Bagian 3: Lanjutan dari pembahasan sebelumnya.
***
Keluar koridor dari tujuan mulia
Kedua, tanpa sadar kita melampui batas. Makna melampaui batas di sini maksudnya bukan berarti kita berhura-hura, berfoya-foya ataupun mengonsumsi makanan secara berlebihan-meskipun mungkin itu termasuk salah satu poin di dalamnya-melainkan tanpa sadar kita keluar koridor dari tujuan mulia dilakukannya silaturrahim pasca lebaran itu sendiri.Â
Seperti halnya yang telah disinggung di atas, pada dasarnya tujuan daripada pelaksanaan silaturrahim pasca lebaran adalah sebagai ajang untuk menghalalkan segala urusan yang telah terjadi di antara sesama manusia, dengan tujuan saling memaafkan sehingga mendapatkan rida Allah SWT dan makhluk-Nya. Bahkan bisa saja, kesalahan dan dosa terbesar yang telah dilakukan seseorang menunggu datangnya momentum ini untuk mendapatkan rida dari sang empunya.Â
Karena niatan yang tulus itu pula dengan sengaja kita mengatur jadwal untuk silaturrahim keliling hingga tujuh hari lamanya. Bahkan bisa lebih, di luar dugaan sebelumnya. Namun semua itu bersifat kondisional, berbanding lurus dengan jumlah ikatan kekeluargaan yang kita punya.Â
Proses itu awalnya berjalan sesuai rencana, namun tatkala kita telah sampai di tempat tujuan terkadang membias. Mulanya kita saling menyapa, bertukar kabar dan memaafkan hingga menyantap hidangan menu yang disodorkan. Semuanya masih berjalan dalam rangkaian yang normal. Masih berpijak pada kode etik dalam bertamu, dan ini adalah gambar batas kewajaran.Â
Lantas di mana letak kebiasaan itu terjadi? Mohon bersabar. Pembiasan itu dimulai semenjak kedatangan kita di salah satu kediaman itu mulai dikelompokkan; mana sudut rumah yang menjadi tempat duduk para perempuan dan mana bagian para lelaki. Seakan-akan ada zona teritorial paten yang telah diakui meskipun tidak pernah dibakukan.Â
Persepsi awal, pengelompokan yang berdampak pada pembagian zona teritorial antara lelaki dan perempuan itu dimaksudkan untuk menghindari persentuhan di antara yang bukan mahramnya. Selain itu, mengobrol berdasarkan jenis kelamin juga dipandang lebih ideal dan mengasyikkan. Sebab objek pembicaraan antara lelaki dan perempuan dianggap berbeda genre, sehingga akan kacau balau jika dicampuradukan.Â
Padahal pembagian zona teritorial itu sangat dimungkinkan untuk terjerumus pada keasyikan pembicaraan yang bersifat ngarol-ngidul, dan bisa saja sampai pada muara gibah. Mempergunjingkan segala masalah orang lain yang dipandangnya sebagai sesuatu celah yang lemah dan wah. Ironisnya, kita menganggap hal ini adalah sesuatu yang lumrah dan bukan masalah.Â
Bahkan, tak segan kita dianggap tidak normal jika tidak mau berperan aktif sebagai bagian dari proses panjang gibah. Awalnya masing-masing kita hanya saling mencurahkan keluh kesah tentang kehidupan sehari-hari, namun lambat-laun pembahasan itu terus merambah melewati pagar-pagar milik tetangga samping rumah. Â
Dalam keterusterangan kita seakan-akan membobol berangkas yang selama ini mereka (red; para tetangga) jaga dengan begitu ketat dan penuh hati-hati. Namun saking merasa memiliki hak untuk mendikte dan menilai sedetail mungkin kehidupan mereka, lantas kita menjadikan setiap perilaku, kebiasaan dan setiap keputusannya sebagai topik pergunjingan dalam silaturrahim pasca lebaran tiba.Â
Secara tidak sadar, kebiasaan gibah dalam konteks silaturrahim pasca lebaran itu sejatinya telah menciderai pemberian kesempatan untuk lebih baik dan menggenapkan kefitrian jiwa kita di hari raya. Satu kebiasaan yang telah berhasil mengotori kertas putih yang berusaha kita jaga.Â
Untuk lebih mudah memahaminya, pendek kata terkadang kita acap kali lupa waktu dan tempat sehingga lebih suka menciderai kesempatan yang ada hanya untuk hal yang sia-sia. Sebutkanlah keadaan ini dengan kebobolan dari sekian lama upaya pertahanan. Pertahanan yang telah kita latih semenjak bulan Ramadan hingga mencapai hari kemenangan yang diniatkan sebagai kesadaran baru atas satu kebiasaan.Â
Sampai di sini, saya terhiyak. Tertegun mendapati borok dalam langgengnya tradisi pasca lebaran Idulfitri yang tidak disadari bahkan diasumsikan sebagai satu kelumrahan oleh khalayak ramai. Satu borok yang berselimut dalam tradisi positif, silaturrahim pasca lebaran.Â
Meski demikian, namun bukan berarti pula, saya hendak melarang dan menyebutkan silaturrahim pasca lebaran Idulfitri itu biang yang mendatangkan kemudharatan, melainkan hanya hendak mengingatkan untuk tetap berhati-hati dan mawas diri tatkala melakukan proses silaturrahim supaya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan baru yang kita lakukan tanpa sadar.
Yang harus menjadi catatan kita semua di sini; bersilaturahimlah dengan penuh semangat kebijaksanaan dan berdasarkan kecondongan bahasa kenuranian. Jangan biarkan hakikat silaturrahim sebagai sarana kebaikan ternodai oleh tumpukan hasrat nafsu yang merapuhkan iman. Tetap istikamah dalam berjuang. Tundukkan dan kendalikan nafsumu untuk meraih iffah, sa'adah, mahabah dan raja' dalam ketakwaan.
Bersambung...
Bagian selanjutnya silakan pantau di dewaralhafiz.blogspot.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H