Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dari Penempaan Diri Hingga Menjadi Pribadi yang Tangguh (Refleksi Memperingati HUT Pramuka ke-60)

15 Agustus 2021   12:21 Diperbarui: 15 Agustus 2021   12:25 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Tidak ada pengalaman yang benar-benar berlalu begitu saja, semua proses itu turut membentuk kita," Dewar Alhafiz.

Memperingati hari kelahiran Pramuka ke-60 mengingatkan getolnya saya menyisihkan waktu pada masa putih biru dan putih abu-abu dahulu kala. 

Kala itu Pramuka adalah salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh seluruh siswa tanpa terkecuali. Baik siswa yang bermukim di pondok pesantren ataupun mereka yang berstatus pelajar PP (pergi-pulang) alias anak rumahan. "Didugdag", istilah orang Sunda menyebutkan.

Dari dua kategori tersebut saya tergolong sebagai anak rumahan tanpa ingusan. Salah seorang siswa yang tidak bermukim di pondok pesantren yayasan. Karena alasan itu pula, maka setiap hari saya menuju ke sekolah dengan berjalan kaki. Kurang lebih 3-4 km saya harus menyusuri jalan setiap harinya. 

Rute jalan yang ditempuh dengan berjalan kaki itu pun tidak semulus yang dipikirkan. Terlebih, saya suka mengambil jalan pintas yang sepi dari lalu lalang orang dan kendaraan.

Sekitar tiga puluh menitan saya harus menempuh perjalanan. Itu pun melintasi jalan terjal yang berkelok, naik-turun dan terkadang mengalami perubahan dari segi permukaan jalan. Maklum saja jalan yang saya lalui itu berbeda-beda, dari jalan yang paling keren: makadam, jalan perkebunan hingga pematang persawahan. 

Jika pergantian musim tiba, dari kemarau panjang menjadi musim penghujan, beuuuhhhh.. kondisi jalan sangat mencekam. Apalagi jika memperhatikan sepatu yang saya gunakan, jangan bertanya masalah rupa!

Ohya, tatkala itu saya belum sempat mendengar perjuangan pilu Pak Dahlan Iskan tentang kisahnya menuju sekolah tanpa sepatu. Tidak pula sempat mengetahui terjalnya kehidupan dan masa-masa sekolah orang pertama di Jawa Tengah, Pak Ganjar Pranowo. Ataupun tidak juga menggali-gali rekam jejak Chairul Tanjung yang belakangan namanya meledak dengan titel Si Anak Singkong. 

Satu titel yang beliau dapatkan setelah berhasil menjadi orang top di Indonesia. Menjabat Menko Perekonomian menggantikan Hatta Rajasa pada tahun 2014, termasuk salah satu pengusaha sukses di Indonesia dan menyandang gelar pendidikan tertinggi, profesor. 

Disebutkan, khalayak ramai mengenal beliau sebagai pengusaha sukses yang memimpin CT Corp.  Akan tetapi, bukan hanya itu perusahaan yang berhasil beliau kembangkan, melainkan ada Trans TV, Trans Corp, Trans Media hingga Detik Network. Yang terpenting dari itu semua, beliau ayahnya Putri Tanjung. 

Coba siapa gerangan yang tidak mengenal Putri Tanjung? Salah satu staf khusus presiden termuda dari generasi milenial yang belakangan juga kerap menjadi 'penjaga gawang' di kanal YouTube CXO Media. Selain sebagai pengusaha, ia juga memiliki kanal YouTube pribadi dengan nama asli Putri Tanjung.

Berbeda jauh dengan latar belakang pendidikan Putri Tanjung, kala itu saya bersekolah dari jenjang sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas di satu tempat yang sama, pada satu yayasan pendidikan Islam swasta. Yayasan pendidikan Sabilurrosyad khalayak ramai menyebutkannya. Yayasan ini menaungi Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan pondok pesantren. 

Yang melekat dalam ingat saya, yayasan ini adalah satu-satunya sekolah yang dekat dengan rumah saya. Mungkin itu pula yang menjadi salah satu alasan kenapa saya disekolahkan di sana. Tentu saja itu alasan lainnya setelah urusan ekonomi yang menjadi faktor utama.

Bak tak mengenal lelah. Di kala hari Jumat tiba, biasanya saya pulang ke rumah guna menunaikan salat Jumat di masjid Al-Falah. Satu-satunya masjid di kampung saya. Pikir saya, alokasi waktu dua setengah jam cukup untuk menempuh perjalanan pulang, mandi, salat, makan siang dan kembali lagi ke sekolah. Akan tetapi pada kenyataannya waktu itu terbilang mepet; antara cukup dan tidak. Bahkan belakangan--setelah kerap mendapat hukuman dari kakak Bantara-- saya menjadi tahu bahwa alokasi waktu itu benar-benar sangat tidak memungkinkan dan cukup menyiksa. 

Betapapun keadaannya selalu menempatkan saya di deret kawanan orang yang kena hukuman, namun intensitas saya mengikuti kegiatan Pramuka tetap bersehaja. Push up dan berjemur sudah menjadi menu utama. Bahkan, kopi pahit beberapa kali sempat saya dapatkan di hari Sabtu sekolah jika kebetulan saya bolos tidak mengikuti kegiatan Pramuka. Dibentak, dimaki-maki dan tertekan mental sudah menjadi lalapan. 

Dahulu memang citra dunia pramuka begitu sangar. Kesangaran itu sengaja dibentuk para senior untuk menegakkan kedisiplinan dalam setiap pribadi anggota yang tergabung di dalamnya. Tidak hanya itu, bahkan aura sangar tersebut bertambah kental dengan tampang kakak senior yang kerap menggunakan cela hitam yang menempel di antara dua kantung mata mereka. Tak jarang pula, dengan sengaja suara mereka dibuat berat dan keras hingga siapapun orang yang mendengarnya merasa tertekan dan bergidik.

Sependek ingatan saya, waktu di putih biru ada empat macam tingkatan Pramuka, yakni penggalang: Ramu, Rakit, Terap dan Garuda. Itupun untuk mendapatkannya harus melalui proses latihan, ujian dan memenuhi syarat kecakapan umum (SKU) yang tidak mudah. Mulai dari baris-berbaris, menghapal Morse, menghapal sandi dan beberapa janji yang berlaku dalam Pramuka. Mengisi SKU dan syarat kecakapan khusus (SKK) diperlukan untuk kenaikan tingkat atau mendapatkan tanda kecakapan umum (TKU) dan tanda kecakapan khusus (TKK).

Singkatnya, setiap siswa akan mendapatkan halau rintangan yang berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan kenaikan tingkatan. Tentu tidak semua anggota Pramuka akan mengambil kesempatan yang sama untuk proses penempaan itu. Artinya, tingkatan itu hanya akan dicapai oleh mereka yang memiliki potensi dan kemampuan yang tangguh. Terlebih lagi, jika mengingat bahwa menjadi anak Pramuka itu harus tahan banting dalam segala medan: baik fisik maupun mental. Sementara saya hanya tertengger di tingkat penggalang Ramu.

Menginjak masa-masa Pramuka di putih abu-abu. Di Madrasah Aliyah (MA) saya kembali berkecimpung dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah, Pramuka. Memang ada beberapa kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, akan tetapi rasa-rasanya setiap siswa wajib hukumnya untuk mengikuti kegiatan Pramuka. Terlebih, pangkalan satuan Pramuka di sekolah saya sudah terkenal mengukir sejarah mengajar ke beberapa sekolah di sekitarnya. 

Pangkalan satuan Pramuka sekolah saya memiliki dua ambalan yang sudah terpercaya, yakni Ibnu Sina dan Fatimah Az-Zahra. Kedua nama tersebut saya pikir sudah dapat diterka, mana ambalan putri dan yang putra. Meski demikian, dua ambalan itu tampil dengan kekuatan yang sama besarnya. Bahkan, dalam hal jabatan struktural keorganisasian pun dibagi rata. Tidak pandang bulu berdasarkan jenis kelamin, semua anggota mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pimpinan struktural, dengan catatan memiliki kemampuan yang mumpuni dan kecakapan khusus secara pribadi.

Tiga tahun saya bertumbuh kembang di sana hingga akhirnya saya menjadi Bantara. Ada berbagai macam rasa yang telah berkecamuk dan mewarnai proses penempaan diri di Pramuka. Dalam rentang waktu itu pula saya sempat mencicipi bertandang ke beberapa sekolah yang dijadikannya mitra. Dari mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. 

Pernah satu waktu, saya bersama dengan beberapa teman perwakilan pangkalan satuan Pramuka sekolah menghadiri undangan perintisan Saka Bhakti Husada tingkat kabupaten. Masih ingat betul, tatkala itu kami sampai di aula acara setelah salat duhur. Itupun datangnya telat, setelah beberapa saat kami lama menunggu mobil angkut umum lewat. Sedikit kesal bercampur gerutu yang akhirnya tamat setelah kami berhasil duduk di tempat acara dihelat.

Mirisnya acara itu berakhir menjelang Magrib. Ditambah dengan cuaca yang semakin menggelap dan awan mendung yang kian mengandung. Sesekali sembari menunggu mobil angkutan umum lewat, kami dikagetkan dengan sambaran petir yang mengkilat. Untungnya, tidak lama kemudian kami berhasil memasuki mobil angkutan umum sebelum hujan turun lebat. 

Sembari menikmati perjalanan, sesekali kami mengumbar cerita dan berguyon. Padahal tatkala itu waktu sudah menunjukkan hampir jam enam malam lewat. 

Dalam keadaan hari yang sudah gelap dan hujan yang masih lebat, akhirnya sampailah saya di pertigaan jalan raya, tempat pemberhentian di mana saya harus turun dari mobil angkut. Saat-saat yang tepat berpisahnya saya dari teman-teman. Namun pemberhentian itu bukan tempat terakhir dari tujuan saya, rumah.

Masih butuh waktu lima belas menitan untuk saya sampai ke rumah. Belum lagi harus melawan rasa takut yang telah lama terbenam dalam benak saya: menerjang lebatnya hujan dan berjalan dalam kegelapan sendirian. Masalahnya, ada rumor yang tersebar di kampung saya, bahwa di beberapa titik yang menjadi jalur menuju rumah saya terdapat tempat yang dikatakan angker. 

Alhasil, sembari berjalan saya menimbang-nimbang jalur mana yang harus ditempuh, mengingat ada dua jalur yang sama-sama memiliki cerita horor. Akhirnya, saya putuskan untuk menempuh jalur pematangan sawah terdekat dengan segala risikonya. Satu jalan penghubung antara kampung Wuni dan Cigereba. 

Romansa tatkala itu: saya menenteng sepatu, gelap gulita, berjalan di tanah yang licin dan beriring derai hujan yang saling bersahutan dengan suara kodok yang satu sama lain tak mau kalah. Untuk mengobati ketakutan yang bercekamuk hebat di dalam diri, tak henti-hentinya saya merapal ayat kursi, istighfar, salawat dan segala macam do'a yang saya bisa. 

Beberapa saat kemudian, saya berhasil sampai di rumah dengan selamat meski keadaannya basah sekujur awak. Tentu, waktu itu lelahnya bukan main. Ada sedikit kesal, lapar dan kantuk. Untungnya, Ibu sudah menyiapkan makanan untuk siap dilahap setelah membersihkan diri berselang rehat. 

Dari perjalanan yang melelahkan itu setidaknya saya bisa mengambil hikmahnya, bahwa semua proses penguatan mental melalui bentakan keras, caci maki dan uji nyali di kuburan serta penguatan materi yang telah terlampaui di Pramuka--utamanya proses Pemenpaan Bantara-- itu benar-benar telah membantu saya. Mampu mengatasi ketakutan dan mengendalikan carut-marut emosi dalam situasi yang benar-benar belum terduga sebelumnya.

Tidak hanya urusan suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, melainkan peristiwa itu juga menjadikan saya sebagai pengamal patriot yang sopan dan kesatria, serta pribadi yang pemberani dan setia. Singkatnya, lambat-laun proses penempaan dalam Pramuka itu benar-benar menginternalisasikan diri hingga akhirnya menjadi satu kesadaran baru sebagai karakter yang harus ada tatkala hidup bermasyarakat. 

Akhir kata, dengan penuh kekhidmatan saya mengucapkan, "Selamat hari Pramuka ke-60." Semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dan mampu mengamalkan nilai-nilai luhur yang diusung oleh Pramuka. 

Meskipun tulisan ini hadrinya telat, semoga tidak mereduksi makna dan arti daripada tujuan utamanya. Terkhusus terima kasih banyak saya sampaikan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan segenap punggawanya yang telah memperkenankan kami mengenal Pramuka, Praja Muda Karana.

Tulungagung, 15 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun