Sebagian orang menyebutkan, saat turun hujan sedang benar-benar membabi buta, intensitas curah air yang dapat kita rasakan itu hanya dua puluh persen belaka, sisanya adalah kenangan semata.Â
Entah premis itu benar ataupun tidak, sebagian besar dari manusia lebih memilih diam seribu kata. Toh, di kala hujan lebat itu turun, manusia lebih sibuk mengurusi diri dan mengamankan barang-barang kepemilikannya dari ciprat tetesan hujan. Iya apa tidak?
Mari kita buktikan. Orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya, entah itu mereka yang berjalan kaki maupun mengendarai motor-mobil pasti sesegera mungkin memutuskan diri mencari tempat nyaman untuk melindungi diri.
Mereka, pejalan kaki mendadak terkaget-kaget hingga sampai hati melesat jauh berlari karena hendak mengiupkan diri. Sementara pengendara motor dan mobil berada dalam persimpangan jalan keputusan. Antara menginjak tuas gas, meminggirkan kendaraannya dan mengenakan jas hujan sebagai tameng rahasia ampuhnya.
Hiruk-pikuk ruas-ruas jalanan di perkotaan akan nampak acakadut di kala hujan mengguyur permukaannya. Transportasi pun akhirnya tersendat. Lalu lalang varian kendaraan roda dua dan empat hampir melambat.Â
Sementara banjir langganan menjadi alasan akurat untuk masuk ke kantor terlambat. Itu pun tidak satu-dua kali, melainkan berhari-hari hingga tak terhitung lagi berapa banyak hari yang telah tercuri.Â
Padahal, khalayak ramai sering nyerocos di jagat maya, betapa pentingnya waktu untuk mengeruk materi. Nyerocosnya mungkin akan persis sama dengan ibu-ibu yang lupa mengangkat jemuran di kala sedang sibuk memainkan jemarinya di layar gawai milik pribadi.
Ceritanya si, mereka telanjur asyik sedang stalking Oppa-oppa unyu yang digemari anak-anak remajanya itu yang ingin dipersunting sebagai isteri. Tapi entahlah, entah itu benar atau sekadar kabar angin belaka. Ah, sudahlah jangan menyebar hoaks di tengah gemericik hujan yang sedang asyik menari.
Entah mengapa, saya lebih suka menyebutkan lebat curah hujan itu sebagai saksi. Saksi mata atas kerasnya realitas kehidupan sosial. Hampir timpang namun keadaan itu luput dari perhatian.Â
Lantas apa yang timpang dan luput dari cengkeram perhatian? Ada persepsi umum, mereka yang berdasi bisa riang mengukir gelak tawa di wajah tatkala gemuruh hujan menyentuh atap kantor.
Sedangkan para pekerja kasar dan serabutan, masih saja tidak menghiraukan keadaan apa yang sedang menerjang dirinya. Toh, pada kenyataannya terik panas dan curah hujan itu tidak pernah mampu membeli keroncong perutnya. Tak pernah mampu menyukupi kebutuhan pokok hidup keluarganya.
Dalam hal ini hanya satu hal yang mereka tahu; apapun keadaannya, bagaimanapun musimnya, selepas pulang kerja harus ada sesuatu yang dapat mengganjal perut anak-isteri. Entah itu hanya selembar uang kertas atau recehan sekalipun tak apa. Asalkan halal dan bukan lantaran mengiba.Â
Yah, mungkin tekad para pekerja kasar itu lebih teguh dalam menghadapi carut-marut pusaran kehidupan. Bagaimanapun kegigihan dalam bekerja yang tak mengenal musim adalah teladan yang patut dicontoh. Tentu, mereka yang ulet bekerja meski sudah lanjut usia sungguh luar biasa. Dibanding kaum muda yang kerjanya hanya meminta dan rebahan saja.Â
Bahkan tak jarang, para lelaki dan perempuan lansia masih saja semangat mengayuh ontelnya dikala waktu subuh tiba. Seakan-akan mereka memiliki segunung semangat yang tak pernah padam. Fisiknya renta namun jiwanya muda. Bahkan rutinitas mengayuh ontel itu masih saja terjadi di musim pandemi ini.Â
Sebaliknya, pemandangan kurang menyenangkan tampak banyak di musim pandemi ini, di mana kita kerapkali menemukan orang-orang yang memiliki fisik bugar namun jiwanya telah lama mati.Â
Dari rupawannya, masih terbilang usia produktif dalam bekerja namun kebiasaannya malah meminta-minta. Bahkan mereka berkelompok dan tidak sungkan menggandeng tangan anak-anaknya. Ada indikasi, memanfaatkan kemurahan hati khalayak umum adalah bagaimana cara modus itu bekerja.Â
Entahlah. Entah sejumput alasan apa yang menjadi latarbelakang mereka meminta-minta. Apa mungkin itu karena dampak dari adanya pemutusan hak kerja secara massal? Atau memang itu alasan logis untuk malas dalam bekerja. Tentu di sana akan ada sejubel alasan yang mungkin kita tak akan sempat untuk mendengarkannya.
