Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pusaran Kehidupanku

27 Juli 2020   21:50 Diperbarui: 27 Juli 2020   21:48 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menulis bukan salah satu passion yang diwariskan oleh kedua orang tuaku.  Membaca buku bukan kebutuhan pokok yang ditekankan menjadi -isme pada setiap anggota keluarga. Sementara menjadi penulis bukan pula nasabiyah profesi yang digeluti dan diidam-idamkan ibu-bapakku.

Maklum saja, aku adalah anak yang  bertumbuh-kembang dalam rahim keluarga sederhana di daerah pelosok, kampung. Mungkin Anda pribadi tahu bagaimana cara hidup orang kampung yang sangat menyatu dengan alam.

Kehidupan masyarakat tradisionalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai; gotong-royong, saling bahu-membahu dan lekat akan syarat normalitas interaksi sosial. Ditambah lagi dengan tatanan demografis komunal, di mana masing-masing rumah warga terkondisikan secara bergerombol pada titik yang berbeda.

Mungkin kita pernah mendengar konsep persebaran penduduk seperti ini dalam pembahasan  sosiologi. Sehingga Anda dapat menerka-nerka letak geografis daerah seperti apa keluargaku tinggal.

Sementara untuk menyambung kelangsungan hidup, masyarakat tradisionalis di kampungku lebih cenderung mengandalkan kemampuan mengelola agraris. Bercocok tanam di sawah, ladang dan kebun adalah rutinitas sehari-hari.

Namun, realitas kehidupan itu lambat-laun telah lama berubah menjadi masyarakat yang puspawarna. Percampuran antara;  mereka yang mengandalkan hasil pertanian, menjadi masyarakat urban dan manusia yang mulai modern.

Mereka yang mengandalkan hasil pertanian, umumnya mengenyam pendidikan alakadarnya. Ada pandangan yang kemudian menjadi keyakinan, bahwa pendidikan itu adalah barang mewah yang susah direngkuh dan harus ditebus dengan memiliki profesi yang menghasilkan uang secara paten. Menjadi seorang PNS atau karyawan di perkantoran adalah jelmaan cita-cita ideal pandangan tersebut.

Mereka yang termasuk dalam kelompok ini lebih suka diam disatu tempat. Fokus mengejar-ngejar kebutuhan pokok urusan perut dan hasrat yang ada di bagian atas lutut. Biasanya mereka giat bekerja, berangkat pagi hari hingga akhirnya pulang menjelang petang. Entah berapa hektar lahan pertanian yang menjadi aset penghidupannya. Seolah-olah setiap hari selalu ada saja alasan untuk bertani.

Sebagian orang yang memutuskan diri menjadi masyarakat urban, ada kemungkinan besar telah bosan menjalani hidup sebagai seorang petani. Di samping itu, besaran penghasilan untuk menyokong hidup juga tidak luput menjadi bahan
pertimbangan.

Ditambah lagi dengan jumlah anggota keluarga yang berbanding lurus dengan kebutuhan yang harus tercukupi. Belum termasuk biaya untuk mengenyam pendidikan anak yang semakin membengkak, setidaknya itu sangat cukup menjadi bahan perhitungan matang-matang.

Atas dasar itu pula, banyak 'orang dewasa' khususnya Bapak dan para pemuda memilih untuk mengadu nasib di tanah orang. Umumnya mereka memiliki profesi sebagai pedagang kaki lima di perkotaan.

Berjibaku melawan terik mentari, menerobos peleton hujan dan hingar-bingar bising perkotaan dalam ruangan yang sempit, adalah kebiasaan baru yang mereka gauli. Ruang gerobak sempit yang kurang-lebih berukuran 1 x 3 meter itulah tempat pengasingan nyata yang baru.

Lantas apa yang mereka jual? Hampir semua kebutuhan primer, skunder dan tersier dijajakan di sana. Seperti halnya kopi, rokok, sabun cuci, shampo, handbody lotion, mie instan dan lain sebagainya.

Coba saja kita bayangkan, mereka setiap hari menempati ruangan sempit itu dengan penuh kesungguhan hati demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Anak-isteri tercinta. Itu pun hampir setiap Minggu mereka harus melakukan pengiriman uang dan barang-barang pokok kebutuhan hidup tertentu via trevel.

Dalam kasus yang lebih sarkastik dan praktis, menjadi masyarakat urban ini ditandai dengan menikahnya salah seorang warga kampung dengan pujaan hatinya yang merupakan murni warga keturunan perkotaan. Hingga akhirnya boyongan  status kependudukan pun tidak dapat dipungkiri.

Sementara dalam konteks manusia yang mulai modern, dapat dilihat dari berubahnya mekanisme interaksi sosial, status, stratifikasi dan deferensiasi sosial, budaya,  pendidikan dan gaya hidup.

Mereka-mereka yang terkategorikan ke dalam manusia yang mulai modern dapat diibaratkan layaknya pusaran spiral yang terus berkembang. Awalnya hanya segelintir orang, namun kemudian beranakpinak menjadi kebiasaan dan standaritas baru dalam menjalani kehidupan.

Standaritas baru dalam tatanan kehidupan itu dapat dilihat dari adanya taraf pendidikan yang terus meningkat. Jika awalnya pendidikan hanya dipandang cukup tinggi sampai sekolah menengah atas sederajat, maka pandangan itu kini telah berbalik arah sembilan puluh derajat. Di mana menjadi sarjana dipandang lebih menjanjikan untuk merubah haluan hidup.

Diasumsikan seorang sarjana mempunyai kesempatan yang leluasa untuk mencapai apa-apa yang disebut dengan "kebahagiaan". Entah itu dari segi kelayakan hidup, penghasilan dan terjaminnya masa depan yang lebih baik.

Paradigma itu selanjutnya berpengaruh pada status dan derajat sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat yang kian terkotak-kotak dan terus bergejolak dalam kompetisi sengit ekonomi-matrealistik, perebutan jabatan kekuasaan di lingkungan sekitar hingga cara menjalani hidup.

Jika diperhatikan dengan serius, tidak sedikit dari mereka (red; manusia yang mulai modern) berani ngos-ngosan untuk mencukupi kebutuhan kuliah sang anak. Sawah, ladang dan kebun yang biasanya digarap secara perlahan-lahan mulai habis terjual.

Hewan ternak pelipurlara penat pun luput dari jamahan sengkarut yang bernama kebutuhan mendadak. Apalagi, perhiasan emas yang biasanya sesekali membuat menawan pemakainya dan sesekali di simpan di bawah dipan, terus menyusut hingga sirna tergadaikan.

Sangat kentara sekali, orangtua berani bangkrut demi tersematnya gelar sarjana dalam diri sang anak. Pikirnya, semua itu akan mudah kembali normal tatkala salah satu di antara anggota keluarga mereka berhasil mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Lantas satu-dua orang perwakilan dari masing-masing keluarga yang termasuk dalam jenis manusia modern tidak segan-segan untuk mulai menguliahkan anak-anaknya di perguruan tinggi. Entah itu menjadi mahasiswa di kampus swasta ataupun negeri ternama, dalam pandangan mereka sama saja. Tidak ada bedanya.

Lulusan perguruan tinggi serta-merta diklaim dan dicap  sebagai sosok yang akan mampu membawa pada angin segar yang disebut perubahan. Perubahan yang signifikan dalam segala lini kehidupan. Perubahan yang dinanti-nanti oleh khayalak ramai untuk menuju pada kesejahteraan.

Dalam carut-marut pusaran kehidupan masyarakat yang dipenuhi gejolak kompetisi itulah kedua orangtuaku mewarisi tradisi sikap fakir (red; berani survive) dan bertekad bulat dalam upaya menyikapi samudera kehidupan dengan gigih.

Mereka memang bukan seorang PNS ataupun memiliki profesi sebagai kepanjangan tangan dari aparatur negara. Bapakku hanya seseorang wiraswasta; petani sekaligus pedagang kaki lima di kota. Terkadang sebulan berdagang di kota, sebulan lagi menjadi petani.

Sementara ibu, sosok perempuan tangguh yang super supel.  Bagaimana tidak coba? Selain memiliki peran domestik sebagai ibu rumah tangga, beliau juga kerap menjadi buruh tani, tukang pijat dan menjadi kepala keluarga tatkala Bapak sedang di luar kota.

Meski demikian bukan berarti di sini bermaksud menihilkan kasab kedua orangtuaku, acuh dalam meletakkan fundamentalis terkait membaca dan menulis. Justru, di waktu senggang dari aktivitas kesehariannya itu mereka kerap mengajariku membaca dan menulis.

Setidaknya, membimbing aku untuk membaca deret tulisan yang ada di buku bekas pegangan kakak pertamaku dan menuliskan kembali ceceran kalimat yang ada dalam suhuf itu pernah beliau ajarkan kepada anak keduanya ini. Bahkan, beliau berdua lebih kerap mengajariku untuk membaca hikmah melalui tindakan-tindakan yang riil dilakukan seketika.

Lantas sejak kapan aku suka membaca dan menulis? Gerangan bagaimana mungkin aku melatah diri menggeluti dunia literasi yang tak pernah mampu terkuasai?.

Bersambung.

Tulungagung, 27 Juli 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun