Takiran itu dikemas dengan wadah yang rupa-rupa. Tentu sesuai dengan kemampuan ekonomi, niat awal dan kebiasaan yang kerap kali dilihatnya. Ada yang menggunakan besek plastik, baskom kecil, kadus ala-ala KFC, sampai dengan kotak nasi praktis yang berbahan dasar plastik dan styrofoam.
Sementara menu makanan yang disajikan di dalamnya hampir bisa ditebak. Nasi putih terkadang nasi uduk, bakmie goreng, serundeng kelapa, kacang goreng, sambal campuran kentang, tahu dan tempe, serta lauk pauknya: ayam (lodho, goreng atau kentucky) maupun diganti dengan telur dadar goreng. Terkadang ada pula oseng-oseng buncis ataupun urap sayur.
Mengulik Tranformasi Tradisi Lintas Zaman
Transformasi wadah dan menu makanan takiran itu tentu disesuaikan dengan kondisi zaman. Meskipun pada kenyataannya perubahan itu juga menampilkan dua sisi yang berbeda: dampak positif dan negatif yang mungkin dituai dalam waktu yang sama.
Perubahan wadah takiran yang semakin praktis di zaman sekarang itu merepresentasikan cara pikir khalayak umum yang semakin praksis. Tidak mau ribet dan lebih suka yang serba instan. Berbeda dengan cara pandang orang-orang di masa silam yang selalu memposisikan setiap proses takiran itu penuh dengan penghayatan dan kesadaran akan dampaknya terhadap kehidupan.
Hal itu dibuktikan dengan pemilihan wadah takiran masa silam yang terbuat dari daun pisang atau lontar dan tusuk yang terbuat dari bambu atau lidi yang lebih ramah lingkungan. Dalam tradisi masyarakat Sunda, tradisi takiran itu dahulu lebih cenderung menggunakan pipiti (besek yang terbuat dari anyaman bambu).
Faktor ramah terhadap lingkungan inilah yang sekarang jarang diperhatikan khalayak umum tatkala memilih wadah untuk takiran. Tentu, keputusan dan sikap yang "tidak mau ribet" ini sangat disayangkan sekaligus membahayakan. Terlebih lagi, dampaknya adalah penumpukan sampah yang sulit diuraikan meskipun berjuta tahun lamanya. Daur ulang semua wadah bekas takiran yang tidak terpakai adalah solusinya.
Sedangkan perubahan menu yang dihidangkan disesuaikan dengan gaya konsumtif yang kian "ogah-ogahan". Tidak menutup kemungkinan ada rasa gengsi dan mengutamakan kepantasan menu yang hendak dihidangkan. Dan itu menjadi standarisasi (tolak ukur) apa yang kerap kali kita sebut sebagai batas wajar dalam kelumrahan.
Kelumrahan itu lambat-laun menjadi tradisi yang dilanggengkan. Siapa pun yang tak memenuhi batas wajar kelumrahan, seakan-akan ada persepsi lebih baik diam sembari menelan ludah daripada tenggelam dalam kemaluan yang keterlaluan. Terkecuali saya yang lebih kerap hampa tangan tatkala datang, pulang membawa bingkisan. Sebagai anak kos-kosan memang saya harus pandai menebalkan rasa malu daripada kelaparan. Dasar si Aku yang tak tahu malu!
Mengulas Jejak Ingatan Masa KKN
Tradisi malam tirakatan menyongsong hari kemerdekaan ini saya temukan pula di kota Patria, Blitar. Tatkala itu-di tahun 2016- saya kuliah kerja nyata (KKN) di dusun Lorejo desa Bakung kecamatan Bakung kabupaten Blitar dan sempat merasakan bagaimana masyarakat sekitar melestarikan malam tirakatan.