Aku yang telanjur menopang dagu di muara kasih-Mu
Bertolak pinggang dalam gempita dendang purnama cinta-Mu
Aku yang menjadi Aku lantaran keberpihakan-MuÂ
Atas takdirku
Dengan segala persembahan keberuntunganku
Lantas aku membopong prasangka dan rasa keliru
Membusung dada menolak maluÂ
Membesar kepala karena asumsi pujaan semu
Menjinjit di altar kelancangan bodohku
Melangit di turban penyesalanku
Kini Aku tenggelam dalam kehinaanku
Aku sibuk mengayam setiap jengkal kehendak bernafsu
Jiwaku rapuh tersandung dalam duka kelam beradu
Menjadi bisu,Â
Nuraniku dibungkam alibi palsu
Teramat kaku,Â
Semua indera tubuhku tak kuasa mengampu
Pun berujung sirna tanpa berabu
Pupus sudah peran patuh sebagai abdu
Dan Aku lacut dalam ketidakpatutanku melecehkan rindu-Mu
Menyisakan sesak dan jemu
Menanggalkan gesa dan ragu
Memisahkan ruang-ruang hampa baru
Bebalku cukup banyak membeban mizan yang urung kutahu
Semetara petantang-petenteng moral bobrokku
Tak segan menjadikan bual sebagai jamu
Terkutuk habis nasibku
Hari hampir genap terbungkus kelabu
Di sudut remang itu aku bertamu
Mengetuk-ngetuk pintu afwa-Mu
Aku remah tak bernilai di Arasy Mihrab-Mu
Tersisih di antara butiran debu
Tak kian nampak di ujung sipu
Kupastikan kembali semua itu
di setiap Rabu, Sabtu dan Minggu
Kugenggam erat bahasa ramuÂ
Tali simpul dermaga kalbu
Kulapangkan tekad tulus menghadap singgasana-Mu
Jidatku melekat rendah di hamparan sajadah Rahman-Mu
Jemari anganku bersimpuh mendambakan Rahim-Mu
Tulungagung, 24 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H