Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tiga Tradisi Menyongsong Ramadan

17 April 2021   02:18 Diperbarui: 17 April 2021   04:18 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

"Manusia cenderung lebih suka melakukan penghormatan dan penghayatan atas keterkaitan dirinya terhadap yang lain termasuk yang sakral dengan simbol dan ritus yang diulang-ulang",  Dewar Alhafiz.

Meskipun Ramadan telah menginjak hari yang kelima, namun izinkanlah saya mengusung tema pembicaraan tentang tiga tradisi menyosong datangnya Ramadan. Ah, mohon ma'af, saya harus memulai coretan ini dengan statement apologi. 

Setiap tahun, bulan Ramadan selalu saja disambut dengan wajah ranum penuh sukacita-kegembiraan. Seperti halnya sukacita yang tertambat dalam benak umat muslim di setiap penjuru dunia. 

Kedatangan bulan Ramadan setiap tahun itu selalu disambut dengan tradisi yang terus mendarahdaging di urat nadi, tak terkecuali di tanah Sunda-Jawa. Maksudnya, mencakup tradisi yang ada di tataran Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih tepatnya. 

Tradisi penyambutan kedatangan bulan suci Ramadan di pulau Jawa sebenarnya sangat beragam, tergantung dengan seberapa kuat penduduk daerah itu melestarikan warisan leluhur. Dari sekian banyak tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Sunda-Jawa, di sini saya hanya akan membidik tiga tradisi yang diagungkan, yakni tradisi Munggahan, Megengan dan Nyekar. 

Pertama, tradisi Munggahan. Munggahan adalah tradisi penyambutan bulan suci Ramadan yang dilakukan oleh masyarakat Islam Sunda di penghujung bulan Sya'ban. 

Dalam pelaksanaannya, tradisi Munggahan ini sangatlah bervariatif; mulai dari sekadar kumpul bersama dengan sanak famili dengan niat silaturrahim, makan bersama dengan keluarga besar, saling bermaafan hingga memanjatkan do'a bersama.

Meskipun dalam pelaksanaannya bervariatif, namun pada umumnya masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal saya lebih sering memaknai Munggahan dengan tradisi makan bersama yang diakhiri dengan merapal panjatan do'a. 

Namun, di sebagian wilayah Jawa Barat ada pula yang menjadikan variatif prosesi itu menjadi satu kesatuan yang utuh, tanpa dipisah-pisah.

Adapun menu yang kerap disajikan dalam Munggahan versi makan bersama biasa alakadarnya. Seperti halnya nasi liwet yang dilengkapi dengan lauk pauk, lalapan mentah dan sambal serta kerupuk tentunya. 

Lalapan mentah itu maksudnya, entah itu petai, jengkol, leunca, terong bulat, selada, mentimun dan lain sebagainya. Tak ketinggalan minumnya teh tawar hangat. Ahhhh.. nikmat. 

Selain silaturrahim, jika saya meminjam istilah yang kerap dipakai dalam terminologi toleransi dari Cak Nur, tujuan utama dari tradisi Munggahan tidak lain adalah untuk merekatkan ukhuwah islamiah (persaudaraan berdasarkan iman) dan menegakkan al-Musawah (persamaan di antara manusia). 

Sejauh ini, saya belum menemukan dalil yang menunjukkan tentang bagaimana hukum tradisi Munggahan, akan tetapi melalui tradisi itu justru banyak nilai-nilai positif yang dapat diambil. 

Sebab tradisi yang tampak sebatas seremonial itu sejatinya terselip dua nilai utama; antara yang profan dan sakral. Selain menikmati hidangan, diimbangi pula dengan munajat cinta; mengharap ridha dan pengampunan lintas dimensi bahkan. 

Mengharap ridha dan pengampunan dari Tuhan atas semua kesalahan sehingga diberikan kesehatan untuk menggapai berkahnya bulan suci Ramadan. Sementara di sisi lain, mengharap ridha dan pengampunan dari perbuatan yang telah dilakukan di antara sesama umat manusia yang memang tidak pernah luput dari khilaf dan dosa.

Ohya, hampir hendak genap delapan tahun saya bermukim di Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, namun saya belum menemukan tradisi Munggahan di tanah Jawa. 

Kedua, tradisi Megengan. Secara genealogis Megengan telah ada jauh sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Disebutkan, awalnya Megengan ini bernama rewahan yang disemarakkan dengan mempersembahkan sesajen kepada arwah-arwah leluhur yang ditaruh di tempat-tempat tertentu. Namun, setelah Sunan Bonang melakukan dakwah ke tanah Jawa, tradisi yang telah ada dan digenggam erat oleh masyarakat Jawa itu berusaha diislamisasikan. 

Pengislamisasian tradisi itu dimulai dengan merubah cara pandang, mengganti rapalan do'a dalam pelaksanaan seremonial dan tujuan daripada ritus berlangsungnya Megengan tersebut. 

Dalam pelaksanaannya, konsep tradisi Megengan yang dilakukan Muslim Jawa ini tidak jauh berbeda dengan konsep selametan yang dipaparkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java (Agama Jawa; Abangan, Santri dan Priyayi dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa).

Perbedaannya, perhelatan tradisi Megengan sebenarnya digunakan untuk menandai sakralitas hari, bulan dan kejadian serta titah Tuhan menurut pandangan historical Agama Islam. Sementara selametan lebih identik dengan genduren, seremonial religiusitas yang digunakan untuk menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia semasa hidupnya. Semisal, tingkepan, neloni, mitoni, khitanan, pernikahan, meninggal, membuat rumah baru dan lain sebagainya.

Secara umum, Muslim Jawa menghelat Megengan seminggu atau beberapa hari menjelang bulan Ramadan. Awalnya, Megengan ini dilakukan secara perorangan, namun lama-kelamaan tradisi itu pun beralih pusat ke tempat peribadatan, masjid. 

Mengapa masjid? Sebab tempat ini disebutkan oleh Rasulullah sebagai tempat awal mula pembinaan dan peningkatan kualitas umat, intinya menopang peradaban. 

Lantas, fungsi masjid zaman Rasulullah, tidak hanya sekadar dipakai untuk menunaikan salat, melainkan digunakan pula untuk halakah, bersilaturahmi, dan berdiskusi serta lain sebagainya.

Sebagai dampaknya, alhasil peralihan perhelatan tradisi Megengan ini pun lebih efektif dan efesiensi, entah itu dari segi ekonomi, waktu dan tempat. Yang semula setiap orang harus berganti-ganti tempat dari satu rumah ke rumah lainnya kini mereka hanya perlu singgah di satu masjid. 

Ohya, tradisi Megengan ini juga ada di tanah Sunda, namun menggunakan istilah yang berbeda. Untuk tradisi Megengan disebutkan dengan istilah selametan, sementara genduren dalam versi muslim Sunda familiar disebut dengan tasyakuran. Nah, itu dia perbedaannya, sependek pengetahuan saya.

Sedangkan yang terakhir, yakni tradisi nyekar. Secara terminologi nyekar berasal dari kata sekar (bahasa Jawa) yang berarti bunga atau kembang. Nyekar sendiri biasanya dilakukan tatkala ziarah ke makam para leluhur yang terikat nasabiyah dengan kita; kakek-nenek, orang tua, kerabat-sanak saudara, handai taulan dan sebagainya. Sederhananya, nyekar di sini bermakna menabur bunga pada makam leluhur-sanak famili kita. 

Prosesi nyekar pada umumnya dimulai dengan membersihkan area makam, pembacaan do'a dilengkapi dengan membacakan ayat suci Al-Qur'an dan dipungkas dengan penaburan bunga. Pendek-panjangnya pembacaan do'a ini pula yang kemudian turut menentukan durasi dalam nyekar. 

Jikalau memang dalam prosesi nyekar itu ternyata tidak ada orang yang mampu membaca do'a (ayat Al-Qur'an) yang berhasa Arab maka di pemakaman umum itu kita bisa meminta bantuan kepada juru kunci ataupun guru agama yang mampu memandu proses pembacaan do'a tersebut. 

Lantas bagaimana kalau di lokasi pemakaman umum yang ada di kampung namun tidak ada juru kunci yang menjaga pemakaman? Tenang, selain itu bisa saja meminta bantuan pada guru spiritual yang kita punya. Atau mungkin mengajak kerabat-handai taulan yang bisa dan mau membantu kita.

Identiknya dalam nyekar juga menggunakan bunga tujuh rupa. Pertanyaan mendasarnya, kenapa harus menggunakan bunga tujuh rupa? Karena bunga tujuh rupa itu tak lain menyimbolkan tujuh warna cahaya jiwa pada setiap manusia yang dicintainya. Melalui itu pula niscaya ia akan bangkit berjalan pulang menuju cahaya-Nya.

Menurut Yusuf Daud (bapak perdamaian antar agama) sebagaimana tercantum dalam postingan kanal Facebook miliknya, sejatinya nyekar adalah satu prosesi untuk memberikan pencerahan, inisiasi atau mukasyafah kepada orang yang "mati" dan "terkubur" jiwanya, dengan "Bunga Cahaya Ilahi" (Bunga Wijaya Kusuma), agar jiwanya kembali "hidup" dari "kematiannya" dan mendapatkan limpahan barokah Cahaya-Nya.

Dalam konteks ini, secara tidak langsung simbol bunga juga menunjukkan tujuan daripada tradisi nyekar yang dilakukan atas dasar adanya ikatan emosional yang masih kuat dengan orang-orang yang telah mendahului kita pulang menuju ke haribaan-Nya. 

Di samping itu, tradisi nyekar ini juga hendak meningkat kesadaran kita bahwa semua manusia kelak akan melawati jalan yang sama, lama-dekat kematian akan menjadi takdirnya.

Tujuan dilakukannya nyekar oleh sebagian besar orang ada juga yang hendak memohon do'a restu dan kekuatan batin karena hendak memikul tanggung jawab yang berat, hajat besar, berpergian jauh ataupun atas dasar adanya keinginan yang besar dalam hidupnya. Semisal nyekar menjelang perkawinan, maka dimaksudkan untuk memohon do'a restu.

Meskipun nyekar bisa saja dilakukan kapan saja dan disesuaikan dengan kebutuhannya sekaligus menandai kegiatan penting dalam hidup manusia akan tetapi tradisi nyekar lebih utama dilakukan seminggu sebelum bulan Ramadan tiba atau setelah lebaran (minggu pertama di bulan Syawal). 

Tradisi nyekar dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadan ini dimaksudkan untuk meleburkan persoalan keterkaitan dosa di antara sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan

memohon maaf atas segenap kesalahan dan kekhilafan, entah yang disengaja ataupun tidak kepada seluruh keluarga besar termasuk kepada leluhur dan anggota keluarga yang telah mendahului berharap kita bisa mencapai keadaan bersih dan "diberi kekuatan" dalam menapaki bulan yang penuh mulia.

Bulan yang penuh mulia karena di dalamnya terdapat malam seribu bulan (Lailatul Qadar), Nuzulul Qur'an, perintah untuk melakukan pertapaan selama sebulan guna banyak mengevaluasi diri atas segala bentuk kekeliruan. 

Melalui puasa ini setidaknya Allah SWT sedang mengajarkan kepada umatnya tentang arti kesabaran, begitu melimpahnya nikmat yang telah diberikan, menghargai waktu dan memahami hamparan samudera cinta Tuhan terhadap makhluknya itu ada di mana-mana.

Kebelangsungan tiga tradisi dalam menyongsong kedatangan bulan suci Ramadan yang telah sedikit diulas di atas sejatinya menandakan betapa hebatnya manusia menanggung gejolak kerinduan dan curahan kasih sayang yang setiap waktu tak pernah padam. 

Meskipun terkadang ruang dan waktu bahkan perbedaan alam sekalipun kerap menjadi alasan tapi kerinduan itu menuntun kita kepada kenangan atas nikmatnya saat-saat kebersamaan. 

Tertanda bukan pemuda penggenggam cawan kerinduan.

Tulungagung, 16-17 April 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun