Tapi, siapa gerangan yang benar-benar memahami keberadaan benteng itu? Siapa yang benar-benar mampu mengatasi? Bukankah benteng itu terletak jauh di dalam diri kita sendiri? Sementara Hwang Sun-Mi dalam bukunya yang berjudul The Dog Who Dared to Dream menegaskan; "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Kita justru yang paling akhir mengenal diri sendiri". Bukankah mengetahui hal itu sangat menyesakkan dada?
Sudahlah, sudah waktunya kita hentikan monolog omong kosong pesimistis ini! Mari kita sama-sama insyaf dari panjangnya khilaf. Yang jelas sampai di sini kita bisa tahu sentilan sarkasnya,"bagaimana mau punya banyak anak dari tangan yang tak berahim jika menunaikan kewajiban saja masih lungla-lengle (baca dalam bahasa Sunda; bermalas-malasan) akut tak terbendung.Â
Kerja keras sana! Pengorbananmu kurang berdarah-darah. Peluhmu masih kurang parah. Dayungmu di samudera ilmu masih saja di tepian pantai bahkan tak jauh dari lemah (baca dalam bahasa Sunda; permukaan tanah)".
Mengutang, mengutang dan terus saja mengutang hingga menumpuk. Entah sejak kapan saya jadi doyan menumpuk utang. Padahal, katakan no untuk utang adalah salah satu prinsip dalam hidup saya yang telah lama bergema. Tentu itu bukan sekadar prinsip yang hanya menguap ke udara tatkala diucapkan melainkan memang berusaha keras dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari saya. Utamanya dalam urusan duit. Tapi semua itu mulai goyah tanpa dinyana.
Konsep utang pun pada kenyataannya tidak hanya dilekatkan pada urusan perduitan, logam mulia, surat berharga dan jasa semata melainkan berlaku pula pada segenap hak dan kewajiban atas komitmen yang telah kita putuskan secara personal. Seperti halnya tatkala kita secara sadar memilih untuk bergabung di salah satu grup menulis. Itu berarti kewajiban utama kita ya menulis.Â
Menulis di sini dalam artian berproses untuk pandai mengelola kata, merajut kalimat, menentukan presisi antar alinea (pragaraf) hingga koherensi antara topik dengan cara pandang kita dalam menampilkan idealitas gagasan yang kita punya.
Tentu semua proses penempaan itu tidak akan pernah cukup memapankan-memantaskan diri kita sebagai penulis jika hanya mengandalkan berlatih semaunya (baca; menunggu good mood) dan sekadar punya niatan "yang penting bergabung dan menjadi bagian dari grup" tanpa kemauan keras untuk lebih baik dari waktu ke waktu. Intinya tidak akan pernah cukup jika kita hanya melulu memposisikan diri sebagai silent reader atau hanya berambisi menjadi pengkritik tanpa mau menulis.Â
Nampaknya di sini pula sangat perlu adanya bagi kita untuk berani membulatkan tekad, menetapkan standaritas dan beberapa capaian penting yang harus diraih dari kesempatan yang ada di hadapan kita.
Pendek kata, kita perlu banyak menentukan target atas pilih yang telah diputuskan sekaligus siap melakukan "pertapaan" dalam jalan keheningan; banyak membaca buku, mempelajari teknik menulis, memahami bagaimana gaya tulisan penulis idola kita, banyak berlatih dan mengevaluasi tulisan, pandai-pandai menampung ide sampai dengan kita benar-benar memahami bahwa tulisan itu tidak lain adalah representasi atas diri kita.Â
Role model atas eksistensi syukur kita sebagai manusia yang diberkati akal dan jiwa oleh sang Maha Kuasa pemilik pena bertintakan samudera yang tak ada habisnya.
Sebagaimana jelas tertandaskan dalam Firman-Nya; Say (Muhammad), "If the sea were ink for (writing) the words of my Lord, the sea would be exhausted before the words of my Lord were exhausted, even if We brought the like of it as a supplement", (Al-Kahf; 109).