Utamanya dalam dunia pernovelan. Bahkan novelnya dijadikan film yang banyak ditonton oleh sekian ratus juta pasang mata. Maka tidak aneh, jika kemudian banyak buku dan kaset DVD Harry Potter bajakan yang berkeliaran di mana-mana pada masanya. Memang selalu ada hama di balik suburnya tanaman yang menemukan momentumnya.
Tidak hanya sekadar menyuplik dan berusaha mengambil ibrah dari kisah J. K. Rowling, Prof. Naim juga sempat menceritakan pengalaman pertama kali terpincut dengan dunia literasi.Â
Disebutkan, tatkala beliau masih berstatus sebagai santri di salah satu pondok pesantren beliau gemar membaca majalah dinding (mading). Mading itu menjadi salah pojok favorit rebutan banyak santri dan beliau selalu menjadi orang yang terkalahkan dalam urusan berdesak-desakan.Â
Maklum saja, kala itu postur tubuh beliau kalah besar dengan santri lainnya. Sebagai trik jitunya, beliau menjadikan sore hari sebagai waktu yang tepat untuk mengkhatamkan seluruh koran yang dipajang di mading.
Dari tradisi melahap informasi yang tersuguh dalam lembaran koran di mading itulah beliau memiliki mimpi untuk menjadi seorang penulis. Bahkan di masa abu-abu adalah momentum pertama kali bagi beliau mengikuti pelatihan jurnalistik secara langsung. Dan di sanalah pintu gerbang untuk mencapai mimpi menjadi seorang penulis kian dihujamkan. Beliau getol mengasah kemampuan literasi di dalam dirinya.
Tatkala menyandang status sebagai mahasiswa, beliau kerap mengirimkan esai ke koran Kompas dan lain sebagainya. Dikatakan beliau harus bertegar hati tatkala esainya ditolak berkali-kali, hal itu ditandai dengan diterimanya amplop coklat yang sudah terbiasa diantar Pak pos setiap hari. Upaya mengirim esai ke koran yang lebih dari sepuluh kali itu akhirnya pecah telur, dan kegembiraan merangkul beliau bukan kepalang.Â
Sebagai bentuk kegirangannya beliau sempat mengabadikan setiap publikasi esai di koran menjadi kliping dan ditunjukkan kepada teman-teman kenalan beliau.
Sempat satu ketika, tatkala esainya pertama kali dimuat di koran Kompas beliau dijahili oleh teman-temannya. Honorium tulisan perdananya diambil diam-diam oleh teman-temannya, lantas beliau diajak menyantap hidangan enak di salah satu warung makan. Setelah selesai makan, barulah temannya menjelaskan bahwa mereka makan menggunakan honorium dari tulisan beliau. Mereka bercerita panjang sembari memberikan sisa honorium buah pena beliau yang perdana.
Sempat pula satu ketika naskah beliau diterbitkan di penerbit Mayor akan tetapi sampai sekarang tidak ada sepeserpun royalti yang beliau terima. Kendati demikian beliau meyakini bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar datang pada tuannya. Dan rezeki itu dari mana saja datangnya bahkan dari arah yang tidak pernah disangka-sangka. Benar saja, tidak lama dari itu Allah SWT membalasnya dengan rezeki yang berkali-kali lipat. Hal itu terjadi sebab dalam menulis terdapat banyak keberkahan dan manfaat yang tidak terhingga.
Diceritakan, berkah dari tradisi menulis yang telah mendarah daging mengantarkan beliau berkeliling hampir keseluruhan Indonesia, terkecuali Provinsi Papua Barat yang belum dikunjunginya. Ratusan karyanya telah menjadi jembatan bagi beliau melalang buana menjadi pembicara--pemateri ataupun narasumber--dalam beragam agenda kegiatan yang sebelumnya tidak pernah terduga.
Dari sana kita bisa mengambil ibrah bahwa buah dari menulis (berkarya) itu tidak terbatas pada keuntungan secara materiil, melainkan juga keuntungan yang sifatnya lebih kekal.Â