Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Menguak Kelahiran SPL

26 September 2021   09:22 Diperbarui: 26 September 2021   09:38 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo organisasi Lentera (Dokumentasi Pribadi)

"Melupakan identitas diri sebagai seorang pembelajar yang harus terus berproses dan berkembang, adalah kelaliman diri yang kerapkali kita lakukan. Sementara memelihara rasa bodo amat adalah hobi baru kita di tengah gempuran zaman yang penuh keberapi-apian," Dewar Alhafiz.

**

Bulan keempat di 2019, tepatnya tanggal 19 April, saya berinisiatif membentuk salah satu grup WhatsApp yang berbasis literasi. Grup WhatsApp itu bernama Sahabat Pena Lentera. Grup WhatsApp yang kemudian familiar di telinga para penghuninya dengan akronim SPL. 

Begitu juga dalam tulisan ini, untuk mempermudah dan tidak terlalu belepotan dalam penyebutan nama grupnya maka saya akan menggunakan akronim SPL pada ulasan selanjutnya.

Secara nasabiah, kelahiran grup WhatsApp SPL ini tidak bersifat ujug-ujug terbentuk dengan sendirinya, melainkan ada latarbelakang dan ceruk alasan yang masih terngiang dalam benak saya. Keberadaan latarbelakang dan ceruk alasan itu setidaknya menjadi batu pijakan untuk menjelaskan seberapa jauh dan besar saya menaruh ekspektasi atas terbentuknya SPL.

Awal mula terbentuknya SPL dilatarbelakangi kuat oleh adanya kesadaran dan motif personal tatkala saya berkecimpung dalam organisasi yang bernama Lentera. Lentera adalah akronim dari kepanjangan Lintas Edukasi dan Kajian Seputar Rumah Tangga. Satu organisasi pra-nikah (21/11/2018) yang fokus menggembleng jiwa tandus--wawasan pengetahuan, cara pandang dan tujuan utama-- para jomblo untuk menyongsong kehidupan berumahtangga. 

Dalam sepak terjangnya, organisasi pra-nikah ini berkolaborasi dengan Puspaga (pusat perlindungan anak dan keluarga) dinas sosial kabupaten Tulungagung. Meski demikian, Lentera mendaulatkan diri sebagai organisasi yang independen, bukan lembaga swadaya masyarakat mau pun politik. 

Melalui kolaborasi itu, secara garis besar Lentera telah melakukan tiga agenda utama: menghelat program ESQ (Emotional and Spiritual Quotient) di beberapa sekolah dan kampus IAIN Tulungagung (sekarang: UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung/UIN SATU), melakukan kajian bulanan dan bedah buku. 

Dari ketiga agenda utama tersebut jika fokus pembahasan itu diakumulasikan ke dalam bentuk presentasi, maka 60 persen menyodorkan tentang kajian pra-nikah dan rumah tangga sementara sisanya berusaha menggali potensi diri. Menggali potensi diri dalam hal apa? Misalnya tentang public speaking, manajemen diri dan minat menggeluti literasi. Kebetulan, tatkala itu saya diamanahi sebagai koordinator bidang kajian. 

Melalui amanah itulah saya berusaha menawarkan berbagai macam program. Misalnya, diskusi tipis-tipis tentang hakikat cinta dan bahagia, hakikat berkeluarga hingga memahami hakikat diri sendiri sebelum memantaskan diri sebagai pendamping hidup untuk orang yang kita cinta. Sebagai realisasinya, kami (baca: saya dan teman-teman pengurus) sempat mengangkat judul diskusi Cinta dalam Pandangan Filsafat dan Tasawuf. 

Dalam kajian itu, saya menyuguhkan perihal cinta menurut Erick From, sementara mas Novel Nurkholis--yang sekarang mengabdikan diri sebagai ASN di salah satu sekolah Banyuwangi--menampilkan cinta dalam pandangan Khalil Gibran dan Maulana Jalaluddin Rumi. Pernah pula, di sesi pertemuan lain saya mengangkat tema diskusi tentang cinta versi tasawuf Emha Ainun Najib.

