Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menyemai Hikmah dari Peroses Persalinan di Masa Pandemi

12 September 2021   08:16 Diperbarui: 12 September 2021   08:19 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Tepat di penghujung bulan Juli, paketan saya sampai di rumah Bulek (sebutan untuk Bibi di Jawa). Paketan itu berisi dua eksemplar buku, kiriman dari komunitas menulis oline Indonesia (KMOI). Kebetulan, paketan buku ini adalah buah dari jerih payah mengikuti pelatihan menulis di KMOI kurang lebih selama empat puluh tiga hari. 

Terhitung keterlibatan saya sebagai partisipan di KMO Club batch 33 mulai tanggal 16-28 April 2021, ditambah lagi dengan mengikuti tantangan sarapan kata (Sarkat) selama 30 hari secara berturut-turut.   

Tiga belas hari pertama berselang-seling, kami disuguhkan dengan berbagai materi yang diampu oleh narasumber super kece. Selebihnya, kami berusaha menulis mandiri sesuai dengan pilihan genre dan rancangan buku yang dicita-citakan. 

Sudah barang tentu proses menulis mandiri itu harus sesuai dengan materi yang telah diajarkan: mulai dari blurb, sinopsis, daftar isi, kata pengantar, sub pembahasan, daftar rujukan sampai dengan profil penulis. Belum lagi ditambah dengan segenap persyaratan yang telah dibakukan atasan (penjabat struktural KMOI).

Secara garis besar, terdapat dua jenis projek buku yang dicita-citakan. Pertama, setiap kelompok dituntut untuk membuat buku antologi. Sementara yang kedua, masing-masing kami diarahkan untuk membuat rancangan buku solo. Upaya untuk mewujudkan cita-cita melahirkan buku inilah yang kemudian saya sebut sebagai proses persalinan.

Penyebutan itu tentu bukan tanpa alasan, melainkan mempertimbangkan kebiasaan para penulis yang kerap menyebutkan dan memposisikan karyanya sebagai darah dagingnya sendiri, anak ideologi. Atas dasar itulah, maka di sini saya berusaha membakukan proses perjuangan mewujudkan terbitnya buku itu dengan proses persalinan. Sementara kalimat "di masa pandemi", tidak lain menunjukkan latar belakang waktu yang sedang terjadi tatkala penulisan buku.

Proses persalinan dalam konteks ini secara spesifik ditujukan pada penyusunan buku antologi yang berjudul Spice of Life. Bayi ranum yang berhasil lahir normal ke dunia dengan pertolongan dua bidan utama, yakni kelompok 27 dan 30. Kolaborasi dua kelompok dengan latar belakang nama dan penanggung jawab yang berbeda. 

Mulanya, kami--anggota kelompok 27 yang bernama Aksara Rasa--sepakat dan super optimist mampu menghasilkan buku antologi secara mandiri. Logika kerjanya sederhana, yakni menyeimbangkan antara batas minimal jumlah halaman, alokasi dana dan sumber daya anggota yang ada, sehingga hasil kerja kami tidak harus digabungkan dengan hasil keringat kelompok lain. Setidaknya logika itu menempatkan sami'na wa atho'na kami terhadap peraturan yang berlaku bukan tanpa alasan.

Pada kenyataannya ekspektasi itu kandas begitu saja tatkala dua-tiga orang anggota kelompok kami memutuskan untuk rise hand. Walk out sebelum tantangan Sarkat terselesaikan. Kesibukan kerja, ketidakmampuan manajemen waktu dan sakit lama yang kembali kambuh menjadi alasan utamanya. Alhasil, mau tidak mau, kami harus menghentikan sikap kemrungsung untuk mengerjakan sendiri. 

Keadaan tersebut dengan jelas mengkategorikan kami ke dalam posisi tabdir madzmum. Tabdir madzmum di sini berarti memaknai jalannya kehidupan semata-mata atas dasar kerja keras yang disertai dengan sikap ngoyo, ngotot dan terkadang malah nggege mangsa, mendahului waktu yang seharusnya. 

Jenis tabdir yang disertai sikap kemrungsung cenderung mengutamakan ingin sesegera mungkin melihat hasil tanpa dibarengi dengan kapasitas kemampuan dan batas maksimal tenaga yang kita miliki. Sebagai akibatnya, sikap ini hanya akan membuat kita selalu berada pada posisi tekanan mental. Keadaan itu sama sekali tidak baik untuk kesehatan diri kita, terlebih lagi tidak sopan atau beradab terhadap Tuhan, (Ulil Abshar Abdalla, 2021: 26).

Berkaitan erat dengan hal ini, lebih jauh Gus Ulil (Sapaan akrab untuk Gus Ulil Abshar Abdalla) mengutip perkataan tokoh sufi Baghdad, Ahmad Ibnu Masruq (w. 910 M): "Man taraka al-tabdir fahuwa fi rahah", (Barang siapa meninggalkan tabdir, usaha, dia akan tenang, tidak mengalami tekanan). Tentu, tabdir yang dimaksud di sana adalah tabdir yag bersifat tercela (madzmum). Dan itu bukan soal fatilistik.

Karena alasan menyebabkan tekanan batin yang berkepanjangan itulah kenapa kita harus meninggalkan sikap tabdir madzmum. Berbeda halnya dengan tabdir mubah dalam konteks bidang keduniawian. Seperti mencari nafkah untuk memenuhi hajat hidup diri sendiri atau pun keluarga, tentu ini adalah bentuk ikhtiar yang diperbolehkan. 

Tendensi tabdir madzmum yang dibarengi sikap kemrungsung dalam diri manusia--yang orang modern menyebutkannya dengan istilah sindrom mental atau dalam bahasa Gus Ulil disebut dengan "promethean syndrome"-- sejatinya sedikit banyak disokong oleh revolusioner sains dan teknologi yang kian mutakhir dan dahsyat, sehingga manusia selalu memposisikan diri sebagai the creator of his/her own destiny. 

Ada keakuan yang menjadikan dia merasa bisa menciptakan takdir dan nasibnya sendiri sesuka hati. Sak karepe dewek, kalau orang Jawa menyebutkan.

Pemahaman orang modern yang promethean tidak sepenuhnya salah, sebab salah satu tugas manusia yang telah dianugerahi akal dan hati adalah ikhtiar. Sehingga, etisnya manusia menjadi subjek yang berkehendak dalam bertindak dan mengubah sesuatu. 

Akan tetapi, sadar atau pun tidak, terkadang sekuat-kuatnya ikhtiar yang kita lakukan kerap bertabrakan dengan kondisi luaran (dalam bahasa kerennya externalities) yang secara keseluruhan tidak pernah mampu kita kontrol. Seperti halnya contoh kasus dalam persalinan buku antologi Spice of Life yang telah disinggung di atas.

Dari sana setidaknya kita bisa mengambil simpulan, bahwa sekeras apa pun ikhtiar kita: bertindak dan mengubah sesuatu tetap saja ada kondisi luaran yang bersifat given, terberi yang telah ada sejak awal dan kita tidak pernah bisa mengendalikan sepenuhnya. 

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita bersikap tawaduk, berpikir realistis, tidak membabi buta dalam bertindak dan super-optimist. Optimisme itu harus, namun harus berjalan dengan penuh kehati-hatian. Dalam artian tidak melampaui batas kewajaran sebagai makhluk, dan kebablasan.

Ibnu 'Atha'illah dalam karya magnum opusnya, kitab Hikam, menyatakan: "Sawaabiq al-himami laa takhriqu aswaara al-aqdaari", (Ketetapan hatimu untuk mengubah sesuatu tetap tak akan bisa mengubah takdir). 

Sementara Gus Ulil menerjemahkan aforisme indah itu dengan: "Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa melubangi atau menembus tembok-tembok kepastian (takdir) yang sudah ditentukan Tuhan," (Ulil Abshar Abdalla, 2021: 15-16).

Semua persoalan yang telah diuraikan di atas tentu bukan semata-mata mengutamakan perspektif "tradisional" agama, melainkan mengajarkan kepada kita untuk lebih baik lagi dalam memaknai dan menjalani hidup. Optimisme dengan penuh kehati-hatian dalam berikhtiar dan bersikap sumeleh, setidaknya bisa menyehatkan cara berpikir dan jiwa kita.

Tulungagung, 2 September 2021

Sumber: Ulil Abshar Abdalla, Menjadi Manusia Rohani, cet. ke-5, (Bekasi: Alifbook, 2021). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun