Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Lari Pagi dan Modus Desideratif yang Ditutup-tutupi

24 Maret 2021   00:11 Diperbarui: 24 Maret 2021   00:16 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Minggu, 21 Maret 2021 saya berusaha keluar dari zona nyaman layaknya manusia milenial yang doyannya rebahan. Di mana zona rebahan sendiri telah menggila dan menjadi hobi baru di semua kalangan. Keluar sebentar pulangnya langsung rebahan, habis makan hobinya rebahan bahkan ngobrol sama teman sepermainan pun sambil rebahan. 

Apalagi kalau hari itu adalah hari weekend sempurna sudah semua aktivitas dirampas oleh zona rebahan. Main gawai los sampai keriting tuh jemari menyentuh layar. Sampai panas tuh tempat bekas rebahan. Hati-hati, mata kalian jadi mins permanen. Awas tuh obesitas tubuhmu terus bertambah tidak karuan. 

Pagi itu, saya yang semalam menginap di rumah saudara sangat tergiur dan bersemangat untuk melakukan olahraga pagi di stadion Rejoagung. Persisnya malam Minggu (Sabtu malam) sebelum berangkat dari kosan menuju perumahan Bangoan memang saya telah diwanti-wanti oleh saudara saya agar membawa baju ganti untuk melakukan olahraga pagi hari esok. Sehingga saya benar-benar telah bersiap diri untuk ikut serta dalam berolahraga.

Tentu itu adalah kali pertama saya berolahraga pagi di sana. Setelah dua tiga tiga kali pernah menginjakkan kaki di sana dalam rangka menghadiri shalawatan yang diisi oleh Habib Syech sekitar empat-lima tahun yang lalu. Ah, sungguh silam, tapi ingat itu masih saja terlintas di dalam kepala. Sampai-sampai detail rekam jejak acara itu pun masih saja saya ingat. Mulai dari tata letak panggung, dari pintu mana saya masuk dan keluar, di mana saya duduk dan berdiri hingga dengan siapa saya waktu itu hadir, semuanya masih terdeskripsikan utuh.

Permulaan pagi itu pun terasa sedikit berbeda, karena saya akan kembali melakukan olahraga fisik yang telah lama tertunda. Maklum saja, terakhir kali saya berolahraga kurang lebih pada awal tahun 2019, itu pun dengan meminjam sepeda gunung milik saudara. Adapun olahraga lari telah sangat lama saya tidak pernah menggelutinya. Terakhir kali lari, dulu sangat dulu sekali tatkala saya masih berada di semester empat di strata satu. Sementara kalau lari dari kenyataan, tanggung jawab dan beban, gemar saya lakukan setiap waktu. Hehehe

Sebelum berangkat ke stadion Rejoagung, tidak lupa masing-masing kami yang terdiri dari Mbak, Mas dan saya bergegas mengganti pakaian olahraga. Mas mengenakan pakaian serba hitam, kaos dan celana pendek serta sepasang sepatu yang terikat kuat di kedua kakinya. Sementara Mbak menggunakan celana training warna biru dan baju lengan panjang seragam bekas pelatihan enterpreneurship Bidikmisi 2017 dulu serta sepatunya yang tampak lucu. 

Tanpa janjian dan diduga sebelumnya, ternyata baju yang saya kenakan sama persis dengan baju yang Mbak pakai. Maklum saja, dulu kami berasal dari rahim almamater yang sama. Anak angkat dari salah satu program yang membiayai kami kuliah secara gratis. Oke, oke, tampaklah kita seperti couple. Tak apalah sama, yang penting bukan seragam pengajian. Terlebih lagi, bukan seragam berandalan.

Setelah semuanya siap, satu persatu motor pun dikeluarkan dari dalam rumah. Semua pintu rumah dipastikan terkunci dengan baik. Kami pun mengendarai motor masing-masing. Mas membonceng sang isteri, yakni Mbak. Sementara aku membonceng seluruh kenangan yang belum hilang. Eh ciyeee... Apaan si? Garing banget ya? Maksudnya aku mengendarai motor sendirian. Miris banget si kamu Bang!

Kurang lebih lima menit kami menempuh perjalanan hingga akhirnya sampai di tempat parkiran motor, letaknya persis di pelataran stadion Rejoagung. Di sana tampak sudah ada banyak motor dan sepeda yang terparkir. Padahal saya pikir, kamilah yang lebih duluan sampai. Eh... Ternyata pada kenyataannya di luar dugaan. Emang sih sikap sotoy saya kebangetan. Prediksinya selalu saja meleset, makanya saya tidak ada bakat untuk jadi peramal.

Belum juga kami melangkah, juru parkir pun dengan sigap menyergap kami yang masih di atas motor. Ibu juru parkirnya mendekati,"biaya parkirnya dua ribu rupiah Mas", tukas beliau sembari menyerahkan nomor antrian parkir kepada saya. Seolah tak ingin kalah cepat, dompet yang ada di dalam bagasi motor pun sontak langsung saya kuras dua ribu rupiah. Permulaan yang murah. Tentu biaya parkir ini lebih murah dibandingkan dengan nasi bantingan atau sama halnya dengan harga segelas kopi hitam panas, nasi kucing maupun nasi gegok yang dijual di angkringan samping bahu jalan tidak jauh dari kosan saya. 

Setelah nomor antrian parkir dilekatkan pada salah satu sisi bagian setang motor masing-masing, lantas kami pun bergegas memasuki arena stadion. Awalnya saya merasa dag dig dug ser tatkala melihat orang-orang telah menempati beberapa bagian bangku persis setelah pintu masuk dan sebagian yang lain sedang asyik melakukan lari mengelilingi pinggir lapangan. 

Mereka tampak antusias, hal itu sangat jelas tergambar dari raut wajahnya yang terpancar dan setelan pakaian olahraga yang lengkap. Sementara itu, saya justru malah merasa insecure dengan setelan pakaian yang digunakan, terlebih lagi saya hanya memakai traning panjang, bukan baju olahraga dan sandal jepit. 

Tapi di saat itu pula untungnya ada suara yang meyakinkan, "mengko lek ape mlayu sendal.e ditaruh nek kene wae (jari Mas menunjuk ke salah satu arah dari bagian bangku penonton). Mlayu nyeker gak opo-opo, ra usah isin. Akeh tunggal.e kok", tuturan Mas itu kembali membangkitkan nyali saya yang sempat menciut, agar tetap meluruskan niatan awal untuk berolahraga. 

Kurang lebih sepuluh sampai dua belas menit, kami terlebih dahulu melakukan pemanasan di deret kedua dari bangku penonton. Kala itu, mentari masih belum genap seukuran tombak. Jika dihitung, mungkin masih beberapa jengkal saja ia berani tampak, bahkan pijarya saja belum terasa menyengat. Tapi sinarnya merekah lebar menyambut kami yang sedang melakukan setengah pemanasan. Sungguh momentum yang menyenangkan. 

Sembari mengonta-ganti gerakan secara statis, sesekali Mas mengumbar gurau dan menyisipkan petuah akan pentingnya melakukan pemanasan atau perenggangan otot sebelum benar-benar memulai lari pagi. Masih tergambar jelas dalam ingatan saya, waktu itu posisi kami membentuk lingkaran kecil di kala sedang melakukan pemanasan. 

Tak hanya itu, terkadang di saat kami sedang asyik melakukan gerakan pemanasan itu ada pula pasang mata yang memperhatikan kami dari kejauhan. Terlebih lagi jika ada sekelompok orang yang dengan sengaja lewat. Entahlah, entah apa yang membuat pandangan orang-orang yang ada di sekitar lapangan itu menatap tajam ke arah kami. Husnudzon sajalah, mungkin itu efek dari tata letak arena stadion yang memang terbuka sehingga setiap orang dengan sangat bebas menatap siapa saja dengan suka-suka. 

Tak lama kemudian pemanasan pun usai, sambil menuju ke track lari, Mas kembali mengingatkan,"mengko lek sak umpama ra kuat ojo dipaksakan. Alon-alon wae disek. Lek wes lumayan gak kuat ojo langsung mandeg, lirihno mlayumu, tempone diatur. Iku berlaku lek Saman sek pengen mlayu lo ya. Terus lek wes gak kuat banget, digawe mlaku wae ojo langsung lungguh". Oke, pesan itu saya coba terapkan dalam ritme lari saya. 

Awalnya, kami jalan santai bersamaan satu kali putaran. Selanjutnya, saya dan Mas mulai mengambil tempo lari yang sedang. Sementara itu, Mbak lebih memilih untuk melakukan jalan santai, terlebih-lebih mengingat kondisi tubuhnya yang memang sedang berbadan dua. Atas dasar itu pula, sebelum satu putaran pertama usai, sebenarnya Mas telah mengingatkan Mbak berulang kali supaya jangan sampai melakukan olahraga yang terlalu dipaksakan. Itu semata-mata dilakukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan si janin dan sang isteri.

Sedangkan kami yang mulai lari bersandingan di sepanjang track banyak menyalip para pecinta lari pagi lain. Di sepanjang track itu pula kami dapat mengkategorikan para pecinta lari pagi, mulai dari yang usianya kanak-kanak, remaja, dewasa, papa-mama muda, usia paruh baya, bahkan ada juga dua sejoli yang tampak sedang menjadikan track lari sebagai lapak asmara. 

Pada putaran kedua itu pula Mas banyak bercerita, bahwa aktivitas lari pagi yang dilakukan di stadion Rejoagung terkadang kerap dijadikan ajangan menampilkan modus desideratif. Di mana lari yang tujuannya semata-mata untuk kepentingan menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh justru dalam prakteknya malah bertujuan lain. Ada banyak modus yang timbul dan harapan-harapan yang dirajut oleh para kawula muda. Mulai dari mereka yang berniat mencari jodoh, hendak pansos (panjat sosial) dengan update status di medsos, sekadar mejeng sekadar cuci mata, mencari kenalan sampai dengan hanya tergiur ikut-ikutan tren.

Kehadiran modus desideratif itu dapat dilacak dari bagaimana cara mereka berpakaian (sangat ketat, transparan dan terbuka), cara mereka berpenampilan (bahkan ada pula sebagian dari mereka yang memakai make up lengkap) dan cara mereka melakukan lari di atas track yang hanya alakadarnya hingga tampak tak ada niatan untuk melakukan olahraga. Yang tampak jelas di sana, setiap pasang mata mereka selalu jelalatan ke mana-mana, terlebih lagi tatkala ada lawan jenis yang mempesona turun gelanggang untuk berolahraga.

Tidak hanya itu, setelah saya cermati dengan berkali dan cukup lama pada kenyataannya aktivitas lari pagi pun telah berhasil meleburkan status sosial yang ada. Telah berhasil memangkas kategori usia. Yang tampak di mata hanya semangat tinggi untuk melatih kedisiplinan otot dan menjaga kebugaran tubuh semata. 

Meski demikian tetap saja, antara pelari pemula dan pelari produktif kentara berbeda. Terlihat dari bagaimana cara mereka berlari, mengatur ritme dan jumlah putaran yang banyak. Katanya Mas, salah satu tanda bahwa seseorang itu pelari produktif, itu terletak pada langkah kakinya yang tak bersuara dan tidak terduga tatkala ia menyalip orang yang ada tepat di depannya.

Sebelum sepertiga mencapai tiga putran, kami menemukan pelari perempuan yang sangat elok dan sedap dipandang mata. Sontak Mas langsung berujar, "ngeneki lo penak.e lari pagi. Sehat awak yo sehat mata sisan. Mening to? Ora normal we lek gak doyan. Mbuh carane piye, mengko awake dewe kudu pas nek mburine Mbak kuwi yo? Mengko ben Mbakmu tak kandani Saman ra kuat lek melayune banter-banter". "Ha ha ha biasa aje si om. Modusmu aktif tenan pancenan", timpal saya. Etdah, Mas yang satu ini emang pinter banget si kalau buat siasat. Padahal ada udang di balik batu. Modus desideratif-nya mulai dikayuh jauh. 

Nah, di kala berpapasan dengan Mbak yang baru hendak menyelasaikan putaran kedua, Mas pun berujar seperti yang telah diatur semula. "Alah, iku alesanmu wae. Sana, lari yang kencang dek", respon Mbak sambil membentak setengah menyimpan kesal bercampur senyuman di kala ketahuan kami membututi perempuan menawan. Ha ha ha, nah lo, kan serem toh kalau sudah begitu. Iiihhhh... Isteri mana isteri? Eh lupa kalau belum beristeri. Kaburrr. Untuk sesaat, sontak kami pun langsung melanjutkan lari sambil mengumbar tawa. 

Kami meneruskan lari menuju empat putaran, sementara dari kejauhan nampak Mbak yang sudah lelah dan memilih istirahat di bangku penonton bagian selatan. Padahal, kalau tidak salah, Mbak hanya baru menyelasaikan dua putaran lari santai. Maklum saja, mungkin itu efek hamil muda kali ya? jadinya mudah kelelahan. Sedangkan kujur awak saya mulai bercucuran keringat, nafas sudah mulai tersengal-sengal dan otot kaki pun terasa mengeras. Meski demikian, saya terus melanjutkan thawaf di track lari bagian terluar dari arena lapangan. 

Lima puturan, enam putaran sampai pada tujuh putaran, nafas saya sudah mulai susah untuk diatur dan tenaga seolah-olah menyusut. Hingga akhirnya Mas berkata,"sek kuat opo ora we? Lek sek pengen lari, tetep o lari tapi tempone dilirihne ben sikilmu ora abot digawe mlaku. Aku disek yo?". "Oke, aku sek kuat om. Cuma dadaku terasa panas", saya menimpali. Lari menuju delapan putaran inilah saya mulai ditinggalkan oleh Mas. Maklum saja, Mas sudah terbiasa setiap Minggu berlari di stadion Rejoagung. Sementara saya, masih saja sangat amatiran. 

Pada putaran ke sembilan menuju setengah putaran ke sepuluh, akhirnya saya benar-benar harus menyerah. Kedua kaki pun rasanya tidak sanggup lagi untuk melangkah. Tenaga benar-benar telah terkuras, bahkan sekadar mengatur langkah yang santai untuk menuju bangku penonton yang ada di sebelah selatan pun rasanya sangatlah berat. Kepala cenat-cenut, berjalan sempoyongan, perut rasanya sangat mual dan tatkala itu pula sebenarnya saya merasa akan pingsan di tempat. 

Tapi meski demikian, pada akhirnya saya pun berhasil sampai di bangku penonton. Kedua kaki pun saya selonjorkan. Tarikan nafas berusaha keras saya normalkan. Rasa mual, penat dan lemas mulai hilang secara pelan-pelan. Yang jelas dengan istirahat di waktu itu benar-benar sangat saya butuhkan guna memulihkan kembali energi yang telah terkuras habis. Di saat saya sibuk mengatasi kekacauan diri, Mbak sangat sibuk dengan gawainya yang terus-menerus dicumbui. 

Dalam jeda istirahat itu pula saya melihat bagaimana para pelari produktif menjaga konsistensi stamina dalam ritme lari yang berirama. Seolah-olah tenaga mereka tak ada habisnya dan tak pernah lelah. Kencang larinya tampak sama dari satu putaran menuju putaran lain. Meskipun itu jumlahnya telah belasan maupun puluhan kali putaran melakukan lari sekalipun. Waiting tresna jalaran soko kulino kalau menurut orang Jawa. Alah bisa karena sudah biasa, begitulah pribahasa menyebutkan. 

Berselang sekitar lima belas menit kemudian, Mas datang bergabung di bangku penonton bagian selatan. Ia datang dengan membawa sandal jepit saya dan topi hitam miliknya. Kurang lebih ima menit Mas menyelonjorkan kedua kakinya. Kemudian lima belaa menit selanjutnya ia habiskan untuk pendinginan; sit up, push up dan beberaoa gerakan statis lain. Tidak lama dari itu, setelah pendinginan selesai, kami memutuskan untuk pulang. Kami pun menyisir bagian paling luar dari lapangan yang dipagar. Di jalan kami sempat berpapasan dengan sekelompok remaja yang sedang masyuk melakukan perenggangan.

Setelah kami berada di pelataran stadion, saya pun langsung menuju ke tempat parkir motor. Pikir saya setelah ini ya langsung pulang, eh ternyata Mas mengajak mampir terlebih dahulu di salah satu angkringan untuk menikmati segelas susu sari kedelai hangat. Segelas susu sari kedelai hangat itu pun dengan cepat kami minum. Bahkan, tidak sampai menghabiskan waktu lima menit untuk mengosongkan isi gelas besar itu. 

Kala itu, Mas dan Mbak juga sempat menyampaikan bahwa setelah itu mereka akan langsung hunting tempe mendoan sekaligus mencari lauk untuk sarapan. Mereka sempat menyodorkan dua pilhan kepada saya, antara ikut atau pulang ke rumah. Tanpa pikir panjang, akhirnya saya pun memilih pulang ke rumah lebih dulu. Lantas kunci rumah yang dipegang oleh Mbak disodorkan kepada saya. Kami pun langsung mengendarai motor masing-masing, untuk menggenapkan maksud yang dituju.

Ah, sungguh tidak terpercaya, hari Minggu itu pada kenyataannya saya telah melakukan olahraga. Meski yang tersisa dari lari pagi itu kini tinggal rasa pegal yang menggerayangi kedua paha. Tapi sungguh tak apa, karena ini adalah resiko daripada awal mula. Semoga saja, ke depannya bisa istikamah setiap Minggu cuci mata. Eh, maksudnya konsisten dalam berolahraga. 

Tertanda pejuang modus yang bersembunyi di balik olahraga pagi.

Tulungagung, 23 Maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun