Memang secara eksplisit ayat tersebut tidak menegaskan perintah untuk menulis bagi khalayak umat manusia. Tidak pula menyinggung perihal utang-piutang, akan tetapi sebagai manusia yang telah diberkati akal tentu kita bisa memetik hikmah dari penegasan ayat tersebut, bahwa Kalam Tuhan yang tak terhingga bisa saja dalam wujud emanasinya yang ke sekian menjadi curahan ide yang tak ada habisnya bagi seorang penulis dalam meletakkan deretan kalimat di atas bukunya. Walaupun mereka (manusia) berkali-kali telah membahas satu topik yang sama toh selalu ada celah dalam membidik sudut pandang yang hendak ditampilkannya.Â
Lantas persoalan itu pun seperti halnya teori emansi Surahwardi Al-Maqtul yang memandang segalanya bermula dari satu sumber cahaya yang memancar-memantul terus membentuk titik-titik baru yang terus berkembang. Meskipun manusia selalu sibuk dengan upaya memandang dan menerjemahkan segala sesuatu dalam versi yang spesifik (baca; mengkategorikan satu persoalan sesuai spesialisasi di bidangnya) akan tetapi dalam perkembangannya manusia tidak benar-benar mampu menyelesaikan satu persoalan dari sudut pandang sesuai bidang spesialisasi tersebut.Â
Itu berarti suatu masalah tidak serta-merta bisa dipecahkan dengan menggunakan disiplin ilmu tunggal. Pemecahan itu senantiasa membutuhkan kontribusi dari disiplin ilmu lain.Â
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia pada kenyataannya memerlukan pendekatan yang kompleks pula. Dalam artian berbagai pendekatan bila perlu dilakukan secara bersamaan atau silih bergantian dalam memecah satu permasalahan yang sama, (Mujamil Qomar, 2020: v-vii)
Hal ini memiliki banyak kemiripan dengan bagaimana satu ilmu pengetahuan lahir dan berkembang sebagai bentuk kausalitas dari usaha keras manusia. Entah itu dalam konteks manusia berusaha memahami realitas kehidupan ataupun dalam upaya menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapinya, maka upaya menciptakan berbagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan pun perlu digencarkan. Tak terkecuali pendekatan yang bersifat interdisipliner, multidisipliner, transdisipliner, pluridisipliner, dedisipliner, antidisipliner, indisipliner, metadisipliner dan postdisipliner, (Mujamil Qomar, 2020: vii-viii).
Semua kemungkinan besar itu di satu sisi menegaskan betapa tak hingganya Kalam Tuhan (pemilik samudera pengetahuan) sekaligus menunjukkan keterbatasan manusia yang selalu dalam posisi awam. Jika pun pintar itu hanya titipan, dan spesialisasi dalam bidang tertentu yang digelutinya tak lain hanya paras dari kerdilnya jangkauan pengetahuan yang mampu kita telan secara perlahan. Lantas bagaimana mungkin yang papa bisa mengangkuh diri? Jika pun ada yang demikian, itu hanya bentuk kekonyolan belaka.
Sementara kehendak kita untuk memilih dan mengambil keputusan untuk memanfaatkan potensi yang ada di dalam diri tak ubahnya nasib pena di tangan sang empunya. Pena akan semakin piawai menggoreskan rangkaian kata kalau sering dipakai. Runcingnya pena terus senada dengan potensi yang kita kelola.Â
Semakin sering kita menyepadankan antara gerakan pena dan merangkai kata dalam upaya mengikat curahan ide maka akan semakin dekat kita akan mengenali jati diri. Sederhananya, menulis itu adalah salah satu jalan kita menemukan kesadaran diri. Memanusiakan manusia sebagai makhluk yang dihargai.
Pada akhirnya sampai detik ini, kita adalah penjelajah senyap yang telah diberkati. Untuk itu mari kita sama-sama bercocok tanam, bertunas hingga menuai hasil yang mencukupi. Mencukupi kebutuhan dahaga literasi diri pribadi, orang lain dan jerit lantang kewarasan bumi Pertiwi.
Di sinilah waktunya kita lantang mengakui; "Menulis itu memang berat, tapi bukan itu persoalannya. Persoalannya adalah kita merasa keberatan atau tidak. Jika merasa keberatan dengan pembiasaan menulis setiap hari, selera dalam menuangkan ide pun akan hilang dengan sendiri".
Sebagai penutup, nampaknya di sini saya akan mengaminkan apa yang dikatakan oleh Picasso; "tanpa kesendirian yang ketat, tidak ada pekerjaan serius yang dapat diselesaikan".Â