Berkaitan erat dengan hal ini, lebih jauh Gus Ulil (Sapaan akrab untuk Gus Ulil Abshar Abdalla) mengutip perkataan tokoh sufi Baghdad, Ahmad Ibnu Masruq (w. 910 M): "Man taraka al-tabdir fahuwa fi rahah", (Barang siapa meninggalkan tabdir, usaha, dia akan tenang, tidak mengalami tekanan). Tentu, tabdir yang dimaksud di sana adalah tabdir yag bersifat tercela (madzmum). Dan itu bukan soal fatilistik.
Karena alasan menyebabkan tekanan batin yang berkepanjangan itulah kenapa kita harus meninggalkan sikap tabdir madzmum. Berbeda halnya dengan tabdir mubah dalam konteks bidang keduniawian. Seperti mencari nafkah untuk memenuhi hajat hidup diri sendiri atau pun keluarga, tentu ini adalah bentuk ikhtiar yang diperbolehkan.Â
Tendensi tabdir madzmum yang dibarengi sikap kemrungsung dalam diri manusia--yang orang modern menyebutkannya dengan istilah sindrom mental atau dalam bahasa Gus Ulil disebut dengan "promethean syndrome"-- sejatinya sedikit banyak disokong oleh revolusioner sains dan teknologi yang kian mutakhir dan dahsyat, sehingga manusia selalu memposisikan diri sebagai the creator of his/her own destiny.Â
Ada keakuan yang menjadikan dia merasa bisa menciptakan takdir dan nasibnya sendiri sesuka hati. Sak karepe dewek, kalau orang Jawa menyebutkan.
Pemahaman orang modern yang promethean tidak sepenuhnya salah, sebab salah satu tugas manusia yang telah dianugerahi akal dan hati adalah ikhtiar. Sehingga, etisnya manusia menjadi subjek yang berkehendak dalam bertindak dan mengubah sesuatu.Â
Akan tetapi, sadar atau pun tidak, terkadang sekuat-kuatnya ikhtiar yang kita lakukan kerap bertabrakan dengan kondisi luaran (dalam bahasa kerennya externalities) yang secara keseluruhan tidak pernah mampu kita kontrol. Seperti halnya contoh kasus dalam persalinan buku antologi Spice of Life yang telah disinggung di atas.
Dari sana setidaknya kita bisa mengambil simpulan, bahwa sekeras apa pun ikhtiar kita: bertindak dan mengubah sesuatu tetap saja ada kondisi luaran yang bersifat given, terberi yang telah ada sejak awal dan kita tidak pernah bisa mengendalikan sepenuhnya.Â
Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita bersikap tawaduk, berpikir realistis, tidak membabi buta dalam bertindak dan super-optimist. Optimisme itu harus, namun harus berjalan dengan penuh kehati-hatian. Dalam artian tidak melampaui batas kewajaran sebagai makhluk, dan kebablasan.
Ibnu 'Atha'illah dalam karya magnum opusnya, kitab Hikam, menyatakan: "Sawaabiq al-himami laa takhriqu aswaara al-aqdaari", (Ketetapan hatimu untuk mengubah sesuatu tetap tak akan bisa mengubah takdir).Â
Sementara Gus Ulil menerjemahkan aforisme indah itu dengan: "Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa melubangi atau menembus tembok-tembok kepastian (takdir) yang sudah ditentukan Tuhan," (Ulil Abshar Abdalla, 2021: 15-16).
Semua persoalan yang telah diuraikan di atas tentu bukan semata-mata mengutamakan perspektif "tradisional" agama, melainkan mengajarkan kepada kita untuk lebih baik lagi dalam memaknai dan menjalani hidup. Optimisme dengan penuh kehati-hatian dalam berikhtiar dan bersikap sumeleh, setidaknya bisa menyehatkan cara berpikir dan jiwa kita.