Lambat-laun, kajian itu tidak berhenti pada taraf diskusi dan sharing, melainkan terus melangkah hingga membedah suatu buku. Buku yang dibedah tentu yang usia kelahirannya (terbit) masih terbilang ranum dan kalau bisa memang teman saya sendiri. Ekka Zahra Puspita Dewi penulis buku berjudul The Puzzle of Life. Buku ranum mbak Ekka itulah yang kami kuliti, yang kebetulan pembedahnya tatkala itu adalah senior saya di pondok Panggung, mas Muhammad Fahrudin. Salah seorang dosen di kampus UIN SATU Tulungagung sekaligus penulis buku yang berjudul Tidak Ada Hasil yang Membohongi Proses. 

Seusai perhelatan bedah buku itulah batin dan pikiran saya bergejolak hebat, inisiatif untuk membentuk grup WhatsApp SPL itu benar-benar mencuat. Tidak hanya sampai di sana, bahkan ide itu terus terngiang-ngiang, meloncat-loncat, entah itu tatkala saya terjaga mau pun terpejam. Meletupnya ide itu pada kenyataannya mengantarkan saya untuk mendiskusikan persoalan tersebut di grup WhatsApp pengurus Lentera, hingga akhirnya usualan itu disetujui oleh banyak suara. 

Dalam proses diskusi, saya sempat memaparkan motif personal yang merangsang proses kelahiran SPL, di antaranya: pertama, ada kesadaran betapa pentingnya menggeluti literasi dalam tubuh organisasi. Terlebih jika kita mengamati bahwa determinasi kebudayaan organisasi memiliki orientasi oral, sistematisasi dan kecakapan sosial. Sementara untuk berhadapan langsung menuju dan dengan dunia yang lebih luas itu juga harus dibekali dengan kecakapan wawasan dan pengalaman dalam bidang literasi. 

Bukankah melalui kedisiplinan dalam literasi: tutur bahasa, runtutan berpikir dan logika dalam bercerita kita akan mudah dicerna oleh para pendengarnya? Dr. Ngainun Naim menegaskan bahwa seluruh pengalaman, pengetahuan dan pemikiran dalam benak kita tertata dalam bentuk cerita. Cerita yang tertulis membangkitkan imajinasi yang luar biasa. Tampak sederhana, namun sesungguhnya merangsang tampilnya hal luar biasa yang tak pernah terduga. Atas dasar itulah sudah seharusnya siginifikansi cerita yang berbentuk tulisan diimplementasikan penuh kesadaran dan disiplin dalam kehidupan umat manusia, (Aan Choirul Anam, ddk. 2020: iv).

Kedua, minimnya ghiroh menggeluti dunia literasi, utamanya dalam membaca. Satu fakta yang sungguh ironis adalah dari sekian banyak negara di belahan dunia, budaya membaca masyarakat Indonesia selalu tertengger pada bagian buncit. Lantas wajar jika negara kita selalu kalah dalam bersaing, sebab kualitas masyarakatnya saja masih sangat nyaman dalam zona minim membaca, (Abby Onety, dkk. 2017: iii). 

Bukan semata-mata mengambinghitamkan khalayak masyarakat, akan tetapi sikap minim dan ogah-ogahan membaca itu juga menjerat dunia pendidikan kita. Itu terbukti dengan membludaknya budaya copy paste, kehadiran broker (joki atau makelar jasa pengalihan tugas) dan pandangan yang praktis (bersekolah hanya sekadar mengejar ijazah). Serta yang paling menyeramkan, adalah pandangan yang memposisikan dunia pendidikan sebagai pencetak mesin kerja, bukan tempat memanusiakan manusia. George Herbert Mead menyebut posisi itu dengan objektivitas sistematis. Subjek yang terobjektifkan oleh sistem yang dibakukan oleh manusia itu sendiri.

Kengerian "tuna-membaca" tersebut setidaknya bisa sedikit diatasi dengan melakukan kajian dan diskusi yang rutin. Tentu dalam prosesnya tidak mengandalkan sekutu dan orang-orang tertentu yang dituakan, melainkan bersifat merangkul, memantik dan mendorong upaya meningkatkan potensi "haus membaca" itu secara personal lebih lanjut. Tidak sekadar berapi-api di tengah forum. 

Sedangkan yang terakhir, yakni ketiga, besar harapan saya grup WhatsApp berbasis literasi (yang kemudian bernama SPL) mampu mengasah potensi diri dan menghasilkan penulis handal. Dalam hal ini, saya mengekspektasikan implementasi itu dimulai dengan berbagi materi sebelum kajian, memberi tahu tentang topik apa yang hendak diwacanakan dan menyebarkan flayer terkait acara itu akan dihelat kapan. Anggap saja proses ini sebagai ajang prepare. Ancang-ancang sebelum menceburkan diri pada lugasnya satu pembahasan, sehingga ada bekal yang bisa didiskusikan. 

Selanjutnya, pada hari perhelatan acara saya membayangkan akan ada ritme tek-tok (sharing pandangan) yang berujung pangkal satu pemahaman final yang benar-benar mendewasakan, bukan baku hantam atau pun perselisihan. Sebagai bingkisan acara, masing-masing partisipan dianjurkan untuk membuat semacam kesan-pesan, review pembahasan atau mungkin pengalaman secara langsung. Dari hasil setiap pertemuan itulah saya mengasumsikan akan ada banyak buku antologi yang terlahir. 

Tentu semua pandangan itu adalah abstraksi awal yang begitu menggebu-gebu dan tampak sempurna. Belum lagi nanti ditambah dengan suntikan motivasi dari berbagai kalangan kolega yang menjadi bagian partisipan grup SPL, tak terkecuali sokongan dari para pengurus yang diberikan secara khusus. Das sein yang berpijak pada kerangka kerja kolaborasi itu begitu ideal di mata saya. 

Terlebih-lebih jika kita mengingat kerja kolaborasi dalam berkarya di zaman sekarang adalah jembatan terbaik untuk saling menyokong sekaligus merangkul. Tampaknya dalam hal ini saya setuju dengan pandangan Dr. Ngainun Naim mengenai kolaborasi yang bertujuan mengindentifikasi, menggali dan memberdayakan potensi diri. Asalkan kolaborasi itu dilakukan dengan catatan: selektif dalam memilih teman.

Teman yang kita pilih dalam kolaborasi juga turut menentukan bagaimana nasib, kualitas dan proses kemajuan. Sebab, dalam praktiknya tidak jarang kita temukan, bentuk semulanya kolaborasi namun pada akhirnya hanya sekadar mencari keuntungan secara sepihak. Salah satu pihak tidak bekerja secara profesional dan proporsional namun namanya minta dicantumkan, (Achamd Alex Abdul Halim, dkk. 2020: iii-iv).

Apa-apaan! Kasus seperti ini marak terjadi dalam hiruk-pikuk kualifikasi jurnal dan artikel ilmiah misalnya. Pencantuman nama itu dianggap penting sebab menyangkut kenaikan golongan pegawai dan jabatan. Sementara kita tahu, bahwa sebagian besar orang akan bersikap "ngotot" jika berhubungan dengan urusan uang.

Idealisme kolaboratif yang telah saya genggaman jauh-jauh hari itu, pada kenyataannya mendapatkan pembenaran yang absah dari buah pena Dr. Naim yang brjudul Menulis, Berkomunitas dan Berkarya dalam pengantar buku Membumikan Literasi Secuil Kontribusi untuk Memajukan Negeri terbitan Sahabat Pena Kita. 

Beliau menyebutkan bentuk transformasi daripada kolaborasi adalah membuat wadah. Wadah itu di zaman sekarang bisa dengan cara membuat grup di kanal media sosial yang digandrungi, tak terkecuali di grup WhatsApp misalnya. Melalui grup WhatsApp setidaknya ada tiga orientasi manfaat yang hendak dicapai: Sebagai media belajar, media melatih istikamah menulis dan sarana menulis sekaligus tunggangan untuk menerbitkan karya bersama, yang tidak menutup kemungkinan akan membantu kelahiran buku solo dari masing-masing anggotanya, (Achamd Alex Abdul Halim, dkk. 2020: iv-v).

Ketiga motif itu saya pikir sudah benar-benar matang digodok, sehingga layak untuk menjadi alasan utama yang cukup mengena--logis dan dapat diterima-- mengapa saya berinisiatif untuk membentuk grup WhatsApp bernama SPL. Grup literasi yang terlahir dari rahim grup Lentera. Alhasil fakta itu mau tidak mau menjadi satu ikatan paten, yang kemudian menjelma benang merah dalam mempersoalkan SPL. 

Dari semua proses yang telah dipaparkan di atas, saya sadar betul bahwa landasan inisiatif itu memang berangkat dari motif personal yang menggebu-gebu, meski demikian namun kehendak motif itu bukan berbicara banyak tentang monopoli kekuasaan dan politik personal, melainkan memiliki nafas-nafas panjang untuk kemaslahatan umat.

Bersambung...

Tulungagung, 26 September 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun