Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.Â
Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi member group selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya.
Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adalah dunia otomotif. Tentu keduanya memiliki orientasi yang berbeda dalam hal meracik bumbu.Â
Rumus yang sama juga berlaku tatkala jita bergabung dengan grup WhatsApp literasi. Sangat besar kemungkinannya anggota yang tergabung di dalam grup adalah mereka yang memiliki hobi menggeluti dunia literasi. Membaca, memahami, berinovasi dan berkreasi dalam bentuk tulisan.Â
Meski kemudian seiring dengan kurun waktu yang dijalani masing-masing kita bisa membuat simpulan simplifikasi mengenai kategori dan dikotomi karakter anggota di dalamnya. Yang demikian terindikasikan jelas dari keaktifan, partisipasi dan kontribusi yang diberikan oleh pelaku yang bersangkutan. Kategorisasi tersebut mulai dari silent reader, pasif, momentual dan aktif-partisipatif.Â
Diferensiasi karakter anggota ini sebenarnya banyak bersangkutan dengan motif utama kenapa seseorang tersebut memutuskan untuk bergabung dengan grup WhatsApp tersebut. Mulai dari keinginan untuk belajar, membutuhkan rumah bernaung hingga sebagai ajang mendedahkan gagasan yang butuh diluapkan.Â
Tipikal yang pertama tatkala seseorang bergabung dengan grup WhatsApp karena adanya motif keinginan untuk belajar umumnya akan memiliki antusiasme yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan detailnya dalam menyimak dan mengikuti informasi yang di-share di grup. Responnya menghasilkan dua sikap yang berbeda. Berusaha adaptasi dengan nuansa yang ada atau mungkin memilih bungkam seribu kata. Opsi kedua memilih menjadi silent reader diasumsikan sudahlah cukup.Â
Mereka yang mengupayakan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada menunjukkan bahwa ia ingin terlibat sebagai bagian di dalamnya. Hal itu dilakukan dengan harapan akan adanya perkembangan yang signifikan terhadap skill dan pengetahuan yang terbenam di dalam dirinya.Â
Sementara silent reader terjebak dalam manzilatain. Antara minder dan bingung-canggung mau mulai beradaptasi dari mana. Bahkan saking canggungnya ia nyaman berada di posisi yang sama. Enggan beranjak memperbaiki keadaannya.Â
Posisi silent reader ini saya kira berbahaya karena telah menciderai tujuan utama kenapa ia tergabung di dalam grup. Sebab ia tidak dapat menikmati fungsi utama dari grup tersebut. Jika pun ia bisa menikmatinya hanya dalam kadar yang sangat terbatas. Tidak mampu menjadikan hiruk-pikuk grup sebagai jembatan transformasi diri.
Transformasi dan aktualisasi diri saya kira menjadi postulat yang ingin digapai dari bergabungnya seseorang ke dalam grup literasi. Alhasil niscaya jika postulat itu kemudian tidak menjadi target pencapaian yang selalu ingin dituju. Konteks transformasi dan aktualisasi diri tentu memiliki makna yang kompleks. Misalnya saja dari penulis amatir menjadi seorang profesional; dari penikmat karya menjadi produsen karya; dari sosok yang tertinggal menjadi si paling update: peka dalam menyikapi problematika sosial yang ada.Â
Kedua, tipikal orang yang bergabung ke grup WhatsApp karena memang membutuhkan rumah bernaung. Orang yang seperti ini memiliki motif yang melalui tipikal sebelumnya. Ia tidak hanya memiliki antusiasme yang tinggi namun juga kesadaran yang mumpuni untuk berkontribusi. Ada alasan mendasar tentang kenapa ia memutuskan untuk menempuh jalan kesunyian sebagai penulis jauh sebelum bergabung dengan grup WhatsApp literasi.Â
Bergabungnya ia dengan grup WhatsApp literasi bukan sekadar untuk belajar namun juga sebagai upaya menstabilkan motivasi, melejitkan kreativitas dan inovasi-inovasi baru dalam bentuk karya. Bergabungnya ia ke dalam grup merupakan angin segar untuk perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Bukan semata-mata karena mau namun terpanggil untuk mengambil bagian tertentu darinya.Â
Di samping itu, ia memahami bahwa bentuk belajar dapat ditempuh dari berbagai pendekatan dan metode. Tak terkecuali belajar langsung dari menghayati dan membedah setiap hidangan karya tulis yang dipersembahkan oleh penghuni grup. Mungkin secara fisik di antara keduanya: penulis dan pembaca belum bahkan tidak pernah bertemu namun secara ideologis dan rangakaian idealisme mereka telah lama dipertemukan.
