Proses kerja sosialisasi tersebut yakni melalui habitus yang diterapkan di lembaga pendidikan, tempat ibadah (doktrin agama), segala bentuk media, lingkungan bermain, dan upaya yang dilakukan oleh psikiater, psikolog dan dokter dalam konteks memvonis kasus perempuan abnormal (maskulin dan enggan menjadi seorang ibu) untuk menjadi perempuan normal (feminim dan bercita-cita menjadi seorang ibu).Â
Jika perempuan tidak melalui proses panjang pembentukan itu maka perempuan tidak akan tumbuh-kembang menjadi perempuan yang perlu menjadi sosok ibu sekadar untuk mendapatkan penghargaan terhadap diri pribadi.
Lebih lanjut, Oakley menggarisbawahi bahwa kebutuhan yang "seharusnya" dirasakan oleh perempuan untuk menjadi seorang ibu sebenarnya "tidak ada hubungannya" dengan "kepemilikan ovari dan rahim" di dalam diri seorang perempuan, justru realitas yang terjadi sesungguhnya adalah tentang bagaimana cara perempuan dikondisikan secara sosial dan kultural untuk bercita-cita menjadi seorang ibu.
Kedua, keyakinan ibu memerlukan anak-anaknya tidak lain hanya akan timbul mana kala "insting keibuan" telah meliputi diri seorang perempuan secara utuh dan total, sehingga perempuan akan mengalami frustasi tingkat tinggi.Â
Sementara dalam pandangan Oakley, apa yang disebut insting keibuan sebenarnya tidak ada. Perempuan normal tidak mengalami hasrat untuk mempunyai anak biologis, dan dorongan hormonal (laiknya ngengat yang mendekati api di daerah tropis) baik itu selama dan setelah masa kehamilan.
Dalam hal ini Oakley hendak menegaskan bahwa insting keibuan pada dasarnya adalah dipelajari, bukan given. Hal itu dibuktikan dengan tidak sedikit dari perempuan yang pertama kali memiliki seorang anak tidak mesti disertai dengan pengetahuan akan fungsi ibu yang benar-benar memadai; entah itu tahu cara menyusui, menggendong, memandikan, merawat bayi dengan benar dan lain sebagainya.Â
Semua itu hanya akan mampu dilakukan tatkala ia melihat langsung, mempelajari dan dinasehati oleh perempuan yang telah menjadi ibu. Atas dasar demikian, ringkasnya, ibu itu tidak dilahirkan melainkan dibuat (dibentuk).
Ketiga, persepsi anak-anak memerlukan ibunya tak ayal adalah fitur paling opresif dari mitos motherhood biologis. Menurut Oakley, persepsi tersebut mengandung tiga asumsi lemah yang mengikat perempuan kepada anak-anaknya; pertama, kebutuhan anak terhadap sosok ibu paling baik dipenuhi oleh ibu biologisnya. Kedua, seorang anak (utamanya yang masih kecil) membutuhkan perawatan yang kompleks dari ibu biologisnya, dibandingkan dengan perawatan dari ayah biologisnya atau pun orang lain. Sementara yang ketiga, anak-anak pada umumnya hanya membutuhkan satu pengasuh untuk merawat mereka (lebih disukai ibu biologisnya).
Menurut Oakley ketiga asumsi yang mendukung pendapat anak-anak memerlukan ibunya tersebut adalah keliru. Pertama, ibu sosial sama efektifnya dengan ibu biologis. Hal itu dibuktikan bahwa perkembangan anak yang diadopsi memiliki kemampuan penyesuaian yang baik sama halnya dengan anak-anak yang dirawat oleh ibu biologisnya. Kedua, anak-anak tidak membutuhkan ibu biologisnya lebih daripada mereka membutuhkan ayah biologisnya.
Bahkan lebih dari itu, anak-anak bukan hanya tidak perlu dibesarkan oleh orangtua biologisnya, mereka juga tidak perlu dibesarkan oleh seorang perempuan. Yang anak-anak butuhkan justru orang dewasa yang mau konsisten untuk menjalin hubungan dekat, yang dapat dipercaya, yang dapat dijadikan sebagai tempat bergantung, yang bersedia konsisten dalam melakukan perawatan, mendisiplinkan, mengakui dan senantiasa menerima-merayakan setiap keunikan yang dimiliki seorang anak serta selalu ada tatkala anak membutuhkannya. (Rosemarie Putnam Tong, 2010: 121).
Pada akhirnya, masing-masing kita bisa membuat simpulan mandiri bahwa laki-laki pun tidak kurang dari perempuan dalam upaya memainkan peran penting dalam tumbuh-kembang dan proses pendidikan seorang anak. Akan tetapi, pendidikan collective mothering atau sosialisasi kolektif (ibu dan ayah) terhadap satu anak lebih baik daripada pendidikan satu anak oleh satu orangtua secara eksklusif.