Pada tahun 2020 misalnya, tatkala pandemi Covid-19 melanda bumi Pertiwi angka produksi judul buku yang diberi ISBN menyentuh angka 144.793 judul. Sementara pada tahun selanjutnya, 2021, terdapat 63.398 judul buku yang diberi ISBN. Tentu saja itu adalah angka yang fantastis, mengingat laporan hasil riset judul buku di Indonesia berbasis ISBN yang dilakukan oleh tim IKAPI di tahun 2015 menyebutkan rata-rata 30 judul buku terbit per tahun.
Lonjakan angka produksi judul buku yang tidak wajar inilah yang kemudian menjadi sorotan internasional ISBN agency. Mereka menaruh curiga bahwa lonjakan pemberian ISBN itu terjadi karena adanya kekeliruan penomoran atau memang ada beberapa publikasi yang selaiknya tidak relevansi dan tidak tepat sasaran dalam pemberian ISBN. Atas dasar demikian, maka pihak perpustakaan nasional harus pandai memilah kembali data yang telah masuk sekaligus lebih selektif dalam menerima pengusulan pemberian ISBN.Â
Supaya tidak mengulangi kekeliruan dalam mengabulkan permohonan pemberian ISBN terhadap buku maka menurut Bambang Trim alangkah baiknya pihak perpustakaan nasional melakukan sosialisasi dan mewanti-wanti terkait ketentuan umum mana publikasi buku yang relevan diberi ISBN dan mana jenis buku yang tidak relevan. Ada empat ketentuan umum yang berlaku untuk publikasi buku yang relevan mendapatkan ISBN.
Pertama, buku harus memiliki anatomi fisik sebagaimana ciri utama lumrahnya sebuah buku. Sehingga secara otomatis buku yang memiliki anatomi fisik yang cacat atau tidak lengkap tidak layak mendapatkan ISBN. Kedua, buku yang dipublikasikan secara massal, bukan kategori buku yang dicetak secara terbatas (limited edition) untuk kalangan internal atau kalangan tertentu saja. Ketiga, buku yang dapat dinikmati, dibeli dan diakses oleh khalayak ramai, entah itu dilabelisasi berbayar atau pun gratisan. Keempat, buku yang diterbitkan untuk kepentingan komersial, sehingga membutuhkan identifikasi produksi dalam skala pasok distribusi yang jelas dan terarah.
Begitupun sebaliknya, pengetahuan atas ketentuan umum tersebut tidaklah paripurna manakala tidak disertai dengan penjelasan tentang bagaimana kategori buku yang tidak relevan mendapatkan ISBN. Lebih jauh, Bambang Trim menyebutkan terdapat 16 kategori buku yang tidak layak mendapatkan ISBN atas publikasinya.
Keenam belas kategori buku tersebut ialah laporan tahunan dan kinerja lembaga atau perusahaan yang tidak berbentuk buku; brosur atau buklet promosi atau panduan kegiatan; direktori untuk kalangan internal; katalog promosi produk dan jasa; karya ilmiah (skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi); prosiding; modul atau bahan ajar untuk kalangan internal; buku pedoman untuk kalangan internal; karya tulis peserta didik yang diterbitkan di lingkungan lembaga; laporan KKN, PPL, PKL dan sejenisnya; antologi; bunga rampai; buku ilmiah ditujukan untuk kenaikan pangkat; makalah, ringkasan dan kajian kebijakan serta sejenisnya; biografi, autobiografi dan memoar yang tidak dijual dan dicetak terbatas.
Selain itu, dalam pandangan Bambang Trim lonjakan pemberian ISBN tersebut juga dipicu oleh empat faktor penyebab lain, yaitu adanya kongkalikong antara pihak penerbit dan penulis untuk melakukan publikasi buku atas dasar kepentingan naik pangkat; maraknya proyek buku antologi; meroketnya proyek pembuatan antologi yang dimotori komunitas atau instansi; dan gencarnya penerbitan publikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam skala terbatas yang diakuisisi sebagai buku sehingga memaksakan diidentifikasi menggunakan ISBN.Â
Belum lagi ditambah dengan permainan monopoli bisnis yang dilakukan oleh penerbit minor yang kerap mengadakan program sistem terbit ber-ISBN gratisan dengan tujuan meraup keuntungan sepihak. Hal ini terindikasi dari tumbuh suburnya penerbit minor dari tahun ke tahun yang kian menjamur. Penerapan sistem penerbitan dan publikasi buku yang longgar tersebut juga turut bertanggung jawab atas membludaknya pengajuan ISBN dalam beberapa tahun belakangan ini.Â
Sebagai dampaknya jatah ISBN yang dimiliki oleh negara Indonesia kian menipis. Disebutkan perpustakaan nasional telah menerbitkan dan melakukan publikasi buku ber-ISBN melampaui angka 50% dari jatah 1 juta judul buku yang diberikan pihak International ISBN agency. Lebih tepatnya 623.000 judul buku. Itu berarti negara Indonesia hanya memiliki sisa ISBN 377.00 nomor lagi. Padahal alokasi 1 juta ISBN ini baru berikan sekitar empat tahun yang lalu, tahun 2018. Idealnya, 1 juta jatah ISBN ini akan habis dalam kurun waktu 10 tahun. Akan tetapi kasus di beberapa negara baru bisa menghabiskan jatah 1 juta ISBN dalam kurun waktu 15 tahun, bahkan ada juga yang sampai 20 tahun.Â
Fakta lonjakan angka produksi judul buku yang tidak wajar itulah yang menjadi motif munculnya peringatan dari pihak internasional ISBN agency kepada pihak PNRI. Maka tidak heran jika kemudian PNRI berusaha membenahi kriteria pemberian ISBN kepada pihak penerbit. Toh, jika PNRI tidak melakukan pembenahan pemberian ISBN secara selektif dan ketat, pihak penerbit dan penulis buku sendiri yang nantinya akan kelabakan, karena jatah ISBN telah habis. Jika jatah ISBN telah habis, negara Indonesia akan berada dalam posisi yang sukar untuk meminta jatah kembali. Karena meminta jatah ISBN kepada pihak Internasional ISBN agency tidak semudah minta jatah uang pada orang tua sendiri. Maka sebagai langkah efektif adalah dengan mengontrol pengeluaran nomor ISBN itu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.Â
Yang lebih greget, Bambang Trim menyebutkan lonjakan angka produktivitas terbitya buku ber-ISBN itu sama sekali tidak berhubungan dengan meningkatnya gairah literasi di Indonesia. Melainkan hal itu lebih identik berkorelasi dengan manipulatif sistem kerja yang korup atau human error yang disengaja. Utamanya disebabkan karena ketidakpahaman dan kurangn sadarnya masyarakat Indonesia terhadap fungsi dasar dari nomor ISBN yang terbubuhkan dalam suatu buku.Â