Pertemuan ideologi dan idealisme itu semakin rupa-rupa (variatif; kaya raya) manakala setiap penghuni grup saling mencicipi buah pena di blog masing-masing. Rutinitas itu tidak mustahil akan membentuk hubungan emosional kekeluargaan di antara sesama penghuni grup. Rasa empati, simpati dan identifikasi menghiasi setiap jalan penempaan yang dilakukan di dalam grup.Â
Maka interaksi yang terjadi di dalam grup bukan lagi pada level "just to know" tapi how to building mindset and branding person; sharing to caring; berbagi informasi untuk membangun ikatan kekeluargaan. Membangun jejaring peradaban pengetahuan di circle yang tepat menjadi misi yang sedang dilakukan. Bukankah kita sering mendengar bahwa seseorang itu akan tumbuh-kembang sebagaimana pengaruh lingkungannya?Â
Pada tipikal yang kedua ini perbauran di antara sesama anggota grup menjadi keharusan untuk mendulang simpul-simpul karakter pengetahuan. Sehingga yang terjadi sangat dimungkinkan di antara sesama penghuni didudukan dalam posisi yang setara. Bisa saling mengidolakan; menginspirasi dan motivasi untuk terus mengupayakan adanya perubahan.
Ada pun tipikal ketiga merupakan lanjutan dari level sebelumnya. Sangat dimungkinkan sebagian dari penghuni grup literasi memiliki motif hendak menjadikan grup sebagai ajang mendedahkan gagasan yang butuh diluapkan. Model penghuni yang telah memiliki modal, kompetensi dan kapasitas yang mumpuni. Sebutkan saja posisinya telah menduduki level produsen karya.Â
Produsen karya tulis telah pasti memiliki jam terbang tersendiri. Syarat akan manajemen menghimpun asupan gizi (membaca) dan produktivitas kerja nyata. Berbagai karya terlahir dari tangan kreatifnya. Kreativitas dan gagasan tidak pernah berhenti mengalir karena tersekat kesibukan yang merongrong waktu lapangnya. Justru dalam kemustahilan waktu: dikala ada kesempatan sekecil apa pun itulah ia selalu menyelipkan ide untuk berkarya. Walau pun itu hanya menghasilkan satu-dua paragraf. Itu pun prosesnya dengan ia lakukan metode ngemil. Atau mungkin dengan sistem kredit.Â
Bagi penghuni grup tipikal ketiga kegiatan menulis adalah candu. Sedang membaca adalah cara merawat akal dan psikis agar tepat sehat. Ada persepsi yang mengitari benaknya bahwa sehari tanpa berkarya merupakan kerugian yang teramat besar. Kerugian yang tak akan pernah diketahui dan dinikmati oleh mereka yang tidak pernah mengenal betapa pentingnya tradisi melek literasi.Â
Tidak hanya itu, ia juga berperan sebagai pengayom dan teladan nyata. Sebagai pengayom ia tidak segan-segan menjadi pelabuhan untuk menampung rupa-rupa keluh kesah para penulis pemula. Motivasi, tips bahkan materi pelajaran ia sodorkan sebagai solusi jitu secara cuma-cuma. Terlebih-lebih solusi itu berangkat dari pengalaman nyata (telah dipraktekkan) bukan bualan semata-mata.Â
Yang demikian ia kuatkan dengan keteladanan nyata. Tidak ada hari tanpa postingan karya tulis yang dipersembahkannya ke dalam grup. Tangan-tangan terampil dan kedisiplinan kreativitas akal sehat selalu berjalan linier untuk mendayung biduk perubahan. Perubahan yang dimulai dari dalam diri yang berdampak pada lingkungan sekitarnya. Layaknya spiral yang kian melebar secara laten memberikan perubahan nyata.Â
Sampai di sini kiranya satu pertanyaan tampak mencuat ke permukaan: Sudahkah kita merasakan manfaat dari grup literasi yang diikuti? Jika belum, mari kita sama-sama introspeksi dan sesegera mungkin memperbaiki diri dengan memanfaatkan fasilitas yang disodorkan grup yang kita ikuti secara optimal.
Tulungagung, 13 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H