Ah, lagi-lagi rasanya saya terlalu bebal dalam urusan menerka-nerka dan menyalahkan perihal realitas kehidupan yang dijalankan oleh masing-masing manusia.Â
Tapi setidaknya kita bisa mafhum sekaligus bercermin dari bagaimana keteguhan dan keuletan hidup para pekerja kasar dikala pergantian musim itu tiba. Adaptasi dan pertahanannya persis halnya dengan atmosfer kehidupan orang-orang yang tinggal di kampung.Â
Tipologi yang gigih dalam menghadapi carut-marut keadaan menjadi ciri khas yang membedakan antara mereka dengan manusia perkotaan yang gampangan.Â
Dalam konteks survive, masyarakat pedesaan lebih mudah untuk diandalkan. Terutama dikala musim hujan melanda. Ketakutannya sudah barang tentu bukan menyoal banyak tentang kemacetan dan banjir bandang yang berlarut-larut.
Bukan pula tentang rasa takut yang akut untuk menerjang lebatnya hujan dan teriknya mentari. Mungkin iya, sesekali dua kali intensitas curah hujan yang tinggi bisa membuatnya berdiam diri di rumah dengan keterpaksaan dan penuh kegusaran.
Tapi itu bukan melulu berbicara tentang kemalasan dan menyerah atas keadaan. Bagaimanapun, keadaan itu hanyalah pilihan terakhir yang digemakan atas nama rasa aman.Â
Percaya atau tidak, geografis di pedesaan yang masih asri dan pepohonan yang menjulang tinggi banyak memengaruhi awetnya musim hujan mengguyur tanah yang masih murni. Bahkan, sering pula hujan itu terus saja merengek dari hari ke hari tanpa jeda dan rasa capek sedikit pun untuk bertamu.Â
Tidak hanya itu, di beberapa paruh waktu, kilat pun tanpa sungkan terus-menerus menyambar, menampakkan wujud sangarnya. Kencangnya angin yang mampu merobohkan pepohonan bisa kapan saja terjadi. Sedangkan guyuran air hujan yang tak henti-henti mulai menimbulkan rasa was-was di hati. Bagaimanapun, bencana longsor adalah salah satu hal yang terus menjadi bayang-bayang yang menghantui.Â
Namun, ketakutan itu pada kenyataannya dengan mudah mereka atasi. Terlebih lagi, sesumbarnya suara kambing dan sapi tak pernah mampu berkompromi atas rasa lapar yang menghampiri. Belum lagi ditambah dengan agenda bercocok tanam, pemeliharaan dan panen di sawah dan ladang yang tak dapat terhalangi.Â
Permasalahannya hanya satu, mereka meyakini bahwa gerakan adalah kunci penyambung kehidupan. Gerakan ditafsirkan sebagai inti dari segala sesuatu yang terjadi di muka bumi. Gerakan dipersepsikan sebagai titik nadir sekaligus tanda kelangsungan kehidupan.
Segala sesuatu memang diciptakan oleh Tuhan melalui gerak. Melalui gerakan-gerakan yang bersifat konstan itu, sampailah kita pada pengertian atas istilah sunnatullah (hukum alam). Termasuk di dalamnya perihal perubahan keadaan diri menjadi lebih tereduksi dan terus dievaluasi.Â
Sampai di sini, saya hanya mampu termangu dan sesekali menggelengkan kepala sembari diiringi tetes hujan yang tak kunjung reda. Pada kenyataannya mereka-mereka yang teguh dan berani beradaptasi dengan segala macam keadaan itulah yang terus berkembang.
Bahkan, diam-diam mereka itu tanpa mendeklarasikan diri justru telah menjadi penganut setia doktrin Aristoteles babakan penggerak utama yang tak bergerak sekaligus pengamal kalam-kalam ilahiah yang terus menggilai makna cinta dan keagungan-Nya.Â
Tulungagung, 29 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H