Sayangnya, kefasihan verbal dan asumsi orangtua itu tidak pernah kita jadikan sebagai korek api untuk memantik kesadaran diri. Bahwa proses pendidikan itu selalu ada tujuan, target dan implementasi yang nyata. Setidak-tidaknya, itu merubah cara pandang kita dalam memaknai hidup. Termasuk menjadikan skill menulis sebagai ladang kebaikan kita selama hidup di dunia.
Masalahnya, tidak sedikit dari kita (bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun) yang berpikir pragmatis, bahwa setelah lulus pendidikan, fokus hidup kita ya hanya untuk bekerja. Melakukan gerak tanpa adanya imbalan dan upah yang diterima hanya sia-sia belaka. Sederhananya, sebutkan saja mengumpulkan materi sebagai tujuan dan modus dalam hidupnya.
Tentu, pemikiran yang seperti ini tidak bisa disalahkan. Namun, bukan pula hal itu menjadi tujuan utama dari proses panjang pendidikan itu sendiri. Dapat dikatakan, salah satu capaian dari pendidikan ya mungkin kemudahan itu. Kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan. Kemudahan dalam mecapai cita-cita. Kemudahan bangkit kembali dari sekian banyak kegagalan yang pernah menimpa diri.
Tapi, jika kita mau berpikir dan berusaha mengambil kemanfaatan dari proses panjang pendidikan itu (bahkan kehidupan kita) dalam rentan waktu yang lama ya cobalah memberikan kontribusi yang signifikan. Caranya dengan mengabadikan semua aktivitas kita dengan torehan tinta. Membaca, menulis, menulis dan seterusnya.
Rumusnya sederhana; menulis di sini kita niatkan berbagi dan saling menjaga. Berbagi pengetahuan, wawasan, informasi, kisah, rangkaian peristiwa dan lain sebagainya. Sementara konteks saling menjaga di sini, maksudnya melalui tradisi skripta manen itu kita berusaha merawat pikiran, berusaha memposisikan diri sebagai pribadi yang selalu dalam kehausan dan khitoh kita untuk memanusiakan manusia, minimal diri sendiri.
Melalui tradisi skripta manen itu barangkali saja akan memengaruhi yang lain (red; pembaca). Memantik kesadaran, memberikan pemahaman, menghantarkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing personal untuk lebih baik hingga menjadi jembatan penghubung antara kebaikan yang timbul sebelum dan sesudahnya.
Sebagai contoh konkretnya kita bisa lihat bagaimana cerita seorang Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya sebut; Pram) tatkala ia menjadi seroang tentara yang kemudian pernah menjadi tahanan kolonial Belanda. Kabar yang kemudian diikuti, bahwa di waktu yang bersamaan itu pula Pram sudah mulai memutuskan diri menjadi pengarang.
Namun, dari bilik jeruji besi itu justru Pram berusaha memotivasi adiknya, Koesalah Soebagyo Toer (selanjutnya sebut; Koesalah) untuk menulis. Menulis apapun itu, meksipun sekadar sepatah atau dua patah kata.
Uniknya, motivasi itu Pram sampaikan dalam kartupos yang memiliki ruang terbatas. Namun, dalam keterbatasan itu pula yang justru menjadikan hal itu lebih berkesan dan menyentuh hati saudara-saudaranya, adik dan kakaknnya.
"Saya ingat, beberapa kali kami menerima surat dari Mas Pram dari penjara berupa kartupos yang ditulis bolak-balik dengan tulisan kecil-kecil, sangat rapi, sehingga dalam ruangan yang sempit itu termuat banyak hal. Isi surat itu menanyakan kabar kami, terutama mengenai sekolah dan pelajaran kami, dan akhirnya permintaan agar kami menulis surat kepadanya", (Koesalah Soebagyo Toer, 2009: 15).
Saking detailnya dan banyaknya surat yang dikirim Pram, Koesalah sampai-sampai berusaha mengkategorikan surat sesuai isi yang dibahas. Dikatakan, proses surat-menyurat itu berlangsung sampai surat terakhir yang diterimanya sekitar tahun 1949. Â Surat yang terakhir itu pun banyak memuat bagian yang ditujukan khusus untuk Mbak Oem, Mbak Is dan Koesalah kecil.