Dalam hal ini hanya satu hal yang mereka tahu; apapun keadaannya, bagaimanapun musimnya, selepas pulang kerja harus ada sesuatu yang dapat mengganjal perut anak-isteri. Entah itu hanya selembar uang kertas atau recehan sekalipun tak apa. Asalkan halal dan bukan lantaran mengiba.Â
Yah, mungkin tekad para pekerja kasar itu lebih teguh dalam menghadapi carut-marut pusaran kehidupan. Bagaimanapun kegigihan dalam bekerja yang tak mengenal musim adalah teladan yang patut dicontoh. Tentu, mereka yang ulet bekerja meski sudah lanjut usia sungguh luar biasa. Dibanding kaum muda yang kerjanya hanya meminta dan rebahan saja.Â
Bahkan tak jarang, para lelaki dan perempuan lansia masih saja semangat mengayuh ontelnya dikala waktu subuh tiba. Seakan-akan mereka memiliki segunung semangat yang tak pernah padam. Fisiknya renta namun jiwanya muda. Bahkan rutinitas mengayuh ontel itu masih saja terjadi di musim pandemi ini.Â
Sebaliknya, pemandangan kurang menyenangkan tampak banyak di musim pandemi ini, di mana kita kerapkali menemukan orang-orang yang memiliki fisik bugar namun jiwanya telah lama mati.Â
Dari rupawannya, masih terbilang usia produktif dalam bekerja namun kebiasaannya malah meminta-minta. Bahkan mereka berkelompok dan tidak sungkan menggandeng tangan anak-anaknya. Ada indikasi, memanfaatkan kemurahan hati khalayak umum adalah bagaimana cara modus itu bekerja.Â
Entahlah. Entah sejumput alasan apa yang menjadi latarbelakang mereka meminta-minta. Apa mungkin itu karena dampak dari adanya pemutusan hak kerja secara massal? Atau memang itu alasan logis untuk malas dalam bekerja. Tentu di sana akan ada sejubel alasan yang mungkin kita tak akan sempat untuk mendengarkannya.
Ah, lagi-lagi rasanya saya terlalu bebal dalam urusan menerka-nerka dan menyalahkan perihal realitas kehidupan yang dijalankan oleh masing-masing manusia.Â
Tapi setidaknya kita bisa mafhum sekaligus bercermin dari bagaimana keteguhan dan keuletan hidup para pekerja kasar dikala pergantian musim itu tiba. Adaptasi dan pertahanannya persis halnya dengan atmosfer kehidupan orang-orang yang tinggal di kampung.Â
Tipologi yang gigih dalam menghadapi carut-marut keadaan menjadi ciri khas yang membedakan antara mereka dengan manusia perkotaan yang gampangan.Â
Dalam konteks survive, masyarakat pedesaan lebih mudah untuk diandalkan. Terutama dikala musim hujan melanda. Ketakutannya sudah barang tentu bukan menyoal banyak tentang kemacetan dan banjir bandang yang berlarut-larut.
Bukan pula tentang rasa takut yang akut untuk menerjang lebatnya hujan dan teriknya mentari. Mungkin iya, sesekali dua kali intensitas curah hujan yang tinggi bisa membuatnya berdiam diri di rumah dengan keterpaksaan dan penuh kegusaran.