Prof. Naim tampil sebagai nahkoda materi yang pertama. Beliau menuntun semua peserta seminar menelusuri ceruk peta konsep pemikirannya mengenai masa depan perbukuan di Indonesia.Â
Hal itu dimulai dengan menginjak anak tangga pertama, bahwa kelahiran buku sejatinya dibidani oleh seorang penulis. Tanpa kehadiran seorang penulis mustahil suatu buku akan terlahir.Â
Penulis sendiri adalah aktor yang melakukan proses menulis: menuangkan gagasan dengan cara merajut fonem menjadi prasa, prasa menjadi clausa, clausa menjadi alinea, susunan alinea menjadi naskah yang dipersepsikan paripurna. Tentu saja, proses menulis tersebut berlambar dan disesuaikan dengan akumulasi kecakapan dan kapabilitas literasi yang dimilikinya.
Menurut Prof. Naim terdapat enam kunci utama dalam proses menulis, yakni mimpi, nekat, temukan alasan, jam terbang, keterampilan (skill) dan kepuasan psikologis.Â
Pertama, mimpi. Seseorang yang mencita-citakan diri ingin menjadi seorang penulis ia harus memiliki mimpi. Kendati demikian, bukan berarti pula ia berhenti pada level sekadar mimpi, terjerembab di dalam dunia imajinasi, melainkan harus segera bangun. Bangun dari mimpi itu, lantas sesegera mungkin menggerakkan pena.Â
Sebagaimana pesan Kuntowijoyo, syarat untuk menjadi seorang penulis ada tiga, yakni menulis, menulis dan menulis. Sebab terwujudnya mimpi adalah akumulasi dari aksi nyata dan usaha yang terdisiplinkan.
Kedua, nekat. Sikap nekat hukumnya wajib dimiliki oleh seorang penulis. Utamanya bagi penulis pemula dan amatiran seperti saya. Kenapa seorang penulis harus memiliki sikap nekat? Karena nekat adalah modal utama yang dapat memaksa, mendikte dan mengondisikan kemauan serta kemampuan seseorang untuk terus menulis. Terlebih aktivitas menulis tidak dapat dilakukan secara instan dan serampangan, melainkan harus ditempuh dengan proses panjang yang berkelok dan terjal.
Sebagai contoh Prof. Naim menyuplik kisah nyata yang dialami oleh J. K. Rowling sang penulis buku best seller Harry Potter. J. K. Rowling jatuh bangun menekuni dunia menulis.Â
Bahkan cikal bakal naskah Harry Potter telah puluhan kali ditolak oleh pihak penerbit. Hingga sempat Rowling membuang naskahnya ke tempat sampah. Akan tetapi secara tidak sengaja naskah itu ditemukan oleh seorang pimpinan penerbit yang berinisiatif mencetak dan mempublikasikannya. Tiba-tiba bom waktu menghendaki buku itu laku keras di pasaran. Buku itu dicetak berkali-kali. Bahkan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di berbagai benua.
Siapa sangka Rowling yang sudah putus asa dengan perjuangannya dan telah menghabiskan waktu bertahun-tahun menulis tanpa menghasilkan apa-apa, dibuat terkejut di ujung tanduk keputusasaannya. Jerih payahnya menjadikan ia dikenal sebagai sosok penulis tangguh dan inspiratif. Namanya melambung dalam dunia fiksi.Â
Utamanya dalam dunia pernovelan. Bahkan novelnya dijadikan film yang banyak ditonton oleh sekian ratus juta pasang mata. Maka tidak aneh, jika kemudian banyak buku dan kaset DVD Harry Potter bajakan yang berkeliaran di mana-mana pada masanya. Memang selalu ada hama di balik suburnya tanaman yang menemukan momentumnya.
Tidak hanya sekadar menyuplik dan berusaha mengambil ibrah dari kisah J. K. Rowling, Prof. Naim juga sempat menceritakan pengalaman pertama kali terpincut dengan dunia literasi.Â
Disebutkan, tatkala beliau masih berstatus sebagai santri di salah satu pondok pesantren beliau gemar membaca majalah dinding (mading). Mading itu menjadi salah pojok favorit rebutan banyak santri dan beliau selalu menjadi orang yang terkalahkan dalam urusan berdesak-desakan.Â
Maklum saja, kala itu postur tubuh beliau kalah besar dengan santri lainnya. Sebagai trik jitunya, beliau menjadikan sore hari sebagai waktu yang tepat untuk mengkhatamkan seluruh koran yang dipajang di mading.
