Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Keterkaitan Utang dan Janji

12 April 2021   13:43 Diperbarui: 12 April 2021   14:06 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhasil, sebagai upaya menyentuh keadaan psikis seseorang, tampaknya tidak menjadi satu masalah yang berarti jika kita mendramatisir cerita kehidupan sehari-hari kita yang mustad'afin: fakir, kalut-marut, penuh onak dan pelik. Secara tidak sadar, di sinilah kita sedang berusaha keras meyakinkan sembari sibuk memanipulasi tipis-tipis. Seolah-olah kita sedang sibuk mengidentifikasi diri sendiri dengan masyuk tanpa ada yang ditutup-tutupi. Toh, kepentingan kita adalah menarik empati supaya orang lain memberikan pinjaman materi. 

Namun di sisi lain, semakin kita mempertegas keterkaitan antara bahasa dan keadaan psikis personal dengan menampilkan segunung alasan yang dramatis justru di sanalah tanpa sadar kita sedang menunjukkan sisi terdalam dari diri kita sendiri. Artinya, di sana kita tidak bisa menapikan sekaligus menahan hadirnya cara pandang yang sengaja ditumpahkan. 

Persoalan cara pandang inilah yang menjadi poin penting selanjutnya, ketiga. Cara pandang tentang bagaimana kita memposisikan utang-piutang melalui alasan yang disuguhkan dan rekam jejak itulah yang dijadikan salah satu bahan pertimbangan. Satu pertimbangan yang sengaja dikuliti untuk membaca pola pikir, sudut pandang dan diabstraksikan oleh seseorang yang hendak mengutangi tersebut. 

Masalahnya kenapa cara pandang kita terhadap utang-piutang itu tampak begitu penting? Sebab, hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan orang akan bergerak (red; memposisikan sesuatu hal)-bagaimana ia berpikir, bertindak dan menilai- berdasarkan cara pandang terhadap sesuatu hal tersebut. Tanpa terkecuali, hal ini berlaku pula dalam konteks utang-piutang.

Cara pandang yang berlaku dalam konteks utang-piutang di sini maksudnya paham atas sifat mendasar utang dan janji. Sifat mendasar utang sendiri adalah mengalihkan pemanfaatan barang yang bukan milik kita. Artinya, kita meminjam penggunaan barang yang asalnya berada di tangan (red; milik) orang lain namun atas izinnya kita pun mengambil kemanfaatan darinya. Atas dasar itu pula maka dalam pengambilalihan penggunaan atas suatu barang tersebut diperlukan adanya kesadaran untuk pengembalian yang pasti dan sesegara mungkin. 

Adanya kesadaran untuk pengembalian yang pasti dan sesegara mungkin inilah selanjutnya dituntut untuk membuat sebuah janji. Perjanjian yang menunjukkan kesepakatan dan kesepahaman di antara pihak yang terlibat. 

Berkaitan dengan hal itu, dalam satu ceramahnya Gus Miftah pernah menegaskan; "Tergesa-gesa itu tidak baik. Tapi ada empat tergesa-gesa yang harus dilakukan; segerakan menjamu tamu, segerakan mengurus jenazah, segerakan membayar utang dan segerakan dalam ibadah (salat)". Lebih lanjut beliau juga menuturkan, bahwa ada dua sebab kenapa siksa kubur menjadi sangat pedih; karena tidak membayar utang dan karena tidak memperhatikan istinja'.

Sebagai manusia betapa sangat tidak tahu diri jika kita hanya bersemangat dalam meminjam barang atau mengutang namun lalai dalam urusan piutang dan menepati janji. Sebab, bisa saja orang yang mengutangi tersebut di waktu yang lain sangat membutuhkan barang yang dipinjamkan itu untuk segera kembali. 

Tak usahlah kita membuat drama nyeleneh ala warga plus enam dua, yang terkadang merasa hina di kala ditanggih utang pagi hari. Tak usahlah marah-marah bukan kepalang hingga berbuntut panjang satu perkara yang tidak dikehendaki kala yang meminjamkan uang mengingatkan kita di saban hari. Justru, itulah upaya ampuh untuk menyelamatkan kita dari kealpaan dan kelalaian diri. Terkadang, diri kitanya saja yang terlalu tinggi dalam merasa dan tidak tahu balas budi, sehingga dengan mudah bertinggi hati. 

Masihkah itu menjadi sikap kita? Jika masih saja demikian, mungkin kita telah tersesat jauh hingga sampai lupa dengan prinsip dalam menjalankan hidup. Hadits riwayat Imam Ahmad menyebutkan; "Khoirunnas angfa'uhum Linnas, (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain)".

Sementara poin yang terakhir, yakni adanya kepercayaan antara satu sama lain. Kepercayaan dalam urusan utang-piutang menjadi landasan sikap yang penting. Sebab, logisnya seseorang atau lembaga tidak akan pernah memberikan pinjaman tatkala tidak mengenal subjek yang dimaksud. Bahkan jika pun ada kasus pengutang gelap justru itu adalah ketidakmungkinan besar yang harus diungkap. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun