Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Marketing sebagai Tantangan Penulis Buku

25 Oktober 2021   11:54 Diperbarui: 26 Oktober 2021   12:01 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menjual buku. Sumber: Thinkstock/Encrier via Kompas.com 

"Tantangan yang harus kita taklukkan setelah menulis buku, adalah mengupayakannya laris manis terjual di market place dan toko buku", Dewar Alhafiz.

Masalah mendasar setelah kita memiliki sebuah karya yang baru lahir (telah siap cetak) adalah penjualan. Penjualan di sini maksudnya tentang bagaimana buku kita mampu diterima dan diminati khalayak ramai, layak dijajakan di pasaran, hingga pendistribusian secara maksimal dengan tujuan memberi kemanfaatan. 

Disadari atau tidak, memang masalah penjualan buku menjadi rintangan lain yang harus dihadapi oleh seorang penulis, baik itu pemula ataupun senior. Itu artinya, rampung dan diterimanya naskah kita oleh suatu penerbit bukan akhir dari perjuangan kreativitas kita. Diterbitkannya naskah kita oleh penerbit mayor atau indie bukan pula ujung dari nasib yang sempurna dalam berkarya.

Menyangkut persoalan ini nampaknya saya sepakat dengan pendapat Tendi Murti (penulis 21 buku, founder KMO Indonesia dan CEO KBM App) bahwa salah satu hal yang mampu membuat down penulis adalah masalah penjualan buku. Setelah tertatih-tatih kita menulis, beban lain yang harus kita taklukkan adalah penjualan buku, yang ditakutkan tak kunjung laku. 

Jikalau laku, itu pun dikhawatirkan hanya seujung kuku. Dan penyakit yang diidap oleh penulis pemula, kebanyakan hanya terpuaskan pada level mendapat titel sebagai penulis--tak terkecuali saya sendiri selaku amatiran--karena berhasil menerbitkan buku, tanpa mau tahu bagaimana cara penjualan buku melalui marketing yang tetap dan jitu.

Padahal, idealnya seorang penulis juga harus berusaha tahu-menahu tentang ilmu marketing sekaligus membantu upaya promosi yang dilakukan oleh pihak penerbit buku. Mengapa harus demikian? Sebab penulis juga memiliki tanggung jawab moral, target dan visioner dari diterbitkannya naskah miliknya. 

Melalui partisipasi aktif dalam marketing dan promosi produk buku sebenarnya penulis juga akan menuai pelajaran dari lapangan secara langsung. 

Adapun pelajaran itu bisa saja mengenai: seberapa besar antusias dan animo khalayak ramai dalam menyambut bukunya yang telah lahir, pangsa pasar mana saja yang relevan dan segala bentuk apresiasi terhadap buku tersebut. 

Baik itu ucapan selamat, pujian, kritik maupun saran yang dilayangkan. 

Selain itu, melalui keterlibatan aktif dalam proses penjualan dan marketing buku juga akan memposisikan penulis untuk turut merasakan bagaimana perjuangan yang dilakukan penerbit dalam konteks promosi buku yang diterbitkan. 

Entah itu dalam urusan melayani customer, komplain dan lain sebagainya yang mungkin banyak melibatkan psikis serta mental selama proses negosiasi transaksi dilakukan. 

Sederhananya, keterlibatan aktif penulis dalam proses marketing dan penjualan buku akan membentuk karakter kemitraan yang humanis dan berbuah manis. Formulanya seperti halnya rumus gaya gravitasi Isaac Newton, banyaknya buku yang dipesan sama dengan jumlah buku yang harus dicetak. Buku yang terjual sama dengan berapa persen pembagian hasil yang akan penulis dapatkan. 

Sumber foto: Cover salah satu Buku penulis
Sumber foto: Cover salah satu Buku penulis

Jika boleh disimpulkan menggunakan sudut pandang ekonomi, penerbitan buku adalah salah satu kategori bisnis yang memerlukan cost sehingga harus dipikirkan secara matang. Maka faktor marketing menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan.

Penerbit Mana yang Anda Pilih Turut Menentukan Cost

Berkaitan dengan tinggi rendahnya cost yang harus dikeluarkan dan pembagian royalti atas buku yang diterbitkan sebenarnya tergantung pada indentitas pihak penerbit buku, pasalnya penerbit mayor dan indie memiliki standaritas tersendiri. 

Standaritas yang signifikansi inilah yang harus dipenuhi oleh pihak penulis jikalau naskahnya mau dan dikategorikan layak untuk diterbitkan. Disamping itu, masih ada perjanjian bersama antara dua belah pihak: penerbit dan penulis yang harus disepakati.

Sedangkal yang saya ketahui, umumnya naskah buku yang berbobot selalu memiliki konsentrasi yang serius dalam mengkaji topik tertentu dengan menggunakan validitas satu teori sebagai sudut pandang. 

Meski begitu, keseriusan itu akan terasa renyah manakala dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami dan membumi. Naskah semacam ini akan mudah diterima penerbit mayor meski harus melalui proses editing yang ketat dan teliti. 

Proses editing ini ditujukan untuk dua arah: mengokohkan dan menambal beberapa celah yang dipandang masih goyah. Baik klarifikasi atas teori atau mungkin berusaha memapankan argumentasi.

Pemberlakuan standarisasi yang ketat, teliti dan selektif itulah yang menjadikan sebagian kalangan di antara kita merasa bangga manakala naskahnya mampu diterbitkan oleh penerbit mayor. 

Terbitnya buku di penerbit mayor menandakan tulisan seseorang itu telah bermutu dan bergengsi. Tak ayal memang, jika pada akhirnya banyak orang (penulis) yang sangat berambisi untuk terlibat sebagai bagian dalam kompetisi itu. 

Kelumrahan lain dari terbitnya buku di penerbit mayor adalah penulis tidak perlu memikirkan masalah administrasi. Alias gratis untuk biaya cetak. Malahan penulis buku akan dikirimkan beberapa sampel secara cuma-cuma sekaligus mendapatkan royalti. Tentu pembagiannya sesuai dengan perjanjian bersama yang telah disepakati. 

Berbeda halnya dengan buku yang diterbitkan di penerbit Indie yang kebanyakan menguras kantong sendiri. 

Jikalau memang dalam penerbitan buku gratis, penulis dibebani dengan kewajiban untuk menjual buku sesuai target, membeli produk minimal berapa eksemplar buku atau mungkin buku yang telah terbit itu dibandrol dengan harga yang terlampau tinggi. Alih-alih mempermudah namun justru mencekik leher penulis itu sendiri. 

Masih dalam kasus yang sama, akhir-akhir ini saya kerap melihat bagaimana eksistensi penerbit Indie yang kian menjamur, menggeliat dan kompetitif. 

Mulai dari memberi kesempatan untuk menerbitkan buku secara gratisan, memberi diskon besar-besaran, prosesnya yang dipermudah, hingga mematok pembelian produk minimal yang terhitung satu tangan. Intinya, low budget yang diutamakan. 

Alhasil, kualitas cetakan buku jauh dari harapan. Kualitas kertas buruk, bahkan typo (kesalahan dalam pengetikan) masih berceceran di sebagian besar halaman. 

Tentu tidak semua penerbit Indie demikian. Banyak juga penerbit Indie yang mengutamakan kualitas, kredibilitas dan kedisiplinan dalam urusan melayani kepuasan pelanggan. 

Sementara beberapa contoh kecil yang telah disebutkan di atas hanya sekelumit pengalaman dan masalah yang pernah saya temukan. Sisanya tergantung pada kepandaian kita, selektif dalam memilih penerbit adalah kuncinya.

Menjadi Penulis Idealis atau Populer?

"Tulisan yang baik (setidaknya menurut saya) adalah yang di dalamnya idealisme dengan pembaca yang banyak dan menghasilkan finansial untuk membantu keuangan keluarga", Tendi Murti.

Ada postingan menarik dari akun Instagram Kang Tendi Murti yang diunggah pada 1 Oktober 2021. Melalui postingan yang bertajuk; Dilema Penulis, Idealisme atau Populer? 

Beliau hendak menyampaikan dua gambaran besar tentang bagaimana prinsip seorang penulis dalam menulis yang banyak memengaruhi orientasi karya yang dihasilkan serta nasib buku di pasaran. 

Nasib satu buku di pasaran sebenarnya berkaitan dengan marketing dan penjualan buku yang banyak menyinggung prinsip dasar yang dimiliki oleh seorang penulis. Apakah si penulis tergolong sebagai seorang yang mengutamakan idealisme atau mungkin mengorientasikan karyanya untuk menjadi bahan bacaan yang populer? 

Jika memang dalam penyusunan naskah buku penulis lebih condong mengutamakan idealisme, umumnya memiliki beberapa tanda sebagai berikut: memiliki orientasi memuaskan diri sendiri, tidak mempedulikan siapa (pembaca) yang akan menjadi target, royalti bukan tujuan utama dari berkarya dan hanya menulis sekadar untuk mencukupi kebutuhan rasa nyaman. 

Apabila mendapati tanda-tanda tersebut dalam diri Anda, maka selamat Anda termasuk kategori penulis idealisme yang berusaha menuntaskan gejolak rasa semata, emosi yang memang sedang tidak baik, dan menjadikan proses menulis sebagai healing mental. 

Pertanyaan mendasarnya, apakah proses menulis seperti itu salah? Jawabannya, tentu tidak. 

Sebab salah satu fungsi dari menulis memang tujuannya adalah menyehatkan mental. Itu dibuktikan dengan adanya kesan "wow" dan rasa plong manakala kita berhasil merampungkan satu tulisan tertentu. 

Menulis dengan tujuan menyehatkan mental yang ditandai dengan adanya kesan "wow" dan rasa plong ini pernah diulas secara gamblang dalam kanal YouTube Ngaji Literasi yang dinakhodai oleh Dr. Ngainun Naim. Bahkan sekelas penulis beken seperti almarhum Hernowo Hasim juga menganjurkan meluapkan emosi dengan menulis. Sebab, menurutnya bisa saja melalui luapan emosi itu ide-ide muncul. 

Yang terpenting, tulisan yang dihasilkan itu tidak langsung dianggap final, melainkan disimpan jika memang memuat hal penting guna ditinjau dan dikembangkan di kemudian hari dengan pertimbangan yang matang dan pengolahan data yang tepat. Namun jika memang dianggap tidak penting dan mengandung toxic maka hapuslah tulisan itu.

Sementara salah satu masalah krusial yang harus dijauhi oleh penulis pemula adalah setelah menghasilkan karya jangan sampai tidak percaya diri terhadap kreativitas sendiri. 

Utamanya jangan merasa minder karena menganggap karya yang dihasilkan tidak bermutu. Tentu, kualitas dan kemapanan dalam berkarya akan meningkat manakala terus ditempa, melanjutkan proses (terus mau belajar) dan menyikapi semua reaksi secara dewasa. 

Sebaliknya, jika Anda menulis buku dengan tujuan: tulisan yang dipublikasikan banyak dibaca oleh khalayak, mendapatkan royalti sebagai fokus menulis, menambah jumlah follower dan hendak berbagi pengetahuan yang bermanfaat tentang sesuatu kepada khalayak pembaca maka fix Anda masuk kategori penulis populer. 

Perbedaan orientasi antara menulis dengan semangat idealisme dan populer begitu kentara bukan? Jikalau memang memiliki orientasi yang berbeda, apakah bisa kedua kategori karakter menulis itu digabungkan menjadi satu kesatuan? Jika memang bisa bentuk konkretnya seperti apa? 

Sebagai analoginya, bukankah setiap menu makanan selalu ada penikmatnya? Bukankah segala bentuk perbedaan yang ada di muka bumi selalu menampilkan harmonisasi yang membuat khalayak merasa kagum? 

Maka begitu juga dengan karya yang menyuguhkan tulisan. Buku yang terbit dengan genre tertentu secara pasti selalu akan menemukan tuannya, akan sampai pada jodohnya. Kuncinya, target pembaca harus diperhatikan dan menjadi penting.

Lantas bagaimana dengan buku yang telanjur terbit dengan frame kategori idealisme penulis? Tidak usah gupuh! Tugas Anda hanya perlu menunggu respon dari pembaca. Melihat ceruk mana saja yang menjadi bagian kesenangan dan ketidaknyamanan dari pembaca. 

Syukur-syukur kalau pembaca memberi feedback menarik untuk perbaikan tulisan kita. So, simpel kan? Apapun yang dilontarkan pembaca ya diterima dengan lapang dada. Jadilah penulis yang bijak dalam menerima semua respon.

Sedangkan jika memang belum menulis, dan hendak mencekoki pembaca dengan idealisme Anda, maka tentukan target market pembaca buku terlebih dahulu. Lakukanlah analisis dan observasi terlebih dahulu, kira-kira ceruk mana yang menjadi target empuk. Apakah itu Anda hendak menulis buku dengan menggunakan bahasa yang disukai, kebiasaan atau memang cara berpikir pembaca sebagai target market. Pendekatan menggunakan gaya selingkung menjadi penentu keberhasilannya.

Sampai di sini saya sepakat dengan pernyataan epik Kang Tendi Murti: 

"Kalau memang kita bisa menulis dengan idealisme dan populer dalam satu karya kenapa harus memilih salah satunya? Kalau memang pada kenyataannya, idealisme bisa disandingkan dengan target market yang banyak, kenapa harus dipersempit? Kalau memang bisa menginspirasi banyak orang, kenapa hanya untuk diri sendiri?"

Sekarang, semua keputusan ada di tangan Anda. Apakah Anda akan berpikir seperti laiknya Mbak Nana (sapaan hangat untuk Najwa Shihab)? Dan akan menyalahkan tulisan ini karena sejak awal telah menditke dan memposisikan diri pembaca untuk memilih salah satunya. 

Padahal, bukankah memilih itu adalah hak dan privasi setiap orang? Jikapun bisa melakukan keduanya kenapa harus memilih?

Blurb Sebagai Kunci Marketing

Selain penulis dituntut berperan aktif promosi setelah buku siap cetak melalui semua kanal media sosial yang dimilikinya, memilih penerbit yang tepat dan prinsip yang dimiliki penulis memengaruhi, sebenarnya penulis juga memiliki kesempatan besar marketing karya melalui blurb yang ia buat. 

Sebagaimana dipublikasikan akun Facebook penerbit Indie Bintangpustaka.com, bahwa blurb dapat menjadi media akurat dalam marketing. Mengapa demikian? Sebab umumnya blurb memiliki tiga fungsi utama, yakni menampilkan ringkasan buku, sebagai media promosi dan menarik minat pembaca.

Ketiga fungsi utama itu dipertegas dengan penempatan blurb yang terletak di bagian belakang kover buku. 

Posisi itu dipilih sebab dipandang strategis dan menyita perhatian pembeli. Tentu saja, hal itu sevisi dengan dibuatnya blurb yang bertujuan menarik perhatian (rasa penasaran yang membuncah) dan minat calon pembaca untuk memutuskan membeli buku tersebut. 

Bentuk dari blurb sendiri tidak dibuat secara suka-suka dan serampangan, melainkan ada teknik dan cara pembuatan yang konstan. Dari segi kebahasaan, pada umumnya blurb dibuat menggunakan bahasa yang singkat, padat dan berisi. Blurb dikemas dalam gaya bahasa persuasif dan provokatif. To the point dan tidak lebih dari tiga paragraf. 

Selian itu, di dalam blurb juga kerap menampilkan keterkaitan buku dengan isu-isu aktual, menampilkan kutipan ataupun bagian yang paling menarik dari isi buku dan menunjukkan sisi kelebihan buku. 

Semua yang termuat dalam blurb menentukan kesan pertama yang menggiring ketertarikan dan penasaran terhadap keseluruhan isi buku. Karena kepentingan marketing itu pula, wajib hukumnya seorang penulis yang hendak menerbitkan buku mencantumkan blurb. 

Jika dianalogikan dengan profesi kerja, maka blurb tidak jauh berbeda dengan resepsionis, yang banyak menentukan keputusan selanjutnya melalui kesan pertama.

Dari semua pemaparan di atas, kira-kira jenis marketing seperti apa yang telah Anda lakukan untuk menjual karya Anda?

Tulungagung, 25 Oktober 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun