Lalapan mentah itu maksudnya, entah itu petai, jengkol, leunca, terong bulat, selada, mentimun dan lain sebagainya. Tak ketinggalan minumnya teh tawar hangat. Ahhhh.. nikmat.Â
Selain silaturrahim, jika saya meminjam istilah yang kerap dipakai dalam terminologi toleransi dari Cak Nur, tujuan utama dari tradisi Munggahan tidak lain adalah untuk merekatkan ukhuwah islamiah (persaudaraan berdasarkan iman) dan menegakkan al-Musawah (persamaan di antara manusia).Â
Sejauh ini, saya belum menemukan dalil yang menunjukkan tentang bagaimana hukum tradisi Munggahan, akan tetapi melalui tradisi itu justru banyak nilai-nilai positif yang dapat diambil.Â
Sebab tradisi yang tampak sebatas seremonial itu sejatinya terselip dua nilai utama; antara yang profan dan sakral. Selain menikmati hidangan, diimbangi pula dengan munajat cinta; mengharap ridha dan pengampunan lintas dimensi bahkan.Â
Mengharap ridha dan pengampunan dari Tuhan atas semua kesalahan sehingga diberikan kesehatan untuk menggapai berkahnya bulan suci Ramadan. Sementara di sisi lain, mengharap ridha dan pengampunan dari perbuatan yang telah dilakukan di antara sesama umat manusia yang memang tidak pernah luput dari khilaf dan dosa.
Ohya, hampir hendak genap delapan tahun saya bermukim di Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, namun saya belum menemukan tradisi Munggahan di tanah Jawa.Â
Kedua, tradisi Megengan. Secara genealogis Megengan telah ada jauh sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Disebutkan, awalnya Megengan ini bernama rewahan yang disemarakkan dengan mempersembahkan sesajen kepada arwah-arwah leluhur yang ditaruh di tempat-tempat tertentu. Namun, setelah Sunan Bonang melakukan dakwah ke tanah Jawa, tradisi yang telah ada dan digenggam erat oleh masyarakat Jawa itu berusaha diislamisasikan.Â
Pengislamisasian tradisi itu dimulai dengan merubah cara pandang, mengganti rapalan do'a dalam pelaksanaan seremonial dan tujuan daripada ritus berlangsungnya Megengan tersebut.Â
Dalam pelaksanaannya, konsep tradisi Megengan yang dilakukan Muslim Jawa ini tidak jauh berbeda dengan konsep selametan yang dipaparkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java (Agama Jawa; Abangan, Santri dan Priyayi dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa).
Perbedaannya, perhelatan tradisi Megengan sebenarnya digunakan untuk menandai sakralitas hari, bulan dan kejadian serta titah Tuhan menurut pandangan historical Agama Islam. Sementara selametan lebih identik dengan genduren, seremonial religiusitas yang digunakan untuk menandai setiap peristiwa penting dalam kehidupan manusia semasa hidupnya. Semisal, tingkepan, neloni, mitoni, khitanan, pernikahan, meninggal, membuat rumah baru dan lain sebagainya.
Secara umum, Muslim Jawa menghelat Megengan seminggu atau beberapa hari menjelang bulan Ramadan. Awalnya, Megengan ini dilakukan secara perorangan, namun lama-kelamaan tradisi itu pun beralih pusat ke tempat peribadatan, masjid.Â