Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Masa Depan Buku

22 September 2022   17:06 Diperbarui: 22 September 2022   17:31 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi Kopdar ke-9 SPK 

Setelah kita mengetahui enam kunci dalam proses menulis dan mengulas 3 J sebagai anak tangga yang kedua, menurut Prof. Naim barulah kita sampai pada level kepantasan untuk mewacanakan masa depan buku. Menurut beliau, di era teknologi informasi mutakhir ini dunia perbukuan mengalami proses revolusi zaman, sehingga pada akhirnya buku bermetamorfosis menjadi dua jenis, yakni buku cetak dan digital. 

Buku digital atau yang familiar disebut e-book banyak kita temukan dalam bentuk file PDF. Dan itu menjadi varian yang digandrungi khalayak ramai. Maka tak ayal jika kemudian kontestasi buku digital kian marak dijual dan berkembang pesat. Sebagai bukti konkret, kini banyak tersedia online shop tertentu yang menjual buku versi digital. Baik itu platform yang memang dimiliki oleh pihak penerbit buku, google books, atau memang pihak ketiga yang habis-habisan bermodalkan marketing produk sebagai modus usahanya. 

Fleksibilitas dan coast yang ringan menjadi dua jenis keuntungan yang ditawarkan oleh buku digital. Buku versi digital tentu akan lebih mudah dibawa, dibaca dan disimpan dibandingkan dengan buku versi cetak. Tiga keunggulan itulah yang menjadi alasan kenapa buku digital disebut fleksibilitas. Harga yang miring dan biaya pemeliharaan yang murah meriah berlaku untuk buku versi digital. Berbeda dengan buku versi cetak yang terkadang dijual dengan harga lumayan terbilang cukup tinggi, padahal itu belum termasuk biaya perawatan seperti sampul, rak, lem dan lain sebagainya.

Fleksibilitas yang ditawarkan oleh buku versi digital pada kenyataannya juga berdampak buruk bagi nasib peredaran buku cetak yang kian di ujung tanduk. Hal itu dibuktikan dengan dua dampak yang tampil ke permukaan: gulung tikarnya toko buku dan proses ISBN yang kian ketat. Tiga triwulan ke belakang kita (utamanya pecinta buku) sempat mendapatkan kabar duka, bahwa salah satu toko buku Gramedia di Yogyakarta tutup. 

Tak lama dari itu, kabar duka pun kembali menyelimuti kota marmer, di Tulungagung toko buku Togamas yang lumrahnya menjadi jantung sekaligus rumah bernaung untuk menambah koleksi buku para mahasiswa, guru, dosen dan khalayak ramai lainnya tiba-tiba diumumkan tutup secara permanen. Toko buku yang ada sejak 2010 itu pun akhirnya harus menyerah lebih awal menghadapi gempuran ombak besar akibat pesatnya persaingan revolusi industri perbukuan di era mutakhir. 

Akan tetapi duka itu tidak berhenti sampai di sana, di Tulungagung sendiri gulung tikarnya Togamas bersifat latah, sehingga menyebabkan toko buku Salemba ikut-ikutan gulung tikar. Toko buku yang terletak persis di belakang Masjid agung Al-Munawar itu kini telah tutup usia. Lantas akan ke mana lagi kami (para pecinta buku yang berdomisili di Tulungagung) harus belanja? Beberapa kawan yang berprofesi sebagai reseller buku, toko-toko buku yang ada di luar kota dan online shop pun kini menjadi lapak-lapak pilihan pelampiasan dahaga. 

Bangkrutnya toko buku tersebut tidak sepenuhnya murni disebabkan karena faktor persaingan revolusi industri beralihnya versi perbukuan--dari cetak ke digital--melainkan ditengarai pula oleh tradisi oral masyarakat. Dalam artian masyarakat kita masih cenderung mengagungkan tradisi bercerita dari mulut ke mulut; ghibah ataupun gosip. Dalam konteks menerima fakta, informasi, pengetahuan bahkan keyakinan yang dianut sekalipun sebatas bersandar pada apa kata orang tampak lebih cukup. Keengganan menggali informasi dari sumbernya secara langsung melalui aktivitas membaca dari buku dipersepsikan sebagai hal yang anti mainstream.

