Mereka tampak antusias, hal itu sangat jelas tergambar dari raut wajahnya yang terpancar dan setelan pakaian olahraga yang lengkap. Sementara itu, saya justru malah merasa insecure dengan setelan pakaian yang digunakan, terlebih lagi saya hanya memakai traning panjang, bukan baju olahraga dan sandal jepit.Â
Tapi di saat itu pula untungnya ada suara yang meyakinkan, "mengko lek ape mlayu sendal.e ditaruh nek kene wae (jari Mas menunjuk ke salah satu arah dari bagian bangku penonton). Mlayu nyeker gak opo-opo, ra usah isin. Akeh tunggal.e kok", tuturan Mas itu kembali membangkitkan nyali saya yang sempat menciut, agar tetap meluruskan niatan awal untuk berolahraga.Â
Kurang lebih sepuluh sampai dua belas menit, kami terlebih dahulu melakukan pemanasan di deret kedua dari bangku penonton. Kala itu, mentari masih belum genap seukuran tombak. Jika dihitung, mungkin masih beberapa jengkal saja ia berani tampak, bahkan pijarya saja belum terasa menyengat. Tapi sinarnya merekah lebar menyambut kami yang sedang melakukan setengah pemanasan. Sungguh momentum yang menyenangkan.Â
Sembari mengonta-ganti gerakan secara statis, sesekali Mas mengumbar gurau dan menyisipkan petuah akan pentingnya melakukan pemanasan atau perenggangan otot sebelum benar-benar memulai lari pagi. Masih tergambar jelas dalam ingatan saya, waktu itu posisi kami membentuk lingkaran kecil di kala sedang melakukan pemanasan.Â
Tak hanya itu, terkadang di saat kami sedang asyik melakukan gerakan pemanasan itu ada pula pasang mata yang memperhatikan kami dari kejauhan. Terlebih lagi jika ada sekelompok orang yang dengan sengaja lewat. Entahlah, entah apa yang membuat pandangan orang-orang yang ada di sekitar lapangan itu menatap tajam ke arah kami. Husnudzon sajalah, mungkin itu efek dari tata letak arena stadion yang memang terbuka sehingga setiap orang dengan sangat bebas menatap siapa saja dengan suka-suka.Â
Tak lama kemudian pemanasan pun usai, sambil menuju ke track lari, Mas kembali mengingatkan,"mengko lek sak umpama ra kuat ojo dipaksakan. Alon-alon wae disek. Lek wes lumayan gak kuat ojo langsung mandeg, lirihno mlayumu, tempone diatur. Iku berlaku lek Saman sek pengen mlayu lo ya. Terus lek wes gak kuat banget, digawe mlaku wae ojo langsung lungguh". Oke, pesan itu saya coba terapkan dalam ritme lari saya.Â
Awalnya, kami jalan santai bersamaan satu kali putaran. Selanjutnya, saya dan Mas mulai mengambil tempo lari yang sedang. Sementara itu, Mbak lebih memilih untuk melakukan jalan santai, terlebih-lebih mengingat kondisi tubuhnya yang memang sedang berbadan dua. Atas dasar itu pula, sebelum satu putaran pertama usai, sebenarnya Mas telah mengingatkan Mbak berulang kali supaya jangan sampai melakukan olahraga yang terlalu dipaksakan. Itu semata-mata dilakukan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan si janin dan sang isteri.
Sedangkan kami yang mulai lari bersandingan di sepanjang track banyak menyalip para pecinta lari pagi lain. Di sepanjang track itu pula kami dapat mengkategorikan para pecinta lari pagi, mulai dari yang usianya kanak-kanak, remaja, dewasa, papa-mama muda, usia paruh baya, bahkan ada juga dua sejoli yang tampak sedang menjadikan track lari sebagai lapak asmara.Â
Pada putaran kedua itu pula Mas banyak bercerita, bahwa aktivitas lari pagi yang dilakukan di stadion Rejoagung terkadang kerap dijadikan ajangan menampilkan modus desideratif. Di mana lari yang tujuannya semata-mata untuk kepentingan menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh justru dalam prakteknya malah bertujuan lain. Ada banyak modus yang timbul dan harapan-harapan yang dirajut oleh para kawula muda. Mulai dari mereka yang berniat mencari jodoh, hendak pansos (panjat sosial) dengan update status di medsos, sekadar mejeng sekadar cuci mata, mencari kenalan sampai dengan hanya tergiur ikut-ikutan tren.
Kehadiran modus desideratif itu dapat dilacak dari bagaimana cara mereka berpakaian (sangat ketat, transparan dan terbuka), cara mereka berpenampilan (bahkan ada pula sebagian dari mereka yang memakai make up lengkap) dan cara mereka melakukan lari di atas track yang hanya alakadarnya hingga tampak tak ada niatan untuk melakukan olahraga. Yang tampak jelas di sana, setiap pasang mata mereka selalu jelalatan ke mana-mana, terlebih lagi tatkala ada lawan jenis yang mempesona turun gelanggang untuk berolahraga.
Tidak hanya itu, setelah saya cermati dengan berkali dan cukup lama pada kenyataannya aktivitas lari pagi pun telah berhasil meleburkan status sosial yang ada. Telah berhasil memangkas kategori usia. Yang tampak di mata hanya semangat tinggi untuk melatih kedisiplinan otot dan menjaga kebugaran tubuh semata.Â