Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tempat Duduk Mencerminkan Mentalitas Seseorang

1 Mei 2022   14:01 Diperbarui: 1 Mei 2022   14:04 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan demikian, maka mereka yang mengambil keputusan untuk menjadi penghuni deret kursi yang terdepan tanpa ada unsur keterpaksaan dapat dipastikan telah mapan secara mental. Keberanian dan kesiapan diri mereka sudah ada dalam genggaman. Mentalnya sudah mampu dikendalikan, tertata dan matang. Mereka telah siap menerima dan tidak terbebani sama sekali dengan bayang-bayang tuntutan yang telah  ditetapkan sebagai citra yang berlaku bagi penghuni kursi terdepan. Kesiapan mental inilah yang selanjutnya membuat mereka merasa nyaman mengikuti berlangsungnya kegiatan.

Semisal kita meminjam pandangan Abraham Maslow, tentu aktualisasi diri seseorang hanya akan tampak ke hadapan publik manakala kebutuhan mendasar fisik dan mentalnya telah terpenuhi. Sedang mentalitas diri seseorang mampu terekspresika dengan jelas manakala berada dalam mode belonging. Telah menyatu dengan sekaligus menjadi bagian dari alam sekitar. Sehingga keadaan yang telah menyatu itu membuat dirinya nyaman untuk berekspresi.

Pertanyaannya, sejak kapan tempat duduk yang kita pilih turut mencerminkan mentalitas kita? Jikapun iya, sedari kapan kebenaran itu ditanamkan dalam kesadaran kita? Lantas kapan kita harus menyadarinya?

Mengkritisi Akar Permasalahan

Jika kita mau menelisik lebih jauh, hemat saya, akar permasalahan mentalitas dalam pemilihan tempat duduk di ruang publik itu bersinggungan langsung dengan cara kita memilih tempat duduk tatkala menyandang status sebagai siswa di sekolah. Mengapa demikian? Sebab selama di sekolah itulah secara tidak langsung bahkan terus-menerus kita ditempa untuk membuat keputusan dalam memilih bangku. Tentu, dengan posisi bangku yang berderet ke belakang.

Di manapun letak bangku yang kita pilih lantas berubah menjadi satu kebenaran pilihan yang kemudian terbenam di alam bawah sadar kita. Hal yang demikian terus berlanjut dari berbagai jenjang pendidikan, masa kuliah, dunia kerja hingga kiprah realitas sosial kehidupan kita. Di waktu yang berbeda, disadari atau tidak, sesungguhnya kita telah memilih posisi yang sama. Tidak hanya itu bahkan secara tidak sadar kita juga turut membenamkan perasaan yang sama dalam rentang waktu yang lama.

Pernah ada satu kasus tatkala saya duduk di bangku sekolah dasar. Setelah pembagian buku raport semester kenaikan kelas, biasanya para siswa berhamburan menuju ruang kelas yang baru. Di sana mereka berebut bangku yang akan mereka tempati tatkala masuk nanti setelah libur panjang. Umumnya bangku yang mereka rebutkan posisinya berada di tengah dan belakang. Hanya orang-orang yang secara ranking kelas baik saja yang mau mengambil deret bangku yang terdepan.

Saking antusiasnya mereka, terkadang sampai-sampai mereka harus memberi tanda pada bangku yang telah dipilih. Entah itu menandainya dengan menaruh sobekan lembar kertas yang telah diberi nama yang memilih, ataupun dengan secara terang-terangan menyatakan diri bahwa posisi itu telah menjadi miliknya.

Jikalau tidak demikian, biasanya kami harus berlomba-lomba untuk datang ke sekolah lebih awal. Sejauh apapun itu jarak antara rumah dengan sekolah, yang terpenting harus datang ke sekolah lebih awal. Bahkan, seakan-akan kami tidak menerima alasan apapun bentuknya untuk terlambat datang. Kenapa demikian? Sebab hanya dengan datang ke sekolah lebih awal, kami mampu dengan leluasa bisa memilih bangku sesuai selera. Sebelum posisi bangku yang dianggap ideal diakuisisi teman seperjuangan.

Kendati demikian, pemilihan bangku itu sontak menjadi ambyar seketika tatkala ada siswa yang membawa serta Ibunya di awal masuk semester tiba. Nah, biasanya secara ujug-ujug sang Ibu memilihkan bangku untuk anaknya. Dan itu tidak peduli sudah diakuisisi atau belum. Yang terpenting bangku itu telah diduduki oleh anaknya. Sialnya, hal itu tidak bisa diganggu gugat. Jikapun protes dan mau berdebat, mana mungkin ada siswa yang mau dicap durhaka karena telah melawan orangtua.

Lambat-laun pola pemilihan bangku itu saya kira tertanam kuat dalam pemikiran, memengaruhi mengambil keputusan dan menjadi kecenderungan habitus dalam membuat pilihan. Hal itu terjadi, karena memang proses itu kita kerjakan secara berulang-ulang dari satu semester ke semester lainnya. Habitus yang awalnya sekadar tuntutan kondisional yang kemudian menjadi imaji posisi nyaman sehingga kita sebut sebagai satu kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun