bahwa seseorang itu akan tumbuh-kembang sebagaimana pengaruh lingkungannya?Â
Pada tipikal yang kedua ini perbauran di antara sesama anggota grup menjadi keharusan untuk mendulang simpul-simpul karakter pengetahuan. Sehingga yang terjadi sangat dimungkinkan di antara sesama penghuni didudukan dalam posisi yang setara. Bisa saling mengidolakan; menginspirasi dan motivasi untuk terus mengupayakan adanya perubahan.
Ada pun tipikal ketiga merupakan lanjutan dari level sebelumnya. Sangat dimungkinkan sebagian dari penghuni grup literasi memiliki motif hendak menjadikan grup sebagai ajang mendedahkan gagasan yang butuh diluapkan. Model penghuni yang telah memiliki modal, kompetensi dan kapasitas yang mumpuni. Sebutkan saja posisinya telah menduduki level produsen karya.Â
Produsen karya tulis telah pasti memiliki jam terbang tersendiri. Syarat akan manajemen menghimpun asupan gizi (membaca) dan produktivitas kerja nyata. Berbagai karya terlahir dari tangan kreatifnya. Kreativitas dan gagasan tidak pernah berhenti mengalir karena tersekat kesibukan yang merongrong waktu lapangnya. Justru dalam kemustahilan waktu: dikala ada kesempatan sekecil apa pun itulah ia selalu menyelipkan ide untuk berkarya. Walau pun itu hanya menghasilkan satu-dua paragraf. Itu pun prosesnya dengan ia lakukan metode ngemil. Atau mungkin dengan sistem kredit.Â
Bagi penghuni grup tipikal ketiga kegiatan menulis adalah candu. Sedang membaca adalah cara merawat akal dan psikis agar tepat sehat. Ada persepsi yang mengitari benaknya bahwa sehari tanpa berkarya merupakan kerugian yang teramat besar. Kerugian yang tak akan pernah diketahui dan dinikmati oleh mereka yang tidak pernah mengenal betapa pentingnya tradisi melek literasi.Â
Tidak hanya itu, ia juga berperan sebagai pengayom dan teladan nyata. Sebagai pengayom ia tidak segan-segan menjadi pelabuhan untuk menampung rupa-rupa keluh kesah para penulis pemula. Motivasi, tips bahkan materi pelajaran ia sodorkan sebagai solusi jitu secara cuma-cuma. Terlebih-lebih solusi itu berangkat dari pengalaman nyata (telah dipraktekkan) bukan bualan semata-mata.Â