Dari tradisi melahap informasi yang tersuguh dalam lembaran koran di mading itulah beliau memiliki mimpi untuk menjadi seorang penulis. Bahkan di masa abu-abu adalah momentum pertama kali bagi beliau mengikuti pelatihan jurnalistik secara langsung. Dan di sanalah pintu gerbang untuk mencapai mimpi menjadi seorang penulis kian dihujamkan. Beliau getol mengasah kemampuan literasi di dalam dirinya.
Tatkala menyandang status sebagai mahasiswa, beliau kerap mengirimkan esai ke koran Kompas dan lain sebagainya. Dikatakan beliau harus bertegar hati tatkala esainya ditolak berkali-kali, hal itu ditandai dengan diterimanya amplop coklat yang sudah terbiasa diantar Pak pos setiap hari. Upaya mengirim esai ke koran yang lebih dari sepuluh kali itu akhirnya pecah telur, dan kegembiraan merangkul beliau bukan kepalang.Â
Sebagai bentuk kegirangannya beliau sempat mengabadikan setiap publikasi esai di koran menjadi kliping dan ditunjukkan kepada teman-teman kenalan beliau.
Sempat satu ketika, tatkala esainya pertama kali dimuat di koran Kompas beliau dijahili oleh teman-temannya. Honorium tulisan perdananya diambil diam-diam oleh teman-temannya, lantas beliau diajak menyantap hidangan enak di salah satu warung makan. Setelah selesai makan, barulah temannya menjelaskan bahwa mereka makan menggunakan honorium dari tulisan beliau. Mereka bercerita panjang sembari memberikan sisa honorium buah pena beliau yang perdana.
Sempat pula satu ketika naskah beliau diterbitkan di penerbit Mayor akan tetapi sampai sekarang tidak ada sepeserpun royalti yang beliau terima. Kendati demikian beliau meyakini bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar datang pada tuannya. Dan rezeki itu dari mana saja datangnya bahkan dari arah yang tidak pernah disangka-sangka. Benar saja, tidak lama dari itu Allah SWT membalasnya dengan rezeki yang berkali-kali lipat. Hal itu terjadi sebab dalam menulis terdapat banyak keberkahan dan manfaat yang tidak terhingga.
Diceritakan, berkah dari tradisi menulis yang telah mendarah daging mengantarkan beliau berkeliling hampir keseluruhan Indonesia, terkecuali Provinsi Papua Barat yang belum dikunjunginya. Ratusan karyanya telah menjadi jembatan bagi beliau melalang buana menjadi pembicara--pemateri ataupun narasumber--dalam beragam agenda kegiatan yang sebelumnya tidak pernah terduga.
Dari sana kita bisa mengambil ibrah bahwa buah dari menulis (berkarya) itu tidak terbatas pada keuntungan secara materiil, melainkan juga keuntungan yang sifatnya lebih kekal.Â
Menambah jejaring relasi pertemanan, mengoleksi pengalaman yang mungkin saja tidak pernah dapat terulangi dan meng-upgrade wawasan pengetahuan diri. Maka sangatlah rugi jikalau seseorang terpaku-sibuk menulis hanya sekadar untuk kepentingan mengejar royalti dan fokus membesarkan perutnya semata. Meski  demikian, hal itu sah-sah saja jika dilakukan.
Ketiga, temukan alasan mengapa kita harus menulis. Salah satu alasan kuat kenapa kita harus menulis adalah, karena dengan menulis sesungguhnya menandakan hakikat manusia sebagai makhluk pembelajaran sejati. Kesadaran ini sangatlah penting bagi manusia supaya dirinya secara pelan-pelan mampu beranjak dari labelisasi mahlul khotho wa nisyan dan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Analoginya seperti orang bersabar: mudah diucapkan akan tetapi sedikit sulit dilakukan.
Hal yang sama juga berlaku dalam menulis. Dengan menulis sesungguhnya manusia terus melakukan proses belajar, introspeksi dan memperbaiki serta meningkatkan kualitas yang dimiliki. Mengapa demikian? Sebab untuk menghasilkan sebuah tulisan sederhana saja seorang penulis dituntut untuk memiliki potensi, kompetensi dan komunikasi serta evaluasi.
Sebutkan saja potensi itu berupa daya dan kemampuan literasi yang kiranya dapat dikembangkan lebih lanjut. Kompetensi dasar berwujud
wawasan pengetahuan literasi yang memadai sehingga ia mau dan mampu mengambil sikap tegas untuk aktivitas menulis. Tanpa adanya potensi dan kompetensi diri kemungkinannya sangat kecil seseorang dapat melakukan aktivitas menulis. Jika pun itu bisa, dapat dipastikan tulisan yang dihasilkan tidak lebih secara serampangan dan tidak berlogika.
Komunikasi dalam konteks ini bermakna seseorang penulis harus mampu menyinkronkan antara puzzle wawasan pengetahuan dengan ide, gagasan atau motif kebutuhan dalam aktivitas menulis dan skill memilah kata. Tidak menutup kemungkinan kuantitas latihan menulis dapat mengurangi tingkat miss komunikasi dalam bentuk reduksi, distorsi dan split atas informasi yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembaca.
Sedangkan evaluasi ditandai dengan sikap kritis, transparansi-terbuka dan bertanggung jawab terhadap apa yang ditulis. Di samping akan tahu-menahu di mana letak kesalahan, kekurangan dan ketidakmaksimalan dari tulisan yang dihasilkannya, melalui evaluasi setidaknya seorang penulis akan belajar dari pengalaman dan meningkatkan kualitas tulisan yang dilahirkan.
Keempat, faktor jam terbang. Kualitas tulisan kita sebenarnya sedikit banyak bergantung pada seberapa sering kita berlatih; mengalokasikan waktu luang untuk menempa potensi literasi diri. Dengan demikian makna jam terbang dalam konteks ini adalah mengenai ketekunan dan kedisiplinan dalam proses menulis.Â
Prof. Naim menganalogikan kegigihan seorang penulis tidak berbeda jauh dengan profesi seorang pilot. Semakin banyak memiliki jadwal terbang, maka semakin handal mengendalikan pesawatnya. Ia tahu mengenai rupa-rupa persoalan yang melingkupi profesinya. Dari mulai standarisasi dan teknis penerbangan, tantangan yang harus dihadapi sampai dengan menjamin keselamatan penumpangnya. Maka disebutlah proses itu dengan istilah 10.000 jam terbang.
Begitu halnya dengan seorang penulis, semakin banyak ia memiliki jam terbang--waktu produktif untuk membaca dan menulis yang konsistensi--maka keterampilan menulisnya akan semakin terasah. Beragam jenis badai mungkin akan menerpa dan menjadi tantangan tersendiri, namun penulis yang handal tidak akan mudah larut dan melupakan tradisi.
Seperti halnya kebutuhan primer yang memberikan energi pada tubuh, maka seorang penulis tanpa melakukan latihan menulis selain kualitas tulisannya akan kian rapuh, otak yang tidak terbanjiri nutrisi dapat menjadikan fungsinya sedikit demi sedikit lumpuh. Rekognisi lempengan informasi yang biasanya dilakukan oleh otak akan melempem, tumpul dan mudah kambuh. Stress dan enggan menguras pikiran.
Sebaliknya, ketekunan dan kedisiplinan dalam proses menulis kian mengondisikan kualitas dan keterampilan yang dimiliki. Seseorang yang konsisteni menulis akan peka terhadap informasi ter-update, mudah menemukan ide brilian untuk ditulis sampai dengan elok--paripurna dan detail--dalam menuangkan gagasan ide cemerlang yang menghampiri dirinya.
Pendek kata, kuantitas jam terbang menjadikan seorang penulis giat belajar dan berusaha menaklukkan tantangan yang belum pernah dihadapinya. Kuantitas jam terbang secara implisit menjadikan aktivitas menulis mendarah daging di dalam diri penulis (tradisi). Aktivis menulis yang telah menjadi tradisi itu lantas membuat proses menulis lebih terasa ringan. Bukan sebaliknya, menulis atas dasar paksaan, dipandang sebagai beban dan kesulitan yang sukar untuk dipecahkan.
Dalam konteks sebagai manusia pembelajar sejati, tradisi menulis tersebut dipandang sebagai kesadaran atas nikmat Tuhan yang tidak boleh terlewatkan, terlebih melupakannya adalah sikap yang merugi. Kenapa tatkala kita melewatkan atau melupakan tradisi menulis disebut sebagai sikap yang merugi? Karena dengan menulis berarti kita sedang mensyukuri atas nikmat diberikannya akal, dititipkannya wawasan pengetahuan, tangan dan kesempatan.
Dari sana setidaknya kita bisa menangkap satu simpulan, bahwa salah satu tips mengatasi kesulitan dalam aktivitas menulis adalah dengan cara memiliki dan meningkatkan jam terbang. Intensitas praktek menulis dapat memudahkan seorang penulis mengindentifikasi sekaligus mengatasi berbagai macam kendala yang dihadapi dalam proses menulis. Sehingga rumusnya: semakin sering kita menulis maka akan meningkatkan kualitas, keterampilan dan pengalaman personal tentang menulis.
Kelima keterampilan (skill). Keterampilan dalam konteks ini berhubungan banyak dengan kemampuan dan cara seorang penulis menyelesaikan tulisannya. Seorang penulis pemula sudah barang tentu akan menghasilkan kualitas tulisan yang berbeda jauh dengan penulis kawakan. Salah satunya hal itu disebabkan karena level skill yang dimiliki oleh keduanya juga berbeda.
Penulis pemula atau amatiran tentu saja memiliki level keterampilan menulis yang masih terbatas dan terbata-bata, sehingga tak ayal jika kemudian banyak ditemukan kekeliruan, kesalahan dan ketidakmaksimalan di setiap ceruk tulisannya. Sebaliknya, penulis kawakan telah piawai (memiliki skill yang terasah), segudang pengalaman dan memiliki kualitas yang tidak perlu diragukan lagi.
Di samping itu, sudah dapat dipastikan penulis kawakan telah memiliki jam terbang yang tinggi, mempersepsikan menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan, ringan dan nyaman dilakukan, memahami urgensi tradisi menulis, sampai dengan menjadikan menulis sebagai passion. Pertanyaan mendasarnya, bagaimana cara penulis pemula mengasah keterampilan menulis dalam dirinya?
Menurut Prof. Naim cara mengasah keterampilan menulis di dalam diri seorang penulis pemula yang paling ampuh adalah dengan banyak melakukan reflektif. Artinya kegiatan menulis itu sebaiknya dimulai dengan menuliskan sesuatu hal yang kita suka atau bisa. Mengapa demikian? Sebab masing-masing dari kita secara umum pasti memiliki pengetahuan yang memadai terkait segala sesuatu yang kita suka. Itu artinya apa yang kita tulisan bertumpu pada kemampuan dan wawasan pengetahuan kita. Bukan menulis tentang sesuatu hal yang tidak dikuasai dan jauh dari kemampuan diri kita.
Sementara yang terakhir ialah kepuasaan psikologis. Tatkala seseorang melakukan kegiatan menulis pada hakikatnya ia sedang meluapkan sengkarut emosi dan beban pikiran yang terbenam di dalam diri. Maka tak heran jika kemudian seorang penulis akan menemukan momentum "wow" dan plong setelah melakukan kegiatan menulis. Berkaitan dengan hal itu tak jarang seorang psikolog atau psikiater memberikan saran kepada pasiennya yang memiliki beban mental dan pikiran untuk menjadikan menulis sebagai sarana penyembuhan diri.
Hal itu mengingatkan saya kembali pada pernyataan alm. Hernowo Hasyim (salah satu penasehat SPK pusat terdahulu), bahwa menulis juga dapat digunakan sebagai media meluapkan emosi kemarahan yang melanda diri kita. Melalui tulisan kita bisa meluapkan segala bentuk distraksi, tekanan dan temperatur mental yang sedang bergejolak hebat. Untuk sesaat, tatkala kira marah, biarkanlah semua kata serampangan keluar dari otak dan hati kita melalui tuts keyboard. Selebihnya, jika ternyata tulisan buah dari kemarahan itu mengandung gagasan ide yang dapat dikembangkan lebih lanjut dapat diadopsi. Sedangkan jika tulisan buah kemarahan itu berisi kata-kata atau kalimat yang tak pantas dan tidak sesuai dengan kode etik, kita bisa tekan tombol control A kemudian delet.
Di samping itu, melalui kegiatan menulis sebenarnya seseorang sedang mengabadi segenap sensasional indera personal atas peristiwa yang berkecamuk hebat di dalam diri. Misalnya saja seseorang yang menuliskan catatan perjalanannya berkunjung ke suatu tempat atau mengikuti kegiatan acara tertentu. Catatan perjalanan itu tentu tatkala dibaca kembali pada momentum tertentu akan menimbulkan perasaan puas tersendiri bagi seorang penulisnya.
Sementara keuntungan jangka panjang dari aspek psikologis akan dituai oleh seorang penulis tatkala tulisannya mendapatkan apresiasi, saran dan kritikan yang membangun bagi kontinuitas kualitas karyanya. Hadirnya feedback yang berupa apresiasi, saran dan kritik atas tulisan yang kita buat setidaknya akan meningkatkan kepercayaan diri, meningkatkan kesehatan mental dan kekuatan psikis.
Tulungagung, 02 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H