Salah satu tahapan penting dalam proses menulis adalah mengedit naskah. Naskah yang dianggap telah final dalam menyoal satu pembahasan tentunya. Proses ini penting dilakukan, mengingat tidak ada naskah yang benar-benar bebas dari cacat dalam proses persalinannya.Â
Besar kemungkinan, setiap naskah yang terlahir tidak lepas dari kesalahan yang terselip dan berceceran di mana-mana. Terlepas apapun genre dari sekian banyak naskah yang disodorkan.
Penyuntingan naskah ini biasanya dilakukan manakala kita hendak mempublikasikan satu karya kepada khalayak. Baik itu publikasi yang sifatnya print out (manual) ataupun dalam bentuk publikasi soft file (virtual).Â
Sebutkan saja publikasi yang sifatnya print out itu seperti halnya buku, jurnal, karya ilmiah, majalah, koran, dan lain sebagainya. Sementara publikasi soft file, seperti halnya kita mengunggah tulisan di platform menulis online. Entah itu di blog, KBMAPP, Wattpad, laman situs jurnal dan media sosial lain.
Perbedaan antara publikasi manual dengan publikasi virtual secara mendasar terletak pada bagaimana khalayak umum dapat menikmati sensasi hasil publikasi itu sendiri. Â
Publikasi manual lebih mengandalkan sensasi indera peraba, pencium, penglihatan dan indera pendengaran manakala kita membuka setiap lembar hasil print out. Sedangkan publikasi virtual lebih mengutamakan indera penglihatan.
Meski demikian, pada dasarnya dua publikasi tersebut berpijak pada proses yang sama, yakni dibidani oleh standaritas dalam tahap penyuntingan.Â
Hanya melalui tahapan penyuntingan suatu naskah dipersepsikan layak tampil ke permukaan. Tanpa melalui tahapan itu, kedudukan setiap naskah dipandang cacat.
Tidak hanya itu, bahkan, kelahiran satu karya tanpa proses penyuntingan dianggap nihilitas belaka.Â
Kehadiran karya itu dianggap tidak pernah ada, tidak layak untuk dibaca, tidak bisa diakuisisi sebagai hak cipta, tidak bisa mendapatkan ISSN (International Standard Serial Number), terlebih lagi tidak bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk naik jabatan pegawai negeri sipil golongan IV A.
Kembali ke laptop. Kegiatan menyunting naskah itu sendiri memiliki fokus utama memperhatikan bagaimana ejaan, diksi dan struktur kalimat dalam tulisan.Â
Dalam bentuk yang sederhana, menyunting dimulai dengan membenahi tanda baca, struktur kalimat antar klausa dan paragraf hingga memangkas atau menambahkan satu-dua kata.
Sedangkan menyunting dalam pengertian yang lebih serius, sangat dimungkinkan terdapat upaya memparafrase kalimat sebelumnya yang dianggap tidak sesuai dengan standaritas SPOK (subjek, predikat, objek, keterangan).
Sebagaimana PUEBI (pedoman umum ejaan bahasa Indonesia), berusaha mengkonfirmasi grand theory, mengondisikan gaya bahasa dan mengamankan orientasi opini tanpa mendiskreditkan makna yang dimaksudkan oleh penulis yang bersangkutan.
Kegiatan menyunting naskah bisa dilakukan secara mandiri (oleh penulis itu sendiri) ataupun oleh tenaga ahli sesuai bidangnya, editor kawakan. Jika penulis menyunting naskahnya secara mandiri, maka bisa saja akan ada pemaafan atas kesalahan yang disengaja. Â
Entah itu kesengajaan yang disebabkan kedangkalan wawasan pengetahuan tentang menyunting naskah atau memang sudah menempatkan "merasa benar" sendiri dalam posisi yang tinggi.
Sederhananya, pengertian itu sudah menyangkut antara mendahulukan keyakinan tanpa dasar di atas kebenaran yang berpijak pada dasar-dasar teori atau menempatkan naskah sesuai dengan dasar-dasar teori. Tentu, sikap keterbukaan (introspeksi) terhadap naskah itu yang lebih utama.
Sedangkan jika kita menyerahkan naskah untuk disunting oleh editor, sangat dimungkinkan kesalahan dan kekurangan dari tulisan kita akan diangkat dan dicecar apa adanya.Â
Lantas, di mana saja letak kelemahan tulisan kita dapat ditampilkan ke muka. Naskah kita dapat diperbaiki dan apa saja solusi terbaik untuk menjadikannya lebih mapan akan dengan mudah tampak di depan mata.
Adapun syarat minimal untuk menjadi editor, setidaknya ia adalah orang yang gemar membaca, mengamati dan membedah tulisan. Sementara sebaik-baiknya editor adalah mereka yang mafhum tentang ilmu editing sekaligus menyunting naskah sesuai dengan bidang yang digelutinya.
Masalahnya, sebagian besar di antara kita lebih suka memposisikan diri sebagai kritikus yang doyan menyisipkan putus asa, ketakutan dan kecemesan terhadap diri sendiri dengan fasih sebelum menulis.Â
Lebih suka mendahulukan segunung alasan daripada harus memulai menulis. Dan ini problematika purba yang tak berkesudahan dari waktu ke waktu. Padahal, selaiknya problematika purba itu sesegara mungkin harus kita pangkas.
Pertanyaan mendasarnya, sudahkah hari ini Anda menulis? Jika hasrat menulis saja tak kunjung tertunaikan, jangan harap Anda akan mampu menyunting tulisan.
Tulungagung, 25 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H