Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tradisi Malam Tirakatan (Refleksi Menyongsong Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-76)

20 Agustus 2021   14:16 Diperbarui: 20 Agustus 2021   14:29 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

"Tradisi malam tirakatan tak ubahnya seperti alarm yang mengingatkan kita akan  penghormatan, manunggalung kawula gusti dan sangkan paraning dumadi", Dewar Alhafiz.

Penegasan Identitas dan Tradisi

Kurang lebih empat tahun saya menjadi penghuni indekos di desa Tanjungsari kecamatan Boyolangu, semenjak itu pula saya sedikit agak rajin menginjakan kaki ke masjid. Entah itu "membersihkan diri" ataupun sekadar untuk mencuci kaki. Terlebih jika sanyo di kos-kosan "sakitnya kambuh kembali" (red: masuk angin).

Masjid At-Taqwa adalah satu-satunya masjid terdekat dari kosan saya. Masjid yang ukurannya terbilang ciut dan luasnya seperti musala akan tetapi khalayak umum serempak "ngotot" menyebutkannya dengan nama yang sama, masjid.

Pernah satu ketika saat saya membayar uang bulanan kos, salah seorang yang dituakan di masjid At-Taqwa itu (red: imam) menceritakan tentang bagaimana sejarah masjid itu bisa berdiri. Disebutkan, masjid itu dibangun atas dasar usulan dari salah seorang dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU) dengan berbagai pertimbangan: Posisi masjid lain yang jauh dari segala arah, masyarakat yang membutuhkannya dan demi kemaslahatan umat.

Usulan itu pun disambut hangat oleh para warga yang ikut nimbrung dalam acara rembukkan bersama. Lantas salah seorang warga yang ringan tangan mewakafkan tanah yang posisinya dekat dengan jalan raya. Tak lama kemudian, sekitar tahun dua ribuan masjid itu berhasil berdiri dengan alokasi dana swadaya.

Setelah sedikit banyak mengetahui sejarah berdirinya masjid dan segenap fakta yang menyelimutinya, lambat laun saya pun dibuat kagum dengan konsistensi pengelola masjid dalam menghelat agenda acara. Baik itu agenda acara dalam rangka memperingati hari besar Islam (PHBI) ataupun peringatan hari besar nasional (PHBN). Tak terkecuali agenda acara malam tirakatan menyongsong  hari kemerdekaan kemarin.

Satu hari menjelang acara bahkan ketua DKM masjid At-Taqwa telah berkali-kali mengumumkan bagaimana gambaran agenda itu akan dihelat sekaligus "tetek bengek" (dalam bahasa Sunda, red: perlengkapan) apa saja yang harus dibawa jemaah dan warga.

Sebutan jemaah dan warga sengaja saya bedakan, mengingat tidak semua jemaah masjid di sana murni warga sekitar. Serta ada pula beberapa warga sekitar yang memang baru berani menampakkan batang hidungnya hanya tatkala dihelatnya acara-acara besar. Tentu kedua istilah itu berhubungan intim dengan intensitas, identitas dan rutinitas sehari-hari yang dilanggengkan. Jadi di sini kita perlu penegasan istilah untuk memperjelas perbedaan itu.

Uniknya, tradisi memperingati kedua hari besar itu selalu disajikan dengan media yang sama: Istighosah. Ya, Istighosah menjadi menu favorit yang kerap kali disuguhkan kepada para jemaah. Bahkan kefavoritan itu dirawat dengan sangat baik, sebaik bagaimana kebakuan dan kerapian rangkaian do'a Istighosah itu dibukukan. Seingat saya, buku pedoman istighosah itu bersampul hijau muda. Jika tidak dipakai, saya ingat persis, buku itu diletakkan di atas jeruji monitor cctv.

Ohya, cctv wa ahwatuha itu baru dipasang sekitar dua tahun belakangan ini, setelah kotak amal di dalam masjid raib digondol maling. Kejadian itu terjadi setelah jendela kecil yang terletak persis di samping mimbar dijebol paksa dari luar oleh sang maling.

Selain menggunakan media yang sama, keunikan lain yang saya sukai dari segenap seremonial yang dihelat di masjid itu, adalah konsistensinya dalam menginstruksikan jemaah untuk memeriahkan acara dengan membawa takiran. Kebiasaan yang berlaku, setiap jemaah akan membawa empat sampai lima wadah takiran.

Takiran itu dikemas dengan wadah yang rupa-rupa. Tentu sesuai dengan kemampuan ekonomi, niat awal dan kebiasaan yang kerap kali dilihatnya. Ada yang menggunakan besek plastik, baskom kecil, kadus ala-ala KFC, sampai dengan kotak nasi praktis yang berbahan dasar plastik dan styrofoam.

Sementara menu makanan yang disajikan di dalamnya hampir bisa ditebak. Nasi putih terkadang nasi uduk, bakmie goreng, serundeng kelapa, kacang goreng, sambal campuran kentang, tahu dan tempe, serta lauk pauknya: ayam (lodho, goreng atau kentucky) maupun diganti dengan telur dadar goreng. Terkadang ada pula oseng-oseng buncis ataupun urap sayur.

Mengulik Tranformasi Tradisi Lintas Zaman

Transformasi wadah dan menu makanan takiran itu tentu disesuaikan dengan kondisi zaman. Meskipun pada kenyataannya perubahan itu juga menampilkan dua sisi yang berbeda: dampak positif dan negatif yang mungkin dituai dalam waktu yang sama.

Perubahan wadah takiran yang semakin praktis di zaman sekarang itu merepresentasikan cara pikir khalayak umum yang semakin praksis. Tidak mau ribet dan lebih suka yang serba instan. Berbeda dengan cara pandang orang-orang di masa silam yang selalu memposisikan setiap proses takiran itu penuh dengan penghayatan dan kesadaran akan dampaknya terhadap kehidupan.

Hal itu dibuktikan dengan pemilihan wadah takiran masa silam yang terbuat dari daun pisang atau lontar dan tusuk yang terbuat dari bambu atau lidi yang lebih ramah lingkungan. Dalam tradisi masyarakat Sunda, tradisi takiran itu dahulu lebih cenderung menggunakan pipiti (besek yang terbuat dari anyaman bambu).

Faktor ramah terhadap lingkungan inilah yang sekarang jarang diperhatikan khalayak umum tatkala memilih wadah untuk takiran. Tentu, keputusan dan sikap yang "tidak mau ribet" ini sangat disayangkan sekaligus membahayakan. Terlebih lagi, dampaknya adalah penumpukan sampah yang sulit diuraikan meskipun berjuta tahun lamanya. Daur ulang semua wadah bekas takiran yang tidak terpakai adalah solusinya.

Sedangkan perubahan menu yang dihidangkan disesuaikan dengan gaya konsumtif yang kian "ogah-ogahan". Tidak menutup kemungkinan ada rasa gengsi dan mengutamakan kepantasan menu yang hendak dihidangkan. Dan itu menjadi standarisasi (tolak ukur) apa yang kerap kali kita sebut sebagai batas wajar dalam kelumrahan.

Kelumrahan itu lambat-laun menjadi tradisi yang dilanggengkan. Siapa pun yang tak memenuhi batas wajar kelumrahan, seakan-akan ada persepsi lebih baik diam sembari menelan ludah daripada tenggelam dalam kemaluan yang keterlaluan. Terkecuali saya yang lebih kerap hampa tangan tatkala datang, pulang membawa bingkisan. Sebagai anak kos-kosan memang saya harus pandai menebalkan rasa malu daripada kelaparan. Dasar si Aku yang tak tahu malu!

Mengulas Jejak Ingatan Masa KKN

Tradisi malam tirakatan menyongsong hari kemerdekaan ini saya temukan pula di kota Patria, Blitar. Tatkala itu-di tahun 2016- saya kuliah kerja nyata (KKN) di dusun Lorejo desa Bakung kecamatan Bakung kabupaten Blitar dan sempat merasakan bagaimana masyarakat sekitar melestarikan malam tirakatan.

Uniknya tradisi malam tirakatan di sana dihelat dengan kemeriahan yang gegap-gempita dan penuh euforia. Bahkan acara itu digelar dengan wajah kultural yang telah mendarah daging pada masyarakatnya: antara menampilkan tradisi takiran versi islam dan keyakinan kejawen yang kental. Lantas pandangan saya yang awam, seakan-akan mereka sedang menampilkan dua seremonial yang dibungkus dalam satu acara.

Seingat saya, acara itu dihelat di pelataran kantor desa. Tokoh-tokoh yang dituakan (sesepuh, pinisepuh, tokoh agama dan aparatur pemerintah desa) berkumpul menjadi satu di sana. Khalayak ramai duduk melingkari menu makanan yang disajikan di pusatnya. Yang membedakan, para tokoh yang dituakan menduduki posisi terdepan, sementara masyarakat biasa berada di bagian terluar dari lingkaran dan yang kesekian. Jika digambarkan, posisi itu persis mengikuti pola spiral.

Seperti agenda acara pada umumnya, setiap tahap perhelatan itu dibimbing oleh seorang yang bijak mengatur waktu. Dimulai dengan beberapa sambutan dari para tokoh yang dituakan, mengulas babad perjuangan kemerdekaan, pemotongan tumpeng, mengheningkan cipta, pembacaan do'a dan dipungkas dengan ramah-tamah.

Uniknya, pengulasan babad perjuangan kemerdekaan Indonesia itu disampaikan oleh pinisepuh spiritual di sana. Sehingga yang disampaikan kepada khayalak bukan semata-mata sejarah pada umumnya, melainkan juga disisipkan makna filosofis dan nilai-nilai spiritualitas daripada arti hakikat perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Hakikat perjuangan kemerdekaan itu sendiri sejatinya tidak berhenti dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan dari penjajah Belanda, melainkan harus diinternalisasikan pula ke dalam setiap diri masing-masing kita. Merdeka melawan bayang-bayang ego pribadi demi kepentingan bersama serta bebas dari kekang ketertindasan, suci dalam pikiran, pekataan dan perbuatan tentu lebih utama.

Masalahnya, belum tentu setiap orang benar-benar mau menginternalisasikan arti merdeka sebagai falsafah hidupnya atau bahkan terjebak zona nyaman yang membuat dirinya enggan merdeka, yang demikian itu sudah barang tentu dalam konteks ini perjuangan dirinya berlipat ganda.

Hal ini berkaitan erat dengan ultimatum yang telah ditandaskan oleh Bung Karno, "Perjuanganku masih mudah karena melawan bangsa asing, sementara kalian harus bejuang kalian lebih berat karena melawan bangsa sendiri".

Itu artinya, hakikat kemenangan dalam kemerdekaan Indonesia harus menyentuh makna dasar dan spirit yang beririsan di antara dua  kutub dalam kehidupan umat manusia: makro kosmos dan mikro kosmos. Harus ada harmonisasi yang menyatakan keterhubungan antara keduanya.

Singkatnya penjelasan menggunakan sudut pandang spiritualitas itu mengalami dialektika simbolis dengan menu makanan yang disajikan di sana. Tidak tanggung-tanggung, pinisepuh spiritual itu hampir-hampir menjelaskan satu persatu keterkaitan makna simbolik yang terkandung dalam menu makanan itu. Lebih tepatnya, hal itu ditegaskan dalam bahasa kromo-inggil yang artinya saya tidak begitu paham apa maksudnya.

Keunikan lainnya tampak pula tatkala berdo'a, di mana do'a tersebut dipanjatkan dengan dua versi. Versi Islam yang menggunakan bahasa Arab dan keyakinan kejawen yang menggunakan bahasa Jawa. Tentu bukan perbedaan lantunan do'a itu yang hendak dihakimi dan ditampilkan ke muka, melainkan bhinneka tunggal Ika yang menjelma kesadaran kesatuanlah yang menjadi hikmahnya.

Sedangkal pengamatan saya, dari sana kita bisa memahami bahwa untuk mencapai kemerdekaan itu sejatinya masyarakat Indonesia tidak sekadar mengandalkan pengorbanan jiwa dan raga, melainkan dalam perjuangannya harus melibatkan pula restu tatanan alam semesta dan sang pencipta.

Sebagai umat yang beragama, tentu masyarakat Indonesia yakin bahwa tidak ada kemenangan yang manis dari perjuangannya selain berpijak pada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Peperangan gerilya itu berhasil atas dasar sokongan kekuatan besar dari pemilik segala maha.

Sampai di sini, pada akhirnya saya berani mengasumsikan, bahwa seluruh masyarakat Indonesia -khususnya pulau Jawa- memiliki tradisi masing-masing dalam menghidupkan malam tirakatan menyongsong ulang tahun hari kemerdekaan tiba. Saya yakin, masing-masing daerah memiliki tradisi yang menyimpan banyak cerita dan filosofis yang penuh makna.

Nah, di atas itu sepenggal cerita saya tentang bagaimana tradisi malam tirakatan menyongsong hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-76 di pulau Jawa. Lalu mana cerita Anda?

Tertanda, pejuang kemerdekaan cinta.
Tulungagung, 16-20 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun