Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Sebagai Warosatul An Biyya

27 Januari 2023   10:01 Diperbarui: 27 Januari 2023   10:36 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi pribadi Ustadz Mardi didampingi ustadz Ali sedang menyampaikan materi)

Minggu kedua di bulan perdana semester genap, tepatnya Sabtu (14/01/2023), SDIT Baitul Qur'an Tulungagung kembali menghelat agenda up grade kompetensi dan wawasan dewan asatidz. Kajian rutin bulanan ini dinarasumberi oleh Ustadz Mardi, S. Pd.I. Onwer sekaligus founding father warung Berkah. Salah satu warung gratis untuk kalangan Mustadafin di sekitar Tulungagung. 

Ustadz Mardi memantik pembicaraan dengan upaya menghayati keadaan. Kebetulan kala itu hujan menghiasai sepanjang perhelatan kegiatan. Beliau menegaskan, bahwa saat terjadinya hujan adalah salah satu waktu mustajab. Waktu maqbulnya do'a atas segala bentuk hajat. Atas dasar itulah, umat muslim dianjurkan untuk memperbanyak memanjatkan do'a tatkala turunnya hujan.

Dengan gaya penuturan yang friendly, sharing dan cangkrukan, beliau sempat menyelipkan kerikil guyon yang menyentuh hati. Bahwa tatkala turunnya hujan adalah momentum yang tepat bagi para jomlo, orang yang terlilit utang, dan siapapun yang gelisah akan segala onak atas hidup untuk banyak melantunkan rangkaian do'a. Maka bersyukurlah atas diturunkannya hujan, bukan malah sebaliknya. 

Dalam sekejap beliau memfokuskan pembicaraan pada topik pembahasan mengenai urgensi eksistensi guru (dewan asatidz) dalam suatu lembaga pendidikan. Utamanya pendidikan yang berbasis agama Islam. Tak terkecuali dengan kehadiran SDIT Baitul Qur'an Tulungagung yang memiliki visi mencetak generasi qur'ani dan menjunjung tinggi nilai-nilai ahlul qur'an. Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa mengamalkan Al-Qur'an sebagai pedoman dan lentera kehidupan adalah poin penting pertama yang harus dimiliki oleh seluruh sumber daya manusia lembaga. Utamanya berlaku bagi seluruh dewan asatidz. 

Mengamalkan Al-Qur'an sebagai pedoman dan lentera kehidupan adalah keutamaan amal. Sehingga sebaik-baiknya mukmin adalah yang mempelajari Al-Qur'an, mengajarkan dan mengamalkannya. Hal yang demikian berlaku karena ahlul Qur'an memiliki esensi yang sama dengan titah menegakkan salat dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Tumbuh-kembang dan bercongkolnya rasa diawasi oleh Allah SWT. sebagai barometer tampilnya sikap Ihsan dalam tindak-tanduk umat Islam. Dalam konteks inilah ayat aqiimus shalah berkorespondensi dengan ayat inna shalaati 'anil fahsyai wal mungkar. 

Kedua, guru pada dasarnya adalah warosatul an biyya. Penerus; pewaris penegak kebajikan yang dilakukan oleh para utusan Allah. Maka pertanyaan mendasarnya: Sudah layakkah kita (sebagai seorang guru) disebut dan mengemban amanah Warosatul An Biyya? Pertanyaan ini tentu harus dijawab dengan penuh penghayatan, kesadaran dan tanggung jawab sebagai seorang hamba. Introspeksi diri sebagai kuncinya. 

Proses introspeksi diri tersebut dapat dimulai dengan mengevaluasi niat yang terhujam di dalam sanubari masing-masing kita. Apakah kita sebagai seorang guru sudah bekerja dengan penuh rasa ikhlas atau tidak? Bekerja semata-mata karena hendak mencari berkah atau karena alasan tergiur jumlah nominal materi saja. Bukankah janji Allah SWT benar-benar nyata dan berkali-kali ditegaskan dalam Al-Qur'an mengenai balasan apa yang akan dituai oleh para pelaku yang berjuang di jalan Allah. 

Pendek kata, dalam konteks ini rasa dan sikap ikhlas sebagai timbangan penilaian amal perbuatan kita. Alhasil, penilaian ini akan berdampak pada proses dan capaian kinerja. Maka dalam hal ini niat bukan sekadar soal kreteg ati tapi bicara banyak tentang goals. Terlebih-lebih dewan asatidz berperan sebagai "Amil" di lembaga pendidikan Islam dan Tahfidz Baitul Qur'an Tulungagung. 

Ketiga, masalah adalah keniscayaan yang lumrah terjadi. Tampaknya sudah menjadi rahasia umum jikalau suatu lembaga tidak pernah terbebas dari konflik internal dan eksternal di lingkungan sekitar. Justru kecamuk dan gunungan konflik itu tidak lain adalah proses pembelajaran alami. Setiap konflik yang mencuat ke permukaan akan senantiasa menyelipkan butiran hikmah yang mendewasakan setiap orang yang bersangkutan. Hal itu berlaku bagi orang-orang yang mau berpikir dan berjiwa melek.

Kendati demikian, berjejalnya konflik dalam suatu lembaga juga akan berdampak negatif pada ritme, motivasi dan capaian kinerja sumber daya manusia lembaga. Tidak menutup kemungkinan pula kerikil konflik itu memancing kehadiran sikap-sikap egoisme dan tercela. Misalnya saja hasad, dengki, adu domba, fitnah dan lain sebagainya. 

Sebagai jalan keluarnya, maka berkonfliklah dengan ilmu. Meski konflik itu bersifat wajar akan tetapi perbedaan cara pandang, kedewasaan dalam menyikapi dan kematangan dalam menyelesaikan konflik juga menjadi salah satu unsur penting yang harus dipertimbangkan. Begitulah seseorang yang berilmu, ia tidak akan gegabah, mudah goyah dan menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan konflik secara egois. Namun orang yang bersangkutan juga akan mempertimbangkan baik-buruknya bagi stabilitas lingkungan sekitar. 

Keempat, tazkiyaatun nufus. Tazkiyaatun nufus di sini bermakna mensucikan jiwa dari berbagai cela yang dapat mengotori hati. Cela dan kekotoran hati yang ditumbulkan dari berbagai hiruk-pikuk onak yang merongrong keajegan manusia dalam menunaikan ibadah dan kebaikan. Tak terkecuali kotoran dan cela yang ditimbulkan oleh konflik di antara sesama manusia yang laten mendera di lingkungan kerja. Di antaranya sifat hasad, tamak, ghodob, mengumbar hawa nafsu dan lain sebagainya.

Hadirnya sifat hasad adalah pintu gerbang pertama masuknya setan untuk menguasai dan mengontrol kecondongan hati nurani kita pada kebajikan. Sifat hasad pada dasarnya muncul karena kecemburuan terhadap nikmat yang ada pada diri seseorang. Alhasil orientasi dari sifat hasad adalah kehendak (harapan) perpindahan atas satu nikmat yang dirasakan seseorang kepada orang yang memiliki sifat hasad tersebut. Orientasi sifat hasad yang demikian inilah yang determinasi merusak keramahan dan kesahajaan lingkungan hidup sekitar. Merusak diri pelaku dan korban. 

Kendati demikian, ada pula iri atau kecemburuan sosial yang bersifat positif, Ghofthoh. Ghofthoh berarti cemburu atau iri terhadap nikmat yang ada di dalam diri seseorang namun tidak disertai dengan harapan ataupun kehendak berpindahnya nikmat tersebut. Dengan kata lain, ghofthoh adalah menjadikan iri sebagai alasan kenapa seseorang harus mampu meraih nikmat (kesuksesan) seperti yang dimiliki oleh orang lain. Jika kita meminjam terminologi yang berlaku dalam rumpun sosiologi, ghofthoh sama halnya dengan identifikasi. Menjadikan kecemburuan sosial sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik bukankah hal yang absah?

Timbulnya sifat hasad sendiri tidak lain ditengara oleh sifat tamak yang berkecamuk hebat di dalam diri seseorang yang bersangkutan. Tamak dalam kamus besar bahasa Indonesia offline bermakna serakah; loba; rakus; selalu ingin memperoleh banyak untuk diri sendiri. 

Lebih lanjut disebutkan, bahwa sifat tamak dapat membinasakan pelaku yang melanggengkan kehadirannya di dalam diri. Kenapa demikian? Sebab tamak lebih berbahaya daripada hewan yang paling buas di muka bumi. Lantas tamak dianalogikan dengan dua ekor serigala yang kelaparan tidak lebih tamak daripada manusia yang membanggakan diri dan mengharapkan jabatan. 

Dalam kitab Ihya 'Ulumuddin disebutkan Rasulullah SAW bersabda: "Ada tiga sifat yang dapat membinasakan manusia: 1. Sikap bakhil (pelit) yang dipatuhi. 2. Hawa nafsu yang diikuti. 3. Merasa bangga dengan diri sendiri". 

Tamak yang sudah tidak dapat terkontrol dan terus menganga dengan mudah akan mengantarkan kita pada sikap ghodob, marah. Kemarahan sendiri selalu hadir karena kecekakan dalam berpikir, akibat dangkalnya pengetahuan dan kewarasan yang sudah tercemari oleh kehendak hawa nafsu. Hawa nafsu sendiri memiliki sifat negatif dan destruktif. 

Kendati demikian hawa nafsu tidak dapat dihilangkan dalam diri manusia. Sebab manusia hidup, salah satunya karena faktor adanya nafsu yang menggelora. Menggerakkan tindak-tanduk kita untuk melakukan sesuatu. Tanpa adanya nafsu yang bersemayam di dalam diri, bisa saja manusia sirna dari carut-marut perubahan alam semesta. 

Menyikapi hal yang demikian maka kita hanya mampu mengontrol kecondongan hawa nafsu dengan langkah kebajikan. Menipiskan kecenderungan hawa nafsu yang membabi buta menjadi bahasa dan gerak-gerik yang lebih halus sekaligus dapat dikendalikan. Berimam pada kemurnian hati nurani yang senantiasa menuntun kita pada kebajikan adalah jalan keluar yang menjanjikan.

Sebagai upaya konkret dalam berkiblat pada kemurnian hati nurani, alangkah baiknya kita juga beristikamah dalam menegakkan ritual peribadatan. Sebab kebiasaan yang kita lakukan akan menjadi karakter pribadi kita masing-masing. Oleh karena itu maka jaga sabarmu, tegakkan salatmu. Amalkanlah ilmu yang telah diteguk. Manfaatkanlah kekayaanmu untuk bersedekah serta berjihadlah dengan kekuasaan yang diamanahkan ke dalam genggamanmu. 

Tulungagung, 27 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun