Urusan gejolak hati salah satunya tentang asmara, sama dengan cinta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asmara dimaknai perasaan senang kepada lawan jenis ditinjau dari perbedaan kelamin yang ada. Sementara cinta berarti suka sekali, ingin sekali, menghendaki memiliki sesuatu ataupun rasa risau atas segala apa yang terdapat di luar diri kita.
Meskipun cinta sesungguhnya memiliki makna yang luas dan berlaku kepada siapapun tanpa memilah-milah jenis kelamin. Tua, muda sama saja. Namun, Â khalayak ramai kerap mendefinisikan asmara sebagai satu ikatan rasa yang hanya diberlakukan kepada lawan jenis yang kita suka. Lawan jenis yang dipersepsikan sebagai pasangan hidup kita. Sederhananya, jodoh kita.
Padahal jika kita menilik pada kenyataannya bukankah ikatan rasa dan kenyamanan yang dimiliki orangtua terhadap anaknya juga dapat disebut cinta? Ikatan persaudaraan yang ada di sekitar kita bukankah itu juga salah satu bentuk cinta? Bukankah keterikatan antara manusia dengan alam juga cinta? Bahkan konsepsi penciptaan dan status hamba seorang makhluk di muka bumi takan pernah terwujud tanpa limpahan mahabah sang pemilik muara cinta yang hakiki.
Nah, itu dia permasalahannya. Adakalanya manusia yang berkoar-koar sedang dimabuk asmara sebenarnya ia tak kunjung paham akan arti cinta yang sesungguhnya. Tak pernah mau mempertanyakan kembali posisi cintanya. Tak ingin tahu-menahu di manakah letak hierarki cinta yang sedang melanda hidupnya. Tidak paham antara unsur dasar cinta yang memberdayakan dengan cinta yang memperdayai.
Lebih tepatnya, problem cinta yang kerapkali melanda diri manusia umumnya salah mengidentifikasi objek cintanya. Khalayak memandang cinta sebagai problem dicintai bukan problem mencintai. Orang berpikir bahwa mencintai itu sederhana, yang sulit ialah mencari objek yang tepat untuk dicintai. Sehingga cara pandang itu bermuara pada dua persepsi tentang nasib para pecinta; ada cinta yang sifatnya merusak objek yang dicintai dan ada pula cinta yang merusak dirinya yang mencintai.
Jika cara pandang kita terhadap cinta masih saja demikian maka cinta yang ada di dalam diri patut dipertanyakan. Alih-alih hendak menegaskan diri sebagai pejuang cinta, jangan-jangan yang selama ini bercokol di dalam hati kita adalah obsesi diri untuk menundukkan orang lain atas nama nafsu. Ekspresi ego diri untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi yang dimiliki oleh lawan jenis kita.
Padahal esensi cinta sejatinya tidak demikian. Cinta adalah relasi paling agung antar sesama makhluk. Bahkan dapat dikatakan pula, bahwa cinta adalah harmonisasi segala wujud apa pun yang ada di dunia. Katanya Erick Fromm; Love is an activity, not a passive affect; it is a standing in; not a "falling for". Cinta itu didirikan atas dasar kemantapan dalam keterlatihan sekaligus mencerminkan kematangan pemikiran. Pendek kata cinta itu membantu mengaktualisasikan dan memberdayakan diri para pecinta itu dalam menjalani kehidupan.
Adapun unsur dasar cinta yang memberdayakan para pecinta di antara ialah; Pertama, care (perhatian). Maksud care di sini berarti menaruh perhatian penuh, serius dan mendalam terhadap kontinuitas kehidupan objek yang dicintai. Termasuk di dalamnya menyangkut perkembangan, kemajuan dan mundurnya, baik dan buruknya objek yang dicintai. Perhatian atas segala aktivitas objek yang dicintai itu menyebabkan pelaku yang mencintai selalu melibatkan diri di dalam setiap geraknya.
Kedua, responsibility (tanggung jawab). Makna tanggung jawab di sini dalam artian ikut terlibat dan berusaha simpatisan atas segala kebaikan bagi kedua belah pihak yang saling mencintai. Meski saling mengupayakan segala kebaikan dalam masing-masing diri bukan berarti pula ada upaya saling mendominasi ataupun mendikte setiap kehendak gerak yang dijalankan dalam kehidupan satu sama lain.
Ketiga, respect (hormat). Dalam cinta sudah pasti melibatkan dua pihak yang berbeda berusaha menjadi satu. Namun meski ada motif dan kehendak menjadi satu, itu bukan berarti ada upaya-upaya licik dan saling menciderai satu sama lain yang berpijak di atas keterpaksaan salah satu pihak, melainkan mendirikan cinta berdasarkan ketulusan, penghargaan atas segala wujud perbedaan dan ketidakterpaksaan di antara pihak yang bersangkutan.
Sementara yang terakhir, yakni knowledge (pengetahuan). Memahami objek yang dicintai dan yang mencintai (mutual understanding) mutlak dibutuhkan oleh mereka para pecinta. Mengapa demikian? Karena hanya dengan pengetahuan dan pemahaman yang paripurna atas objek yang dicintai menjadikan para pecinta mampu menempatkan diri tepat pada porsinya. Pendek kata, hadirnya sikap dan tindakan care, responsibility dan respect atas pasangan hidup akan muncul setelah kita memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk perihal cinta.
Jika telah demikian, maka tidak menutup kemungkinan cinta yang memberdayakan diri para pecinta itu akan bertransformasi diri menjadi cinta yang produktif. Cinta yang produktif itu seperti apa? Satu motif yang menggeser modus kehendak "memiliki" menjadi modus "menjadi".
Cinta yang produktif mensyaratkan kemandirian, kebebasan dan penalaran kritis atas segala aktivitas yang dijalankan para pecinta. Cinta ini memiliki ciri khas keadaan aktif (bukan secara lahiriah) melainkan dalam artian optimalisasi aktual potensi kemanusiaan yang ada di dalam diri. Menjadi aktif berarti memperbaharui, tumbuh, mengatasi penjara ego, penuh semangat dan selalu termotivasi untuk memberi.
Pendek kata, cinta produktif ini menjadikan setiap pribadi yang merasakan dan menjalaninya merdeka melakukan segala aktivitas dengan kesadaran akal-budi yang memiliki orientasi utamanya selalu ingin memberi sekaligus diikuti oleh lenyapnya perasaan takut, terasingkan dan terpisahkan.
Lantas, jika akhirnya cinta mampu menjadikan manusia menjadi lebih baik, kenapa kita tidak boleh mengumbar masalah asmara di media sosial? Bukankah kisah asmara kita bisa menjadi inspirasi bagi sebagian yang lain? Minimalnya menjadi satu judul untuk FTV.Â
Jawabannya sederhana, privasi. Ya, urusan asmara dan percintaan setiap masing-masing kita adalah hal privasi. Satu hal pribadi yang memang harus dirahasiakan keberadaannya. Mengapa demikian? Sebab jika diumbar murah-meriah di media sosial, bisa saja itu menjadi celah untuk mengusik ketenangan hidup kita.
Bisa saja dengan diumbarnya setiap plot asmara kita di akun  media sosial menjadikan timbulnya masalah baru yang tidak kita kehendaki. Misalnya saja memancing kecemburuan asmara bagi mereka yang tidak begitu suka dengan rekam jejak kehidupan kita. Timbulnya orang ketiga yang dapat menyebabkan keretakan jalinan hubungan, dan lain sebagainya. Tentu kita tidak dapat menebak seutuhnya tentang episode kehidupan selanjutnya, entah itu akan sesuai dengan kehendak dan ekspektasi kita atau malah sebaliknya.
Tegasnya, dengan tidak mengumbar kisah asmara kita di jagat Maya, itu berarti kita sedang mengupayakan hidup yang penuh mawas diri. Berhati-hati dalam menjalani kehidupan dengan berusaha menata diri lebih baik daripada sudah merasa benar lantas menjadi biang timbulnya rentetan keresahan yang berujung kehancuran dan berbagai macam kejahatan lain atas nama kecemburuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H