Bahkan kelatahan atas tradisi oral itu menyebabkan melekatnya cara pandang dan sikap pragmatis atas hilirisasi informasi yang dibawa oleh media sosial. Sehingga dengan seketika tidak sedikit orang yang meyakini informasi yang dibawa dan dihimpun teknologi informasi itu dipersepsikan sebagai kebenaran mutlak tanpa cela. Di sinilah letak ironinya, massifnya tradisi oral itu disertai dengan matinya rasionalitas, sikap kritis dan analitis yang seharusnya menjadi filter atas segala sesuatu yang masih bersifat abu-abu.

Itu belum termasuk praktek budaya praksis yang tumbuh liar menjangkiti kaum akademisi di tataran dunia akademik. Budaya copy paste (copas) yang senang main dan asal comot sana-sini dari sumber yang tidak otoritatif (tidak jelas); penyelesaian tugas sistem kebut semalam (sks) yang asal jadi; dan tradisi jual beli jasa pengerjaan tugas kuliah (sistem joki yang mengandalkan broker atau brother worker) menjadi sisi gelap dunia akademis yang turut mendiskreditkan daya minat akademisi untuk melahap, membeli dan mengoleksi buku. Tentu ini salah satu bagian dari segunung alasan yang menyebabkan kenapa output perguruan tinggi negeri ini tidak bermutu sekaligus "alergi" literasi.

Sedangkan masalah proses ISBN yang kian ketat, sebagaimana kita ketahui seksama telah mulai diberlakukan semenjak bulan April tahun 2022. Bambang Trim (Direktur Institut Penulis Indonesia, Direktur LSP Penulis dan Editor Profesional) dalam artikelnya yang berjudul Menjernihkan Makna ISBN (22/04) menyebutkan penyebab pihak perpustakaan nasional menerbitkan peraturan baru yang sangat selektif dan rumit itu ditengarai oleh angka ketidakwajaran penggunaan ISBN dalam dua tahun terakhir. 

Pada tahun 2020 misalnya, tatkala pandemi Covid-19 melanda bumi Pertiwi angka produksi judul buku yang diberi ISBN menyentuh angka 144.793 judul. Sementara pada tahun selanjutnya, 2021, terdapat 63.398 judul buku yang diberi ISBN. Tentu saja itu adalah angka yang fantastis, mengingat laporan hasil riset judul buku di Indonesia berbasis ISBN yang dilakukan oleh tim IKAPI di tahun 2015 menyebutkan rata-rata 30 judul buku terbit per tahun.

Lonjakan angka produksi judul buku yang tidak wajar inilah yang kemudian menjadi sorotan internasional ISBN agency. Mereka menaruh curiga bahwa lonjakan pemberian ISBN itu terjadi karena adanya kekeliruan penomoran atau memang ada beberapa publikasi yang selaiknya tidak relevansi dan tidak tepat sasaran dalam pemberian ISBN. Atas dasar demikian, maka pihak perpustakaan nasional harus pandai memilah kembali data yang telah masuk sekaligus lebih selektif dalam menerima pengusulan pemberian ISBN. 

Supaya tidak mengulangi kekeliruan dalam mengabulkan permohonan pemberian ISBN terhadap buku maka menurut Bambang Trim alangkah baiknya pihak perpustakaan nasional melakukan sosialisasi dan mewanti-wanti terkait ketentuan umum mana publikasi buku yang relevan diberi ISBN dan mana jenis buku yang tidak relevan. Ada empat ketentuan umum yang berlaku untuk publikasi buku yang relevan mendapatkan ISBN.

Pertama, buku harus memiliki anatomi fisik sebagaimana ciri utama lumrahnya sebuah buku. Sehingga secara otomatis buku yang memiliki anatomi fisik yang cacat atau tidak lengkap tidak layak mendapatkan ISBN. Kedua, buku yang dipublikasikan secara massal, bukan kategori buku yang dicetak secara terbatas (limited edition) untuk kalangan internal atau kalangan tertentu saja. Ketiga, buku yang dapat dinikmati, dibeli dan diakses oleh khalayak ramai, entah itu dilabelisasi berbayar atau pun gratisan. Keempat, buku yang diterbitkan untuk kepentingan komersial, sehingga membutuhkan identifikasi produksi dalam skala pasok distribusi yang jelas dan terarah.

Begitupun sebaliknya, pengetahuan atas ketentuan umum tersebut tidaklah paripurna manakala tidak disertai dengan penjelasan tentang bagaimana kategori buku yang tidak relevan mendapatkan ISBN. Lebih jauh, Bambang Trim menyebutkan terdapat 16 kategori buku yang tidak layak mendapatkan ISBN atas publikasinya.

Keenam belas kategori buku tersebut ialah laporan tahunan dan kinerja lembaga atau perusahaan yang tidak berbentuk buku; brosur atau buklet promosi atau panduan kegiatan; direktori untuk kalangan internal; katalog promosi produk dan jasa; karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi); prosiding; modul atau bahan ajar untuk kalangan internal; buku pedoman untuk kalangan internal; karya tulis peserta didik yang diterbitkan di lingkungan lembaga; laporan KKN, PPL, PKL dan sejenisnya; antologi; bunga rampai; buku ilmiah ditujukan untuk kenaikan pangkat; makalah, ringkasan dan kajian kebijakan serta sejenisnya; biografi, autobiografi dan memoar yang tidak dijual dan dicetak terbatas.

Selain itu, dalam pandangan Bambang Trim lonjakan pemberian ISBN tersebut juga dipicu oleh empat faktor penyebab lain, yaitu adanya kongkalikong antara pihak penerbit dan penulis untuk melakukan publikasi buku atas dasar kepentingan naik pangkat; maraknya proyek buku antologi; meroketnya proyek pembuatan antologi yang dimotori komunitas atau instansi; dan gencarnya penerbitan publikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam skala terbatas yang diakuisisi sebagai buku sehingga memaksakan diidentifikasi menggunakan ISBN. 

Belum lagi ditambah dengan permainan monopoli bisnis yang dilakukan oleh penerbit minor yang kerap mengadakan program sistem terbit ber-ISBN gratisan dengan tujuan meraup keuntungan sepihak. Hal ini terindikasi dari tumbuh suburnya penerbit minor dari tahun ke tahun yang kian menjamur. Penerapan sistem penerbitan dan publikasi buku yang longgar tersebut juga turut bertanggung jawab atas membludaknya pengajuan ISBN dalam beberapa tahun belakangan ini. 

Sebagai dampaknya jatah ISBN yang dimiliki oleh negara Indonesia kian menipis. Disebutkan perpustakaan nasional telah menerbitkan dan melakukan publikasi buku ber-ISBN melampaui angka 50% dari jatah 1 juta judul buku yang diberikan pihak International ISBN agency. Lebih tepatnya 623.000 judul buku. Itu berarti negara Indonesia hanya memiliki sisa ISBN 377.00 nomor lagi. Padahal alokasi 1 juta ISBN ini baru berikan sekitar empat tahun yang lalu, tahun 2018. Idealnya, 1 juta jatah ISBN ini akan habis dalam kurun waktu 10 tahun. Akan tetapi kasus di beberapa negara baru bisa menghabiskan jatah 1 juta ISBN dalam kurun waktu 15 tahun, bahkan ada juga yang sampai 20 tahun. 

Fakta lonjakan angka produksi judul buku yang tidak wajar itulah yang menjadi motif munculnya peringatan dari pihak internasional ISBN agency kepada pihak PNRI. Maka tidak heran jika kemudian PNRI berusaha membenahi kriteria pemberian ISBN kepada pihak penerbit. Toh, jika PNRI tidak melakukan pembenahan pemberian ISBN secara selektif dan ketat, pihak penerbit dan penulis buku sendiri yang nantinya akan kelabakan, karena jatah ISBN telah habis. Jika jatah ISBN telah habis, negara Indonesia akan berada dalam posisi yang sukar untuk meminta jatah kembali. Karena meminta jatah ISBN kepada pihak Internasional ISBN agency tidak semudah minta jatah uang pada orang tua sendiri. Maka sebagai langkah efektif adalah dengan mengontrol pengeluaran nomor ISBN itu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 

Yang lebih greget, Bambang Trim menyebutkan lonjakan angka produktivitas terbitya buku ber-ISBN itu sama sekali tidak berhubungan dengan meningkatnya gairah literasi di Indonesia. Melainkan hal itu lebih identik berkorelasi dengan manipulatif sistem kerja yang korup atau human error yang disengaja. Utamanya disebabkan karena ketidakpahaman dan kurangn sadarnya masyarakat Indonesia terhadap fungsi dasar dari nomor ISBN yang terbubuhkan dalam suatu buku. 

Sementara sebagian mereka yang kontra terhadap kebijakan pembenahan dan pengontrolan terhadap pemberian ISBN tersebut tidak lain ditengarai oleh kelompok pragmatis yang terlampau terlena dengan manipulatif sistem yang ada. Jikalau selama ini sebagai besar dari kita berasumsi terbitnya buku beri-ISBN itu adalah prestise, pasti memiliki mutu, dijamin laku keras di pasaran, dapat ditujukan untuk kepentingan kenaikan pangkat, dan lain sebagainya maka ada yang salah dalam cara pandang kita. Sebab ISBN sendiri hanyalah nomor identifikasi buku secara tepat melalui angka-angka kunci yang dapat dibaca oleh komputer. 

Tentu, jika buku tidak ber-ISBN bukan berarti itu kiamat literasi. Bukan pula tanda matinya gairah literasi. Bukan sedang menunjukkan buku itu tidak laku keras di pasaran. Bukan pula buku yang diterbitkan sekadar dipublikasi sebagai hiasan lantas mati seketika. Sebagai salah satu contoh buku yang tidak ber-ISBN namun laku keras di pasaran, diminati oleh khalayak ramai dan bahkan telah terjual lebih dari 10. 000 eksemplar adalah buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap karya Drs. Moh. Rifa'i. Buku itu pertama kali dicetak tahun 1976 dan hingga sekarang tetap eksis. Jika mau dihitung, entah sudah berapa puluh kali buku itu naik cetak.

Lantas bagaimana jika penulis pemula hendak menerbitkan buku? Apakah dia akan bernasib naas karena harus bersaing habis-habisan terlebih dahulu dengan para penulis profesional hanya untuk mendapatkan ISBN? Kalau begitu tentu saja akan repot dan kalah saing karena perbedaan jam terbang. Maka sebagai solusinya, penulis pemula dapat berlatih menulis, menerbitkan dan mempublikasi buku tanpa ISBN. Atau menerbitkan buku dengan menggunakan QRCBN. 

Apa itu QRCBN? QRCBN adalah QR code book number atau kode batang buku yang dapat dipindai menggunakan aplikasi scanning barcode. QRCBN dikeluarkan gratis oleh perpustakaan nasional untuk menerbitkan kategori buku yang tidak relevan diberi ISBN. Kendati demikian, informasi produk yang termuat dalam QRCBN telah lengkap dan terhimpun secara aman. Sehingga buku yang telah diberi QRCBN akan mudah teridentifikasi. 

Terus bagaimana kalau ada penulis pemul bersikap kekeh dan keras kepala bukunya hanya ingin diterbitkan menggunakan ISBN? Jawabannya, ya mau tidak mau dia harus mampu strugle. Menulis buku dengan mutu yang terjamin, bersifat komersial dan sesuai dengan pangsa pasar. Kendati itu mungkin akan menerjang banyak onak dan ombak.

Sebagai kesimpulan, tentu masa depan buku akan terus ada selama manusia terus melakukan peran sebagai pembelajar sejati. Manusia yang terus merindukan peradaban yang kian berkualitas tentu tidak lepas dari menggeluti dunia literasi. Entah apa pun itu nanti betuk dari versi buku yang ditulis dan digelutinya.

Tulungagung, 22 September 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun