Sebaliknya, jika Anda menulis buku dengan tujuan: tulisan yang dipublikasikan banyak dibaca oleh khalayak, mendapatkan royalti sebagai fokus menulis, menambah jumlah follower dan hendak berbagi pengetahuan yang bermanfaat tentang sesuatu kepada khalayak pembaca maka fix Anda masuk kategori penulis populer.Â
Perbedaan orientasi antara menulis dengan semangat idealisme dan populer begitu kentara bukan? Jikalau memang memiliki orientasi yang berbeda, apakah bisa kedua kategori karakter menulis itu digabungkan menjadi satu kesatuan? Jika memang bisa bentuk konkretnya seperti apa?Â
Sebagai analoginya, bukankah setiap menu makanan selalu ada penikmatnya? Bukankah segala bentuk perbedaan yang ada di muka bumi selalu menampilkan harmonisasi yang membuat khalayak merasa kagum?Â
Maka begitu juga dengan karya yang menyuguhkan tulisan. Buku yang terbit dengan genre tertentu secara pasti selalu akan menemukan tuannya, akan sampai pada jodohnya. Kuncinya, target pembaca harus diperhatikan dan menjadi penting.
Lantas bagaimana dengan buku yang telanjur terbit dengan frame kategori idealisme penulis? Tidak usah gupuh! Tugas Anda hanya perlu menunggu respon dari pembaca. Melihat ceruk mana saja yang menjadi bagian kesenangan dan ketidaknyamanan dari pembaca.Â
Syukur-syukur kalau pembaca memberi feedback menarik untuk perbaikan tulisan kita. So, simpel kan? Apapun yang dilontarkan pembaca ya diterima dengan lapang dada. Jadilah penulis yang bijak dalam menerima semua respon.
Sedangkan jika memang belum menulis, dan hendak mencekoki pembaca dengan idealisme Anda, maka tentukan target market pembaca buku terlebih dahulu. Lakukanlah analisis dan observasi terlebih dahulu, kira-kira ceruk mana yang menjadi target empuk. Apakah itu Anda hendak menulis buku dengan menggunakan bahasa yang disukai, kebiasaan atau memang cara berpikir pembaca sebagai target market. Pendekatan menggunakan gaya selingkung menjadi penentu keberhasilannya.
Sampai di sini saya sepakat dengan pernyataan epik Kang Tendi Murti:Â
"Kalau memang kita bisa menulis dengan idealisme dan populer dalam satu karya kenapa harus memilih salah satunya? Kalau memang pada kenyataannya, idealisme bisa disandingkan dengan target market yang banyak, kenapa harus dipersempit? Kalau memang bisa menginspirasi banyak orang, kenapa hanya untuk diri sendiri?"
Sekarang, semua keputusan ada di tangan Anda. Apakah Anda akan berpikir seperti laiknya Mbak Nana (sapaan hangat untuk Najwa Shihab)? Dan akan menyalahkan tulisan ini karena sejak awal telah menditke dan memposisikan diri pembaca untuk memilih salah satunya.Â
Padahal, bukankah memilih itu adalah hak dan privasi setiap orang? Jikapun bisa melakukan keduanya kenapa harus memilih?