Uniknya tradisi malam tirakatan di sana dihelat dengan kemeriahan yang gegap-gempita dan penuh euforia. Bahkan acara itu digelar dengan wajah kultural yang telah mendarah daging pada masyarakatnya: antara menampilkan tradisi takiran versi islam dan keyakinan kejawen yang kental. Lantas pandangan saya yang awam, seakan-akan mereka sedang menampilkan dua seremonial yang dibungkus dalam satu acara.
Seingat saya, acara itu dihelat di pelataran kantor desa. Tokoh-tokoh yang dituakan (sesepuh, pinisepuh, tokoh agama dan aparatur pemerintah desa) berkumpul menjadi satu di sana. Khalayak ramai duduk melingkari menu makanan yang disajikan di pusatnya. Yang membedakan, para tokoh yang dituakan menduduki posisi terdepan, sementara masyarakat biasa berada di bagian terluar dari lingkaran dan yang kesekian. Jika digambarkan, posisi itu persis mengikuti pola spiral.
Seperti agenda acara pada umumnya, setiap tahap perhelatan itu dibimbing oleh seorang yang bijak mengatur waktu. Dimulai dengan beberapa sambutan dari para tokoh yang dituakan, mengulas babad perjuangan kemerdekaan, pemotongan tumpeng, mengheningkan cipta, pembacaan do'a dan dipungkas dengan ramah-tamah.
Uniknya, pengulasan babad perjuangan kemerdekaan Indonesia itu disampaikan oleh pinisepuh spiritual di sana. Sehingga yang disampaikan kepada khayalak bukan semata-mata sejarah pada umumnya, melainkan juga disisipkan makna filosofis dan nilai-nilai spiritualitas daripada arti hakikat perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Hakikat perjuangan kemerdekaan itu sendiri sejatinya tidak berhenti dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan dari penjajah Belanda, melainkan harus diinternalisasikan pula ke dalam setiap diri masing-masing kita. Merdeka melawan bayang-bayang ego pribadi demi kepentingan bersama serta bebas dari kekang ketertindasan, suci dalam pikiran, pekataan dan perbuatan tentu lebih utama.
Masalahnya, belum tentu setiap orang benar-benar mau menginternalisasikan arti merdeka sebagai falsafah hidupnya atau bahkan terjebak zona nyaman yang membuat dirinya enggan merdeka, yang demikian itu sudah barang tentu dalam konteks ini perjuangan dirinya berlipat ganda.
Hal ini berkaitan erat dengan ultimatum yang telah ditandaskan oleh Bung Karno, "Perjuanganku masih mudah karena melawan bangsa asing, sementara kalian harus bejuang kalian lebih berat karena melawan bangsa sendiri".
Itu artinya, hakikat kemenangan dalam kemerdekaan Indonesia harus menyentuh makna dasar dan spirit yang beririsan di antara dua  kutub dalam kehidupan umat manusia: makro kosmos dan mikro kosmos. Harus ada harmonisasi yang menyatakan keterhubungan antara keduanya.
Singkatnya penjelasan menggunakan sudut pandang spiritualitas itu mengalami dialektika simbolis dengan menu makanan yang disajikan di sana. Tidak tanggung-tanggung, pinisepuh spiritual itu hampir-hampir menjelaskan satu persatu keterkaitan makna simbolik yang terkandung dalam menu makanan itu. Lebih tepatnya, hal itu ditegaskan dalam bahasa kromo-inggil yang artinya saya tidak begitu paham apa maksudnya.
Keunikan lainnya tampak pula tatkala berdo'a, di mana do'a tersebut dipanjatkan dengan dua versi. Versi Islam yang menggunakan bahasa Arab dan keyakinan kejawen yang menggunakan bahasa Jawa. Tentu bukan perbedaan lantunan do'a itu yang hendak dihakimi dan ditampilkan ke muka, melainkan bhinneka tunggal Ika yang menjelma kesadaran kesatuanlah yang menjadi hikmahnya.
Sedangkal pengamatan saya, dari sana kita bisa memahami bahwa untuk mencapai kemerdekaan itu sejatinya masyarakat Indonesia tidak sekadar mengandalkan pengorbanan jiwa dan raga, melainkan dalam perjuangannya harus melibatkan pula restu tatanan alam semesta dan sang pencipta.